"Kau sudah pulang, Agravain!"
Pintu masih terbuka di belakang tubuhnya, lebar, masih bisa didilewatinya untuk pergi menjauh. Datang ke bar barangkali adalah jawaban. Dia butuh alkohol, dia butuh wanita; wanita baru. Namun wajah itu berseri-seri, dan alas sepatu Agravain masih terlalu bersih untuk menginjak-injak kelopak bunga hingga hancur. Malam ini Agravain harus mengalah pada rasa empati kosong. Rasa kasihan.
"Aku menebak-nebak kau akan pulang cepat, jadi aku menunggumu."
Bersamaan dengan helaan napas, Agravain mendorong pintu di belakangnya dan berjalan masuk. Tasnya diletakkan begitu saja di atas sofa, sementara dia membiarkan dirinya tenggelam di antara busa-busa yang nyaman. Tangan Mindy menyentuh kulit lengannya perlahan-lahan, sementara mata Agravain mulai terpejam. Agravain membiarkan rasa lelah dan lembutnya sentuhan Mindy berlomba memburu dirinya, dibuai hingga pria itu kembali menginginkan Mindy satu malam lagi. Membawa seorang masuk apartemennya akan jadi sesuatu yang terlarang jika semua pikiran gadis akan serupa dengan Mindy Deschanel, atau Agravain yang harusnya berhenti bermain-main dengan anak kecil. Terlalu kecil untuk membedakan mana cinta dan mana hasrat.
Otak bebal Agravain tidak mengenal apa itu cinta. Sementara Mindy terlalu naif untuk menjalani cinta satu malam.
Ironi.
"Aku rasa tebakanmu benar."
"Hm-mm."
Kala Mindy bersandar pada dadanya, mata Agravain terbuka. Tangannya membelai rambut emas Mindy, membuat si gadis memejamkan matanya merasa nyaman. Gerakan itu refleks, naluri memeliharanya seolah minta dipuaskan, dan Mindy membawakan dirinya sendiri.
Mereka mulai bertukar peran.
"Aku membuatkanmu makan malam." kata Mindy.
Belaian Agravain turun pada kulit lengan Mindy yang terbuka. "Begitu?" tanggap Agravain tanpa minat sama sekali. Makanan bukan sesuatu yang diinginkannya saat ini. Namun jika Mindy menyajikan sendiri tubuhnya di atas meja, akan lebih bagus lagi jika mereka tidak banyak bicara dan mulai saja masuk pada hidangan utama. Dengan helai demi helai kain tidak ikut andil, tentu saja. "Apa yang kau buat?" Kecup demi kecup diberikan Agravain pada puncak kepala Mindy. Rona merah sudah mulai menjalar pada telinga sang gadis, dan kekeh Agravain terdengar seolah-olah terhibur. Dia memang.
Sifat alamiah Mindy-lah yang menempatkannya pada keputusan membawa pulang. Menghabiskan satu malam tanpa berhenti saling menyentuh. Maka, jika Mindy berhasil melakukannya kemarin, ia juga berhasil melakukannya sekarang.
"Pasta. Makanan kesukaanmu."
Kali ini tebakan Mindy salah, tapi Agravain tidak peduli.
Kecupannya menurun pada pelipis sang gadis ketika Mindy mengangkat kepalanya untuk memandang Agravain. "Aku tak sabar menyicipinya." mencicipimu, lebih tepatnya. Lantas Agravain mendorong Mindy hingga jatuh di atas sofa, dan tubuhnya tepat berada di atas tubuh Mindy yang mulai tersipu. Begitu menggemaskan.
Sang gadis tidak ingin memandang dirinya, dan jari-jarinya memainkan kerah kemeja yang dikenakan Agravain. "Kau tidak membakar apartemenku, 'kan?" kata Agravain membawa lagi pandagan Mindy pada dirinya. Jemarinya mengelus tulang rahang si gadis, dan matanya memperhatikan dengan syahdu.
Mindy menggelengkan kepalanya, dan saat itu Agravain tahu mereka punya keinginan yang sama. "Bagus." adalah kata terakhir yang dikatakannya sebelum ranum mereka mulai berpagut. Pertama-tama lembut, hingga rasa kelaparan membawa mereka pada keinginan saling memuaskan diri sendiri. Kepala mereka menoleh pada arah yang berbeda, menyatukan bibir mereka dengan ritme yang tidak bisa dihitung. Tidak beraturan, tidak ada yang peduli siapa yang mulai menekan siapa. Yang mereka inginkan adalah lilitan manis sampai napas mereka habis, dan mereka mulai terengah-enggah.
"Agravain?"
Suara Mindy tidak sejelas sebelumnya. Dadanya naik turun memompa oksigen memenuhi paru-parunya yang kosong. Ujung jari-jari Mindy menyusuri rambut kepala Agravain, menyesatkan dirinya di sana, sementara sang pemuda tidak ingin berhenti; belum, dia bahkan baru saja memulainya.
"Hmm?"
Kecupan mendarat di kulit leher Mindy, bertubi-tubi, memberi tanda pada keberadaannya. Malam ini dia akan mulai membuat teritorialnya pada Mindy. Perlahan-lahan tubuhnya mengecup lebih ke bawah. Satu persatu kancing terbuka, dan jejak kemerahan menyamai tugas remah roti milik Gretel. Bedanya, Agravain hapal semua rute, dan tidak akan lagi melihat pada jejak-jejak yang ia tinggalkan.
Suara-suara lembut milik Mindy menjadi musik bagi telinganya, dan sentuhan-sentuhannya menjadi pertunjukkan bagi Mindy. Jari-jarinya yang tersesat semakin tersesat pada rambut Agravain. Menekan kepalanya, memaksa Agravain tetap membuat pertunjukkannya berlangsung. Kecupan dibantu belaian. Hingga kedamaian mereka hancur oleh dering ponsel yang berteriak ingin diperhatikan. "Abaikan." kata Agravain seraya tidak menghentikan kegiatannya. Namun dering itu tidak ingin diam, dan Mindy menjadi teralihkan. Satu kali, dua kali, tiga kali, berdering sampai Agravain sudah lupa pada hitungannya.
"Sebentar."
Dalam hatinya dia merutuk.
"Ya?" kata Agravain pada ponsel di telinga. Pemuda itu duduk di pinggir sofa, menghadap Mindy dan memberinya sentuhan-sentuhan lembut sementara si gadis menunggu. "Dimana?" kata Agravain tanpa menghilangkan fokusnya. Kejam jika dia menghentikan semuanya, tapi Agravain adalah Agravain.
Pemuda yang merasuki setan.
Sang pemuda bangkit, mengambil barang-barangnya dan berkata, "Maafkan aku, ibuku perlu bantuan." pada Mindy sebelum mengecupnya, "Pulanglah sendiri dengan taksi, aku akan menelponmu, oke?" dia menghilang di balik pintu dan tidak pernah melakukan panggilan itu.
Pada ponsel di genggaman tangannya masih tertulis;
(5) Missed calls from Macbeth Russet.
New messages from Macbeth Russet: Angkat telpon bangsat. Bar. Now! Gadismu dalam masalah.
----End.
YOU ARE READING
Bomboniere
Roman d'amourKumpulan cerita lepas bertemakan romansa. Butterfly Kissess; kisah romantis yang manis. Poisonous Lips; hubungan tidak sehat yang menjadi candu. Haunted; sst! jangan ada yang tahu! All of character is original by me and other puppet master. ©copyrig...