SAMPAH DALAM KOTAK

33 9 0
                                    

Pada suatu siang di hari minggu, dua bulan sebelum bulan November, Arin mengundang beberapa kepala departemen dan divisi untuk meeting kecil di rumahnya di kawasan BSD, Tangerang. Rumahnya ini menonjol sendirian di antara rumah-rumah lain yang desainnya tidak memiliki kepribadian. Rumah ini berdiri di atas luas tanah yang nggak terbayangkan; bertingkat tiga disangga oleh tiang-tiang yang menjulang angkuh seolah ingin melumat siapa pun yang datang. Satu-satunya cara supaya gue bisa membeli rumah seperti ini adalah menjadi pejabat yang rajin korupsi atau menjadi agen umrah bodong.

   Gue sempat menggerutu karena harus membatalkan penerbangan ke Quezon City, Filipina gara-gara undangan meeting dadakan ini. Gue yang rada malas-malasan datang pun akhirnya berpakaian seadanya: celana panjang batik tipis dan kaos oblong karena berpikir, walau pun penting, meeting ini tidak resmi alias santai. Tetapi ternyata semua datang dengan dandanan maksimal –yang cowok rata-rata memakai blazer dengan sepatu mengkilat seperti habis dilaminating sementara cewek-ceweknya berdandan seperti lady escort. Tidak ada makanan rakyat seperti sate, bakso, atau nasi goreng, digantikan dengan makanan Cina dan Thailand yang menyebut nama-nama menunya sesulit memahami rumus trigonometri. Hampir saja gue putar balik ke rumah seandainya nggak keburu dicegah tuan rumah.

“Gue nggak menentukan, mereka aja yang heboh. Santuy lah.” Celetuk Arin ketika gue bertanya soal dress code.

Gue yakin semua orang yang hadir pasti diam-diam menertawakan penampilan gue yang lebih pantas disebut tukang lukis Pasar Asemka ketimbang seorang eksekutif kelas atas. Apalagi kaos gue bertuliskan ‘2019 Ganti Pepsodent!’.

“Bundaran HI, mah, biasa banget. Nggak istimewa. Kita butuh lokasi yang gokil, yang nggak kepikiran orang!” Ujar Leo, seorang Manajer Produksi berwajah oriental dengan lengan yang dipenuhi tato. Ia lalu melahap bakpao bulat-bulat tanpa menggigitnya. Dengan mulut selebar itu, gue yakin dia bisa menelan kepala bayi tanpa kesulitan.

“Ntar ide udah keren tapi harus di-downgrade. You know lah...” Arin berkata, separuh menyindir. NSTV memang kerap memotong anggaran di tengah ekonomi global yang sedang lesu. Arin adalah presenter merangkap Executive Produser in charge untuk acara live event HUT NSTV ini. Presenter blasteran Cirebon-Manila ini  memiliki rambut coklat alami dan lesung pipit yang menggemaskan.

Suparno, Wakil Pemimpin Redaksi, yang hari itu memakai blazer warna silver mencolok menyahut dengan suara tenang, “bikin aja dulu konsep yang wah. Talkshow 18 jam nonstop di tengah pulau di Indonesia Timur, misalnya. Kita lengkapin show-nya pake grafis. Nanti kita boyong alat ke sana biar si Irvine dan tim bisa main augmented di sana. Ntar si Astrid yang cariin dana dari sponsor buat kita.” Wapemred yang satu ini memang kerap bergaya nyentrik, norak lebih tepatnya. Dan pakaian silver yang dikenakannya hari ini membuatnya terlihat seperti kebab yang dibungkus aluminium foil.

Astrid spontan pasang tampang manyun. “Jadi banyak PR deh gue.” General Manager Sales & Marketing berusia 38 tahun ini selalu tampak seperti gadis berusia 25 tahun. Pertama kali gue bertemu dengannya, gue mengira dia adalah staff marketing yang baru dan hampir saja gue modusin.

Leo lantas melirik ke arah gue, “Vin, memungkinkan nggak bawa alat untuk main video mapping dan augmented di sana?”

“Bisa. Asal ada bidang tembak untuk video mapping. Bisa landmark atau apa gitu yang khas. Kalau augmented, kita butuh bawa engine kesana.” Sahut gue sambil mengunyah lambat makanan Thailand yang rasanya seperti rebusan air tahu.

“Sedap! Apa sih yang nggak bisa sama Irvine. Iya nggak?” Seru Astrid. Bayangan sebuah show yang ‘laku dijual’ membuat darah Astrid terpompa adrenalin. Semangatnya memuncak.

Pembicaraan soal lokasi ini kemudian berlanjut setelah makan siang. Berhubung hanya ruang kerja milik ayah Arin yang ukurannya paling pas untuk rapat, kami pun melanjutkan meeting di sana.

   Di sini, di ruangan mewah yang interiornya mungkin dibangun dengan harga yang setara dengan harga lima buah mobil Alphard, semua bermula. Ketika pembicaraan kami hampir memasuki keputusan final, Astrid iseng membuka-buka sebuah kotak dekil yang teronggok kesepian di sudut ruangan. Kotak berbahan kulit yang besarnya kira-kira seukuran peti mati balita itu berisi tiket-tiket, surat-surat, gelang murah, foto-foto, dan barang-barang remeh lain. Seperti sampah yang ditata rapi dalam kotak.

“Tau tuh, bokap gue suka ngumpulin semuanya di situ. Tiket nonton dari jaman pacaran sama nyokap nggak pernah dibuang, surat-surat yang mereka kirim, pokoknya semuanya sampe berkeluarga dan anak-anaknya gede dikumpulin. Dia menyebutnya ‘kotak sejarah’.” Jelas Arin pada Astrid. Gue yang duduk persis di sebelah mereka ikut menguping, sesekali melirik.

“So sweet!” Timpal Astrid spontan. Matanya berbinar-binar seperti dalam komik. “Laki gue mah nggak ada romantis-romantisnya.” Binar di matanya segera lenyap.

Gue yang nggak begitu tertarik dengan ide mengumpulkan sampah untuk mengawetkan sejarah pun mengembalikan perhatian pada layar ponsel. Perhatian gue teralih pada timeline Facebook. Seorang cewek yang dulu akrab disapa Prue baru saja meng-update sebuah foto. Update pertamanya setelah tujuh tahun.

Tak berapa lama terdengar suara benda yang sangat gue kenal, seperti suara penutup pematik Zippo yang sedang dibuka-tutup. Benar saja, mata gue lantas terbelalak begitu melihat benda yang sedang dimainkan Astrid itu.

I LOVE YOU MONKEY: loving prueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang