Langit di atas berwarna kelabu seperti biasa. Gerombolan awan gelap berarak dan mengerubungi barisan menara raksasa di cakrawala. Sinar mentari lemah tidak menyerah berusaha menyelinap sehingga menciptakan celah terang yang membawa harapan.
Dari awan mendung, keping salju turun dan mendarat di bibir merah seorang gadis yang berdiri diam. Napasnya membentuk kabut tipis dalam udara dingin. Satu salju lain jatuh di helain rambut hitam lurus nan lembut yang hampir menyentuh bahu. Mata sipit memberikan kedipan panjang.
Dalam kerumunan orang banyak, gadis itu tidak tampak menonjol. Ia tampak sebagai gadis biasa meskipun pilihan baju musim dinginnya tidak begitu biasa. Sepatu bot kulit setinggi lutut tidak terlalu aneh, tetapi ia juga mengenakan jaket tim sekolah berwarna bahan putih tampak kontras dengan tulisan logo Teratai Gymnastics and Tumbling merah muda. Kenangan masa lalu yang harus terus dipakai.
Satu hal yang mampu membuat gadis itu tampak lebih menawan adalah senyumannya yang dapat menunjukkan gigi kelincinya. Namun tidak untuk hari ini. Barisan pepohonan di belakang gadis itu sudah meranggas tanpa satu helai daun pun. Barisan puluhan ribu batu nisan di tata dalam pola setengah lingkaran pada sisi sebuah bukit bagaikan sebuah orkestra orang mati. Sebuah jalan batu bata setapak membelah tepat di tengah dengan sang gadis berada di ujung teratasnya.
Gadis itu sedang berada di salah satu pekuburan terbesar di dunia. Taman Makam Martir Tentara Merah terletak di daerah Sichuan, Republik Rakyat China. Di sini tersimpan para pahlawan bangsa yang gugur dalam berbagai konflik bersejarah, mulai dari perlawanan penjajahan Jepang, Perang Korea, Vietnam, dan yang terakhir merupakan perang melawan kekuatan asing baru.
Di hadapan gadis itu, terdapat sebuah tugu baru. Sebuah obeliks tinggi dengan patung figur kuda yang berderap di puncaknya. Terdapat sebuah balok yang terbuat dari batu hitam dengan tulisan dalam huruf China sederhana. Bibir sang gadis bergerak membaca kutipan di bagian atas, "Aku terasing di tanah perantauan / Musim dingin telah berlalu dan musim semi telah datang / Kini kumerasa malu kembali ke kampung halaman / Bersua orang pun aku tak berani bertanya...."
Puisi Menyeberangi Sungai Han karya penyair kuno dari dinasti Tang lebih dari seribu tahun lalu. Sudah agak lama sejak gadis itu mengucapkan apapun dalam bahasa Mandarin, dan sajak tersebut tidaklah mudah untuk diartikan. Namun usaha itu berarti. Hari ini lagipula merupakan hari istimewa. Umat manusia sedang merayakan kemenangan melawan kepunahan.
Sepasang pesawat jet tempur siluman berlogo bintang merah menderu melintas di langit dengan meninggalkan jejak asap kuning dan merah panjang. Mereka di sini bukan untuk bertempur, melainkan untuk menghibur. Kota di bawah bukit―termasuk gedung apartemen raksasa yang menjulang menyerupai balok hitam sebagai tempat tinggal setengah juta orang―di kejauhan sudah bergemuruh oleh kemeriahan. Satu kemeriahan di antara kemeriahan yang tak terhitung di seluruh penjuru Bumi.
Struktur besar yang mendominasi bukit di kiri menjadi bukti kemenangan tersebut. Salah satu bangkai kapal makhluk asing berbentuk piring terbang hitam yang menjadi korban persenjataan terbaru China. Seluruh hutan di sana dulu sempat terbakar seluruhnya akibat tumpahan bahan bakar, tetapi itu adalah harga yang terbilang murah.
Begitu pula ribuan prajurit yang gugur dalam pertempuran setelahnya. Pasukan makhluk asing terus melakukan perlawanan untuk mencegah kehancuran kapal mereka. Ribuan orang tewas dalam jangka waktu sehari. Mereka sebagian besar bahkan bukan prajurit, melainkan orang biasa yang ingin menyelamatkan dunia. Salah satu dari mereka adalah seorang mahasiswa tingkat S2 pemberani yang sebelumnya belajar di Institut Teknologi Chengdu.
"Karena itu, namamu pantas diabadikan di sini, Kak," ucap gadis itu lirih. Tangan kanannya meraba ukiran satu nama dalam daftar ribuan martir pada monumen. Nama gadis itu adalah Ashley Widjaja, sedangkan nama pada batu adalah Richard Widjaja. "Sampai jumpa lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Red Rose for Heroes
Science FictionSuperhero itu benar-benar ada, begitu pula iblis yang mereka lawan. Dua tahun lalu, kelompok penyihir jahat Narakavanshi menyerang seluruh penjuru dunia dengan kapal-kapal raksasa Armada Jagal. Haus akan pembalasan dendam karena telah dipenjara di B...