PROLOG

60 2 0
                                    

Satu-satunya hal yang diinginkannya adalah pulang ke rumah.

Namun rumahnya telah lenyap bersama seluruh kota tempat tinggalnya.

Mobil-mobil terabaikan di jalanan beraspal merekah dan berasap. Serpihan kaca tajam dari gedung pencakar langit yang setengah hancur tersebar di mana-mana. Beberapa gedung bahkan telah berubah menjadi cerobong kepulan awan debu tebal.

Dunia sedang terbakar.

Dengan mengerang, Ashley Widjaja menyingkirkan bongkahan beton terakhir yang menghalangi jalan keluarnya dari dalam lorong ventilasi terowongan jalur kereta bawah tanah MRT. Tindakan tersebut mungkin terkesan bodoh, terlebih lagi karena bebatuan tersebut masih terasa cukup panas. Untuk apa dia keluar dari tempat persembunyian yang aman dan justru ingin pergi ke kehancuran? Namun asap sudah berkumpul memenuhi seluruh terowongan di belakang gadis berambut sedada itu.

Udara panas di luar jauh dari kesegaran, tetapi setidaknya ia tidak akan mati lemas. Bau gosong tercium di segala arah. Ashley bahkan sempat terbatuk-batuk saat angin panas menerpa wajahnya.

Ia menyaksikan pemandangan yang mustahil. Ventilasi berada dekat salah satu jalan protokol ibukota sehingga seharusnya jauh di bawah bayang-bayang berbagai gedung bertingkat. Namun Ashley berada justru di atas mereka dan harus memikirkan cara turun, karena tanah terowongan sudah merekah dan terangkat miring oleh bencana yang baru saja terjadi.

Ia masih mengenakan seragam SMA dengan kemeja putih dan rok kotak-kotak. Pakaian tersebut sudah kotor dan compang-camping akibat penderitaan yang dilaluinya. Gadis itu mengangkat tangan yang gemetaran untuk melindungi mata dari gempuran cahaya terang.

Mata sipit Ashley menyaksikan lautan api di kejauhan di tempat yang sebelumnya merupakan ibukota Indonesia. Hari masih terbilang sore, tetapi sudah diberikan kutukan pencahayaan yang aneh. Pertamina Energy Tower dan menara Thamrin-9 di kejauhan telah berubah menjadi reruntuhan menyala. Patung Jenderal Sudirman dan Monumen Pembebasan Irian Barat menghitam dan rusak. Tiang-tiang asap menyatu di langit sebagai satu kesatuan kabut yang meredupkan cahaya matahari.

Mulut Ashley terbuka sedikit sehingga kedua gigi kelinci dapat terlihat. Matahari dihalangi oleh gerhana buatan akibat sang raksasa yang melayang di langit. Sebuah kapal ruang angkasa dengan kepala berupa bentuk kubah landai bagaikan gambaran piring terbang, dan delapan kaki gemuk melengkung panjang yang berujung runcing. Sebuah bukti pencapaian teknologi sebuah peradaban yang teramat maju.

Sayang sekali bukti tersebut bukanlah milik manusia, melainkan milik mereka yang ingin memusnahkan seluruh umat manusia. Jakarta adalah korban terbarunya, dan sudah banyak kota-kota besar yang ia luluhlantakkan sebelumnya. Kerumunan makhluk kegelapan terbang mengerumuni tudung kubah landai bagaikan gerombolan lalat di atas bangkai busuk. Di antara reruntuhan Jakarta, kerumunan lain menyebar memburu sisa penduduk sembari melepaskan jeritan menusuk telinga. Tidak akan membutuhkan waktu lama sebelum mereka mencapai tempat Ashley.

Ashley tidak mungkin melarikan diri. Ia bahkan tidak mampu berdiri lama dan kini harus menyandar pada tembok beton yang sudah miring. Napasnya pendek terengah selagi matanya memperhatikan kerumunan makhluk mendekat dan suara mereka semakin jelas terdengar.

Ia duduk lemas dengan kaki terlentang saat salah satu makhluk akhirnya mencapai lokasinya. Hal pertama yang ia saksikan adalah kedua tangan panjang yang mencengkeram beton dengan jari-jemari tajam. Kepalanya menyusul naik dengan ukurannya besar tidak proporsional dengan leher dan badan kurus menyerupai gambaran makhluk asing pada umumnya. Satu perbedaan jelas adalah wajahnya menyerupai topeng makhluk leyak dari Bali. Mulut terbuka lebar dengan dua pasang taring yang terlewat panjang dan selalu tertawa terkekeh-kekeh.

Red Rose for HeroesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang