"Boleh duduk di sini, kan?"
Udara pagi menerbangkan anak-anak rambutnya. Si pemuda duduk di bangku taman dari batu, permukaannya dihiasi keramik seputih susu dan bintik-bintik embun yang melembabkan celana yang dipakainya. Napasnya tersenggal, dadanya naik turun, dan peluh menetes dari pelipis menuju tulang rahangnya yang menonjol. "Veronica." kepalanya semula menunduk, memperhatikan kerikil-kerikil kecil di sisi sepatunya, "Veronica Hearne." sekarang tengah memandangi seorang gadis di sebelahnya. Gadis itu datang tidak lama setelah Agravain, duduk di sebelahnya dengan paru-paru yang juga hampir kosong, dan mengenalinya lebih dulu daripada kemampuan Agravain mengingat-ingat nama seseorang.
"Aku ingat." wajahnya tidak asing, dan kalaupun Agravain melihatnya berkali-kali, mereka pasti tidak pernah bercakap-cakap sampai ingatan tidak bisa menolongnya. "Seandainya kau lupa, namaku Lindegaard." hmm? "Silahkan."
Veronica terkekeh, tanpa diaba-aba senyum datang pada bibir Agravain seperti matahari pagi.
"Aku ingat, Lindegaard, Lindegaard yang Agravain."
"Benar."
Seolah-olah dunia penuh dengan anak-anak ayahnya dan menginvasi dunia.
Agravain mengabaikan topik itu, si pemuda menegakkan tubuhnya. Handuk yang semula melilit di lehernya kini berada pada genggaman tangan. Tidak dibutuhkan. Sebab yang dibutuhkannya adalah bahan pembicaraan yang tidak juga dia miliki. Veronica barangkali bukan gadis yang suka bercerita, mereka akan jadi teman baik seandainya pertemuan ini terjadi tiga tahun yang lalu. Hari ini, sayangnya harus diisi dengan percakapan atau pertemuan mereka akan jadi sia-sia dengan hai dan sampai jumpa. Jika Agravain harus berharap, dia akan mengharapkan sesuatu yang lebih baik daripada pertemuan yang tidak akan pernah terjadi.
Lagipula pagi harinya terdengar sangat membosankan kalau hanya dilalui dengan lari dan pergi ke kampus. Seseorang sedang memberi sprinkle pada ujung es krimnya, maka saat itu dia akan merasakan sensasi yang lain daripada kelapa dan mint, rasa yang selalu dimilikinya.
"Mau ke toko es krim dekat sini?"
"Hah?" tentu saja Veronica terkejut.
"Aku berasumsi kelasmu tidak akan mulai terlalu pagi, jadi kita punya sedikit waktu untuk bicara." si bodoh. "Lupakan."
"Tidak, tidak." Veronica bangkit dari duduknya, sementara Agravain terkejut bukan main. Dahinya mengerut dan pikirannya yang tidak pintar bertanya-tanya. "Aku bebas kelas hari ini, maksudku, aku punya banyak waktu untuk ngobrol. Maksudku, ayo makan es krim."
Lalu mereka berdua tertawa.
Rona berkumpul di pipi Veronica, dan senyum Agravain semakin merekah. Jalan mereka terlalu lambat untuk orang yang menginginkan es krim. Itu berarti Agravain punya dua hal yang perlu diperhatikan, lebih banyak obrolan, dan lebih banyak obrolan. Dia jadi bertanya-tanya kapan Veronica akan meninggalkannya karena dia pasti terlihat seperti pemuda brengsek yang tidak peduli dengan percakapan yang sudah dibuat susah payah. "Aku hanya tidak pernah makan es krim setelah olahraga." bahu sang gadis mengendik, barangkali bingung. "Poinnya adalah kau berolahraga untuk membakar kalori, bukannya malah memadamkan api dengan es dan menimbun lemaknya lagi."
"Kau yang terbaik di kelas?"
"Err... aku masuk kelas unggulan." perubahan topik membuat Veronica semakin bertambah bingung. "Apa teoriku salah? Aku yakin membacanya di sebuah buku."
Agravain tidak bisa menahan tawanya, "Jadi, ingin makan es krim atau tidak?"
"YA!" mereka menghentikan langkahnya, terlalu terkejut untuk melanjutkan, terlalu segan untuk tertawa. Taman ini semakin sepi, matahari sudah semakin tinggi untuk mengusir para pengunjung dengan sinarnya. Lagipula sekarang bukan akhir minggu, orang-orang biasanya pulang lebih cepat untuk pekerjaan yang sudah menantinya, atau kembali menjadi mausia tidak berguna di rumah. Secara teknik suara Veronica tidak menganggu siapapun. Namun si gadis menunduk, dan rona merahnya semakin kentara. Agravain yang tidak pandai menyembunyikan sifat brengseknya tertawa lepas. "Maaf." kata Veronica yang dibalas dengan tepukan di atas kepala sang gadis. Agravain tidak tahu harus membalas apa, jadi dia terus menepuk puncak kepala Veronica seperti dia menepuk kepala Mister Peanut Wigglebutt, kucing adiknya.
Dua muda-mudi itu terdiam setelahnya, tangan Agravain perlahan-lahan turun menuju pipi Veronica Hearne, mengusapnya seperti berada pada permukaan sutra. Mata mereka saling memandang, dan tidak ada yang tahu siapa yang memulai lebih dulu ranumnya bertemu dengan milik Veronica. Usapan telapak Agravain menjadi cengkraman untuk rahang Veronica yang mengeras. Si pemuda sudah tidak peduli dengan percakapan yang seharusnya berlangsung lebih lama, kalau Veronica akan menamparnya, maka sekaranglah waktu yang tepat.
Namun ciumannya berbalas.
Veronica membuka mulutnya, sementara Agravain membawa sang gadis menuju balik pohon dengan batang besar. Punggung Veronica menyentuh permukaannya yang kasar, kaus longgar tidak akan membantunya mengurangi rasa yang tak nyaman, tapi itu membuat Agravain lebih mudah menyelipkan tangannya dan jelas tidak akan disia-siakan. Keduanya masih saling berpagut, lidah mereka mengambil andil.
Tidak lama kemudian tangan Agravain menemukan kesenangannya. Telapaknya menangkup dengan susah payah. "Sport bra," katanya, disela-sela pagutan mereka yang melelahkan. Veronica kembali menunduk, dan napas mereka lebih terengah-engah ketimbang saat niat membakar kalori akan dikabulkan dengan lari berapa kilometer. Wajah gadis itu lebih merah dari tomat, dan tentu saja bibir Agravain tertarik lebih lebar. Dengan lembut pemuda Lindegaard kembali mengecup bibir Veronica, membunuh jarak yang mereka ciptakan secara tidak sengaja, matanya tidak lepas memandang pada mata gadis itu. "It's ok." katanya, meyakinkan hal-hal yang tidak perlu diyakinkan. Tentu saja semuanya baik-baik saja, setidaknya untuk Agravain.
Pagutan itu kembali terjadi.
Mata mereka saling menutup, suara-suara kecil Veronica lolos di sela-sela aksi lidah yang saling berpaut. Hingga mata itu terbuka, dan cengkaraman tangan pada pergelangan Agravain terasa menyakitkan. Jari-jari besar sang pemuda bergerak terlalu lihai. Kulit perut barangkali bukan sesesuatu yang membuat Veronica senang, maka si pemuda meraba semakin ke bawah dan ke bawah, mendapati titik yang diinginkannya. Suara-suara desah berubah menjadi rintih yang menuntut, wajah sang gadis sama frustasinya dengan jari-jari Agravain. Dia tahu tidak akan ada yang akan mendapatinya, meski begitu si pemuda tetap bertanya, "Tempatku, atau tempatmu yang lebih dekat?"
Tidak ada lagi yang menginginkan es krim.
"Mobilku" jawab Veronica dengan terbata sambil menggandeng Agravain berlari.
Veronica benar, seharusnya mereka tidak membuat olahraganya menjadi sia-sia dengan lebih banyak lemak.
----End.
YOU ARE READING
Bomboniere
RomanceKumpulan cerita lepas bertemakan romansa. Butterfly Kissess; kisah romantis yang manis. Poisonous Lips; hubungan tidak sehat yang menjadi candu. Haunted; sst! jangan ada yang tahu! All of character is original by me and other puppet master. ©copyrig...