Salted Caramel

13 0 0
                                    

Sampai sore hari suasana hatinya tidak bisa terkontrol. Decihan tidak pernah hilang dari bibirnya, rahangnya mengeras, dan berbatang-batang rokok sudah habis dihisapnya demi menjernihkan pikiran. Kepalanya berkabut bukan karena asap nikotin yang mulai mengisi tengkoraknya, "Tolol!" namun sesuatu yang datang dari lingkungannya seolah-olah meledakkan kepala. Pemuda itu menjauhi lokasi setelah dia merasa apa yang dilakukannya sia-sia. Alas sepatunya menginjak jalanan basah. Udara bulan November mulai membuat napasnya menguap, dan rintik hujan memperburuk suasana. Langit kelabu, dan bau tanah basah seharusnya bisa membuatnya lebih tenang, bukannya malah membara.

Tidak ada yang pernah meminta amarah, termasuk Agravain Lindegaard, tapi siapa yang tahu bagaimana dunia akan mempermainkannya.

Laki-laki itu bersandar pada batang pohon lembab. Tangannya disembunyikan dalam kantung jubah tebal, melindunginya dari radang dingin yang mungkin saja terjadi sebentar lagi. Salju kelihatannya akan turun nanti malam, padahal dia masih punya pekerjaan luar ruangan mungkin sampai besok pagi. hujan dari langit bukanlah hal yang bisa membuat semuanya selesai dengan cepat. "Malah kelihatannya tidak akan selesai. Bangsat." decihannya lolos, bersamaan dengan tangannya keluar dari dalam saku, dia membawa serta bungkus rokok dan pematiknya. Satu batang mulai dikeluarkan untuk dibakar ujungnya, hisapannya dalam bersama dengan memanjangnya abu yang diciptakan, dan kepulan napas melayang tepat di atas kepalanya seperti kereta uap.

"Agravain." dihiraukannya panggilan itu, si pemuda tidak berusaha agar dirinya ditemukan.

Asap-asap yang pergi diganti dengan asap-asap yang baru, hingga gema panggilan menjadi resonansi tapak sepatu yang tidak sabar. Seperti gemuruh dalam jantungnya yang berdebar akibat adrenalin.

Ada apa sih? Bikin kesal, pikirnya sembari terus menghisap rokoknya.

"Di situ kau rupanya."

Beth Johansson menapakkan diri. Rambutnya yang ikal dikuncir terlalu erat sampai terlihat begitu menyakitkan. Wanita, siapa yang bisa mengira apa maunya. "Apa?" termasuk kedatangannya menemui Agravain. Beth adalah seseorang perancang baju, dalam pekerjaan ini Agravain dan Beth merupakan dua orang yang memimpin jalannya produksi. Agravain harus membuat satu film pendek untuk fortopolionya, dan Beth harus memamerkan baju-baju untuk dipasarkan dalam bisnis kecilnya. Mereka bekerja sama untuk saling menguntungkan. Dengan kata lain, jika mereka berdua berada di sini, pekerjaan akan semakin lama diselesaikan.

"Apa, katamu?" Beth bertolak pinggang. Decak memenuhi telinga Agravain selagi Beth membunuh jarak di antara mereka. Jarinya-jarinya dengan lihai menyambar batang rokok di  bibir Agravain, dan menginjak-injak hingga hancur dengan alas kakinya yang bertumit tinggi. "Kau akan membuat pekerjaan ini semakin berat." kata Beth tidak menghiraukan tatapan tidak senang dari Agravain.

"Bukan aku yang membawa model-model dungu untuk projek ini."

"Bukan kau saja yang perlu semuanya berjalan dengan sempurna, Lindegaard."

Agravain mendecih, pemuda itu memalingkan pandangannya pada jalan raya yang kosong. Mobil-mobil terparkir tanpa pemilik, orang-orang jelas tidak akan keluar pada suhu sedingin ini, kecuali mereka. "Model-model yang kau bawa tidak bisa bekerja dengan baju-bajumu." kata Agravain kali ini, pandangannya tepat pada mata Beth. Seandainya ada yang mengatakan Beth adalah orang yang keras kepala, maka sekarang Agravain sedang menghancurkannya menjadi kepingan-kepingan kecil. "Mereka tidak terlihat akan bekerja dengan baju-bajumu, Johansson." nadanya serius. Dia tidak pernah benci pekerjaannya, Agravain hanya tidak suka ada seseorang yang merusak apa yang direncanakannya. "Kita hanya membuang-buang waktu dan bayaran—"

"This is not Channel's Beauty Video, Lindegaard."

"Aku menghabiskan waktuku untuk merekam gadis-gadis pakai plastik sampah. Itu yang kau maksud?"

PLAK!

Tamparan mendarat di pipi Agravain. Dilihatnya Beth memandang dirinya dengan tatapan tajam, hampir-hampir melubangi kepalanya. Petrikor jelas tidak berguna bagi mereka, sihirnya ditutupi bau hangus dari emosi yang terbakar. "Jangan sekali-sekali kau—" jika Beth bisa mengeluarkan amarahnya, maka Agravain juga melakukannya. Mulut itu dibungkam hingga diam, dan tangannya yang lebar mencengkram pinggang Beth seperti ular yang melilit mangsa. Pikirannya kembali diselimuti kabut, dia hampir-hampir tidak tahu apa yang dilakukannya, tapi Agravain tidak berhenti. Si pemuda mencium sang gadis dengan putus asa. Tidak sabar ingin memiliki semua yang bisa dimilikinya saat itu. Namun tubuh Beth berontak, mendorong, dan terus mendorong, sampai keputus asaan berubah menjadi ketersediaan.

Ciuman mereka saling terbalas, tanpa sadar keduanya saling berlomba-lomba membawanya lebih dalam dengan pagutan yang tidak sabar. Dingin menjadi panas, jubah yang mereka pakai terasa seperti api yang akan membakar tubuh mereka hingga binasa.

Bahkan ketika paru-paru mereka terasa begitu hampa.

Cengkraman tangan Agravain tidak lagi menyakiti, dan Beth membalasnya dengan dekapan erat seolah-olah tidak mengizinkannya pergi kemanapun. "Agravain." kata Beth dengan napas berat selagi pemuda itu mengecupi tulang rahang sang gadis. Dihiraukannya panggilan itu, Agravain membawa dirinya sendiri menjelahi kecupannya hingga kulit di balik jubah dingin yang dipakai Beth terekspos. Inchi demi inchi tidak dilewatinya tanpa menjejaki.

"Agravain." ulang Beth dibarengi dengan dering telepon yang berbunyi mencuri perhatian Beth darinya.

"Abaikan."

"Agravain!"

Dengan singkat api yang menghanguskan mereka padam.

Beth membebaskan dirinya dengan mudah dan membawa langkahnya menjauh dengan ponsel menempel di telinga. "Hai, sayang...." kata gadis itu meninggalkan si pemuda dengan makiannya.

----End.

BomboniereWhere stories live. Discover now