Langkah Awal Untuk Akhir

23 1 0
                                    

     Setibanya dirumah Aa, ternyata sudah ada lelaki kisaran tiga puluh tahun yang sudah menunggu kami berdua dan tidak lain itu adalah Ustadz Zainal Syarif. Atau Aa. Perawakan Aa cukup simpel dan mudah di kenali. Beliau memiliki tinggi badan 180cm, berat badan antara 80kg atau 90kg, memiliki jenggot tipis yang melekat di dagunya, serta rambut yang tidak terlalu panjang.
"Assalamualaikum." Wahyu mengucap salam
"Waalaikumsalam, sini-sini Yu. Masuk ke dalam."
"Iyaa A, makasih."
     Akhirnya Wahyu langsung bercerita tentang niat dan tujuan utama kami. Wahyu ingin mengaji kembali. Dan mengajak aku, temannya wahyu. Untuk ngaji bersama
     Syukur Alhamdulillah, ternyata Aa menyanggupi permintaan kami. Hanya saja, dalam satu minggu hanya beberapa pertemuan saja. Tidak full satu minggu. Bagiku itu bukanlah sebuah masalah. Dari pada aku dirumah doang, baca novel, ngga ada manfaatnya. Setidaknya, meski hanya beberapa hari memberi dampat positif untuk diriku sendiri.
"Ngajinya malem ini, bang? Apa ini kita ngopi dulu aja." Tanya Aa kepada kita berdua.
"Yaudah, gimana menurut Aa aja." Jawab Wahyu menuruti Aa.

     Lalu muncul seorang gadis, membawa kopi. Yang terakhir aku ketahui namanya, Lilis. Adik perempuannya Aa.
"Ayooo ayoo diminum kopinya." Suguh Teh Lilis.
     Lama kami terdiam, lalu Aa pun berbicara memecah kesunyian.
"Kenapa kalian ingin ngaji lagi?" Aa langsung melirik ke arah Wahyu, "kenapa yu?"
"Saya sebenernya dari dula sudah pengen ngaji lagi a, karena ngga ada temannya, saya urungkan kembali niat saya. Sampai akhirnya Dodi minta di carikan tempat pengajian. Yaudah saya ajak ngaji ke sini lagi aja a. Supaya saya pun ada teman ngaji."
"Lain kali, kalau mau ngaji. Ngaji aja. Jangan ikut-ikutan teman. Emang mau teman nyebur ke jurang, Wahyu juga ikut nyebur?!"
"Ngga a."
    Haha.. aka seperti kasihan melihat Wahyu di ceramahi seperti itu. Aku lagi seru-serunya melamun, eh tiba-tiba
"Ente bang, kenapa pengen ngaji?" Aa langsung menyakan hal yang sama padaku
"Pengen bisa baca Al Quran sama memperbaiki hidup a."
"Yaudah, ajib!. Ngaji yang semangat sama Wahyu. Biar istiqomah di sini dan ilmu yang di dapat bisa di bawa pulang serta di amalkan."
"Iyaaa a, makasih." Ucap kami berdua, dengan penuh harap, agar dapat di istiqomahkan dan di beri kekuatan ketika menghadapi cobaan.
"Aa mau nanya lagi nih,"
"Iyaaa a." Jawab Wahyu dengan nada yang sangat rendah.
"Apa yang kalian kasih ke orang tua dan apa yang di harapkan mereka?"
     Aku dan Wahyu bingung ingin menjawab apa. Tapi padahal, aku ingin sekali menjawab, membelikan rumah serta tempat tinggal yang nyaman. Aku lihat Wahyu diam, aku juga ikut diam saat itu.
"Mereka ngga minta apa-apa dari kalian. Ngga minta harta kalian, kekayaan kalian, rumah mewah. Nggak. Kalian kaya, harta buat kalian. Kalian sukses, sukses buat kalian. Mereka hanya ingin satu permintaan. Kalian semua bisa ngaji. Kelak nanti jika mereka orang tua kalian mati, biar anaknya yang ngajiin."

Dooor!!
     Untuk yang kedua kalinya, hatiku merasa tercabik-cabik dengan sebuah ungkapan. Kali ini benar-benar tepat mengenai jiwaku. Betapa sedihnya aku, yang selalu memikirkan bahwasanya harta lah yang paling membanggakan orang tua, dengan gaji yang besar dan jabatan tinggi. Ternyata bukan itu semua yang sejatinya di inginkan oleh setiap orang tua. Tanpa sadar, air mataku menetes bagai butir air embun di pagi hari
"Lah coba liat anak sekarang, gimana mau ngajiin mereka? Ngaji juga bisa ngga. Datang ke pengajian lah apa lagi. Kalau orang kaya mah ngga apa-apa dah, banyak duit nya dia. Jadi bisa nyuruh orang buat ngajiin. Lah kita orang miskin, duit ngga punya, apa-apa ngga punya, ngaji lah kaga bisa. Dunia akhirat melarat orang kaya gitu mah. Ayo dah sama-sama ngaji mulai sekarang, ajak teman-temannya yang belum bisa ngaji. Hijrah. Insya Allah, Aa siap bantu."
     Dan lagi, kali ini ungkapan Aa benar-benar menamparku. Aku seperti terbangun dari tidur seribu tahun.
"A, temen saya banyak a yang masih doyan mabok-mabokan, belum bisa ngaji. Lingkungan rumah saya a kaya begitu." Ungkapku menceritakan sedikit keadaan lingkunganku dirumah.
"Ente tau Dod siapa yang salah?"
"Siapa a? Dia yang mabok-mabokan kan?"
"Kita!. Kita semua yang salah. Yang ngerti itu salah terus di diemin. Mereka seperti itu karena ngga ada yang mengajak terhadap kebaikan. Kita semua, orang yang baik terlalu sibuk pengen masuk surga sendiri-sendiri. tanpa memikirkan orang lain. Jadi orang lain mau masuk neraka juga bodo amat. Elu elu gua gua. Hei, itu salah!. Saling lah mengingatkan sesama manusia, apa lagi sesama kaum muslim. Sangat di anjurkan."
"Saya juga pernah a ngajak temen saya ngaji, eh di sangka ngeledek. Hampir-hampir pengen berantem a." Sambung Wahyu menceritakan pengalamannya.
"Ngga apa-apa, bagus. Orang seperti itu jangan di jauhin. Jangan di hina. Dekati mereka. Rangkul mereka. Ajaklah pada kebaikan. Tapi harus pakai rencana agar kejadian seperti tadi tidak terulang."

     Aku lihat jam, ternyata sudah sangat larut. Aku juga melihat wajah Aa sudah menampakan kelelahannya. Aku colek-colek Wahyu dan kedap-kedip. Rupanya dia paham akan kodeku. Lalu kami berdua pamit dan berkunjung besok malam kembali, untuk mengaji.

~Selesai~

Cukup sampai sini dulu ya gaes, nanti Dodi akan balik dengan cerita yang lebih fresh :)
Tunggu kelanjutan kisah Dodi yaaa..


Akhir Untuk Sebuah AwalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang