Tangannya melurus ke belakang, menjadi penopangnya untuk bersandar. Dia menjatuhkan pandangannya pada kuda-kuda yang mengunyah rumput. Namun Theodore bisa melihat dari sudut mata, si gadis tidak henti-hentinya memperhatikan. Mata cokelatnya menatapnya heran, menebak mati-matian apa yang ada dalam kepala Theodore hingga mereka duduk di atas rumput tanpa alas, tanpa penghalang, tanpa keributan. Theodore sendiri tidak tahu, dan tidak berniat mencari tahu. Waktunya tidak banyak, maka alangkah baiknya jika Theodore memanfaatkannya untuk bersenang-senang. Pertemuan ini bernilai ratusan juta dolar, dia tidak akan menyia-nyiakannya.
"Kau masih suka mengajak bicara kudamu?" Theodore menarik kedua sudut bibirnya kala mengatakan itu. Pearl mungkin akan memberenggut, mencak-mencak karena Theodore tidak habis-habisnya mengungkit masa lalu. Hanya saja, itulah satu-satunya kenangan yang Theodore miliki. Pada waktu yang sudah lewat bertahun-tahun lalu sebelum mereka pergi ke arah jalan yang berbeda.
"Kau sama sekali tidak menjawab pertanyaanku, Deo."
Theodore terkekeh, panggilan itu masih belum berubah. Anehnya dia menyukainya.
"Pertanyaannya ada di dalam kepalamu, aku tidak bisa mendengarnya."
Angin menerbangkan helai demi helai rambut mereka. Pirang platina milik Theodore dan cokelat gelap milik Pearl. Mengganggu, seolah-olah cemburu pada apa yang mereka lakukan, ingin diikut sertakan. Theodore menoleh, kini memusatkan perhatiannya pada Pearl dan menanggapi angin. Dengan jari-jarinya si pemuda menyentuh tulang rahang Pearl. Membawanya untuk saling beradu pandang. Sekalipun rumput-rumput di bawah mereka kelewat indah, Theodore tidak akan mengizinkan gadis itu membuang fokusnya pada hal lain selain dirinya. Hanya padanya, dan akan terus padanya. "Pearl?" panggil Theodore. Simpul di bibirnya kembali merekah, setengah senang gadis itu belum menggigit jari-jarinya, setengah geli dengan wajah pertahanannya. Pearl memandangnya seolah-olah Theodore orang asing yang tidak dikenalinya.
"Namaku bukan Pearl lagi."
Kekeh Theodore lolos tanpa diaba-aba.
Jarinya ditepis sang gadis dengan keras.
"Meredith." kata Pearl, "Happy." ucap si gadis lagi, kali ini dengan senyum lebar yang dibuat-buat. "Siapa saja, bukan Pearl."
"Terserah." Theodore memajukan wajahnya, dengan terang-terangan sang pemuda mencuri ranum milik gadis itu. Satu kecupan singkat barangkali bisa jadi pemicu ledakan yang maha dahsyat, dan Theodore tidak sedang menebak-nebak.
Tamparan kuat mendarat di pipi Theodore, memaksanya melepas emosi yang sama di antara mereka. Tidak ada yang perlu mengajari si pemuda tentang taktik dan perlawanan, bahwa sesungguhnya dia tahu Pearl hanya sedang mengusirnya pergi. Lagi dan lagi, seperti yang selalu ia lakukan. Bedanya sekarang Theodore tidak akan membiarkannya pergi seperti yang sudah-sudah. "Hanya itu yang ingin kau lakukan?" tanya Theodore ketika tubuhnya sudah mendekat sekali lagi. Si pemuda memangkas jarak di antara mereka hingga mereka saling merasakan hembusan napas satu sama lain. Beberapa senti lagi kecupan bisa saja mendarat seperti sebelumnya, tapi Theodore tidak ingin terburu-buru mengambil kesempatannya. Pun Pearl yang mematung seakan-akan menunggu.
Tanpa melepas perhatiannya pada sang gadis, dibawanya tangan Pearl menuju pipinya sendiri, "Mungkin kau sekalian ingin mengungkapkan kerinduan?"
Seperti halnya Theodore.
"Pergi sana, Deo!"
Tidak ada tamparan kali ini, telapak tangan Pearl masih menggantung di depan pipinya, menyentuhnya dengan ragu-ragu. "Aku juga merindukanmu, Pearl." kata Theodore, serta merta menyandarkan kepalanya pada kekosongan yang terasa di antara kulitnya mereka. Pearl masih membeku, si pemuda tahu tapi tidak ada yang tidak meleleh di bawah sinar matahari, Pearl Eggleton menggerakkan jari-jarinya dengan ragu. Barangkali hatinya perlahan-lahan mencair seperti peluh yang jatuh di balik kaos oblong yang dikenakan Theodore.
"Kau seharusnya tidak bisa menemukanku." ucap Pearl, kepalanya kembali tertunduk, dan Theodore kembali mencemburui rumput liar.
Satu kecupan mendarat ringan di bibir Pearl yang merapat, dan Theodore kembali mengambil atensi si gadis. "Sesungguhnya kau tidak pernah hilang." kata Theodore dengan senyum di bibirnya kembali tertarik lebar, dan tubuhnya menegak. Mereka duduk berhadap-hadapan dengan jari-jarinya bertautan.
Beberapa saat hanya kikikan kuda yang mengisi keheningan di antara keduanya. Tidak ada yang bergerak selain ibu jari Theodore yang mengelus kulit tangan Pearl, dan kelopak matanya yang beredip dengan enggan. Sekali lagi angin mengganggu mereka, membuat helai-helai itu menari di depan pelipis, menyegarkan, mengeringkan peluh-peluh yang mencair akibat terik. Hingga Pearl membuat gerakannya terlalu tergesa-gesa yang hampir membuat mereka terguling seandainya Theodore tidak segera menahannya. Sang gadis memburunya dengan pelukan erat yang dibalas dengan sama eratnya oleh si pemuda. "Deo." panggil Pearl di antara dekapan lengan Theodore.
"Ssst, jangan bicara."
Lantas keduanya mengamini. Tidak ada kalimat yang keluar setelahnya. Mereka tau jika satu kata saja keluar, mereka akan mengacaukan apa yang sedang terjadi. Maka dengan sisa-sisa sikap bijaksana yang dimiliki, mereka menghabiskan waktu hanya dengan saling mendekap hingga matahari tenggelam dan kuda-kuda mereka kenyang.
---end.

YOU ARE READING
Bomboniere
RomanceKumpulan cerita lepas bertemakan romansa. Butterfly Kissess; kisah romantis yang manis. Poisonous Lips; hubungan tidak sehat yang menjadi candu. Haunted; sst! jangan ada yang tahu! All of character is original by me and other puppet master. ©copyrig...