Akhir Bukan Sebuah Akhir

72 1 0
                                    

    Matahari terbit di ufuk timur, langit yang semula hitam pekat perlahan pudar berganti biru cerah. Aktivitas - aktivitas yang menjadi rutinitas kini aku jalani kembali.

Dan aku bekerja di suatu perusahaan swasta di daerah dimana jauh dari tempatku tinggal. Terkadang, jika waktunya pulang, aku memilih menginap di perusahaan. Karena bila pulang akan membuatku tambah lelah. Dan membuang-buang waktu serta uang saja. Itu bagiku. Tapi Alhamdulillah, pekerjaanku dapat mencukupi sisi konfensionalku. Segala kebutuhan hampir semuanya dapat tercukupi dengan uang hasil jerih payahku, tanpa meminta ke orang tau. Bahkan, justru aku yang memberi ke mereka.

     Tidak terasa, jam tanganku menunjukan pukul 11.30 WIB. Kalau sedang banyak pekerjaan, hari pun berlalu dengan begitu cepat. Tak memberi jeda atau pun istirahat. Sejujurnya aku ingin sekali rehat. Meminum kopi dengan kue donat. Ah sayang, semua itu hanya khayalan sesaat. Buktinya, aku masih di ini tempat. Dan sampai pada akhirnya, waktu Dzuhur tiba. Aku tinggalkan segala aktivatas yang membuatku penat. Kutinggalkan, dan aku beranjak sholat.

      Meski aku yang terkadang di bilang anak yang keras kepala. Akan tetapi kenyataannya, bila jauh dari rumah, aku bukanlah apa-apa. Bagai anak kemarin sore yang di hantui nasihat-nasihat dari ibunya.

"Kalau dimana-mana jangan belagu. Nanti kenapa-kenapa malah di sukurin orang."

     Singkat sih, tapi begitu memilik pesan yang amat mendalam di dalamnya. Atau kalimat di atas bisa di artikan, kalau jadi orang dan lagi dimana-mana mau itu di sekitar rumah atau jauh dari rumah haruslah berperilaku baik. Jangan sombong, saling tolong menolong. Agar bila nanti terjadi sesuatu pada diri kita atau musibah menimpa kita, banyak yang merasakan dan menolong kita. Bukan menertawakan gembira di atas penderitaan kita.

"Jangan tinggalkan sholat lima waktu."

     Itu beberapa pesan yang sering di sampaikan padaku saat aku ingin berpergian.

***

"Woi Dodi! Mau sholat lu ya? Bareng lah."
"Etdah, ngagetin aja lu!"
"Hehe.."

   Ternyata itu Rizky. Teman satu kantorku yang sudah amat akrab denganku. Karena aku sering banyak bercerita tentang kehidupanku, tentang masalah-masalah yang sering aku alami. Tidak jarang kami juga suka bertukar pikiran dalam segala hal. Dan mungkin itu yang membuat kami cukup dekat.
   
    Perjalanan menuju mushola memakan waktu hampir sepuluh menit. Di sepuluh menit itu aku banyak bercerita kepada Rizky.

"Eh Ky, elu tau ngga toko buku di dekat sini dimana?"
"Elu mau beli buku, Dod?"
"Yoi! Gua mau nyari buku sama novel yang asik-asik nih. Gua di rumah baru ada sepuluh buku. Tapi belum gua baca semua sih. Gua rasa masih kurang. Gua mau nyari lagi."
"Hhmm..."
"Iyaa Ky. Gua dirumah ada buku 'Novel Tanpa Nama' bagus banget tuh Ky Alur ceritanya. Bagus banget. Jadi novelnya itu menceritakan masalalu negara Vietnam yang di jajah oleh komunis dan pahlawan-pahlawan yang telah gugur di dalamnya. Lu udah baca belum?"
"Belum."
"Ah lu gimana sih.. padahal itu novel bagus banget, Ky. Udah gitu ya, itu novel yang menerjemahkan sastrawan terkenal indonesia, Supardi Joko Darmono."
"Hhmm.. gitu."
"Gua kan kemarin abis liat-liat buka ya di kwitang, eh ada tu satu buku yang menarik perhatian gua banget. Buku tentang, Soe Hok Gie. Eh pas gua cek kantong celana, dompet gua ketinggalan di kantor. Haduuh.. haduuh."
"Yaudah yaudah, sholat dulu ayo. Ambil wudhu dulu gih."
"Lah elu?"
"Gua udah tadi di kantor."

Kami pun sholat berjamaah. Rizky imam, dan aku mamumnya.

*

**

     Di kantin belakang kantor.

"Lu mau makan apa, Ky? Kali ini gua yang bayarin elu."
"Widih.. ada angin apa nih mah bayarin? Apa ada sesuatu?"
"Ah lu suudzon aja. Ini gua ikhlas tanpa embel-embel apapun."
"Hehe.. iya maaf maaf."
"Samain aja ya kaya gua?"
"Yaudah, terserah elu aja, Dod."
"Mbak.. Mas?!!" Ungkapku dengan mengacungkan jari telunjuk keatas. Lalu datang lah waiters menghamipiriku,
"Nasi Goreng ya mas, dua. Sama minumnya lemon tea."
"Siap mas. Di tunggu yaa.."

    Tidak sampai lima belas menit, makanan yang tadi aku pesan kini sudah siap.
Diwaktu sedang makanpun, kami berdua tidak luput dari obrlan. Rizky, bercerita banyak tentang kehidupannya. Ternyata selain ia berkerja di kantor, ia dirumah juga mengajar anak-anak kecil mengaji. Ngaji Quran. Pantas saja, suara Rizky amat bagus dan merdhu. Itu aku ketahui tiga hari yang lalu. Sewaktu sholat magrib berjamaah, dan ia di tunjuk sebagi imamnya waktu itu.

     Aku begitu asik mendengar kisah hidupnya Rizky, aku bagaikan di bawa ke dalam kehidupannya. Namun tiba-tiba, Rizky diam sesaat. Aku tak menghiraukan itu. dia pasti sedang mengingat-ngingat cerita yang mungkin ingin dia ceritakan akan tetapi lupa. Cukup lama dia diam, lalu menatap mataku tajam. Tatapan penuh iba, tatapan kasihan. Aku tak mengerti apa maksud tatapan ini,

"Dod, dari kapan elu suka baca novel?"
"Dari pas kelas dua SMK, Ky. Awalnya untuk pelarian di saat waktu luang. Dan sekarang menjadi hobi yang mengasikan dan gua nikmati."
"Kalau sehari bisa baca buku berapa kali sekali atau berapa jam sehari?"
"Wah.. tergantung mood sih, Ky. Kadang-kadang bisa sampai seharian di rumah. Pernah waktu itu buku lima ratus halaman selesai dalam waktu tiga hari, haha. Hebat kan gua?"
"Hhm.. iya iya hebat."
"Kata orang, membaca buku itu jendela dunia. Jadi, hampir setiap waktu luang gua habiskan untuk membaca. Supaya wawasan gua luas." Terangku kepada Rizky. Dengan nada yang sedikit aku sombongkan, haha.

     Rizky diam sesaat menundukan kepalanya. Dan kembali menatap mataku dalam-dalam. Kali ini tatapannya lebih tajam, terdapat sedikit raut kekecewaan dan sedih di mukanya.
"Lu kapan Dod terakhir pegang Al Quran atau baca Al Quran?"

Dooor!!
     Kata-katanya bagai peluru yang tepat menebas hatiku. Tubuhku seperti ada sesuatu yang membuatku diam tak berdaya. Jantungku berdegup lebih cepat, seperti mau meloncat keluar dari sarangnya.
     Sungguh tidak aku sangka, pertanyaan yang di ajukan Rizky begitu mengenai hati kecilku. Terdapat perasaan sedih, kecewa, bahkan menyesal yang aku rasakan.
     Bagai seorang kekasih yang di tinggal kekasih tercintanya pergi, dan bagai seorang kesatria yang kehilangan jati dirinya. Aku terdiam meratapi betapa teledornya aku selama ini. Andaikan saat itu ada patung, dia pun pasti akan merasa iri akan ke patungan diriku. Itulah sedikit gambaran tentang keadaanku setelah pertanyaan Rizky.

Akhir Untuk Sebuah AwalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang