Mencari Cahaya

54 1 0
                                    

Semenjak kejadian waktu itu hidupku bagai tanpa arah. Bagai sampah yang terombang-ambing di samudra lepas. Bila aku ingin mengambil novelku dan membacanya mengisi waktu luang, aku rasa semua itu hanyalah buang-buang waktu. Dan bila aku ganti dengan membaca Al Quran, bacaanku masih sangat jauh dari kata benar. Jujur saja, sebab iqra pun aku tidak khatam. Aku ngaji terakhir kelas empat SD atau kelas lima, aku lupa. Itu pun ngajinya dengan bibiku. Sehingga membuat rasa tahzimku sedikit kurang padanya dan alhasil, berkah pun yang aku dapat juga tidak banyak.
Aku bingung harus bagaimana, di zaman sekarang sulit mencari pengajian yang mengajarkan Al Quran. Kebanyakan ta'lim-ta'lim. Atau ngaji sholawat, ngaji dzikir, dan kajian-kajian.
Meski begitu, aku tak henti-hentinya berdoa memohon di berikan jalan dan petunjuk.


***


Malam itu, aku sedang mengendarai sepeda motor dan berniat ingin pulang, tiba-tiba ada yang memanggilku dari kejauhan. aku kira siapa, Eh ternyata si wahyu. Teman SMPku dahulu dan sekaligus partnerku dalam bermusik. Dan aku pun meminggirkan sepeda motorku, dan menghampiri dia

"Eh elu yu, mau kemana lu malem-malem?"
"Ini gua abis disuru mama gua tadi. Lu baru pulang kerja ya?"
"Iyaaa yu. Eh yu, gua pengen ngomong ni."
"Laah, ngomong tinggal ngomong, Dod. Jadi segala bilang. Apa emang apa?"
"Gua mau ngaji. Belajar ngaji tepatnya. Yang ngajinya di ajarin baca Al Quran."
"Hah?! Ga salah denger gua, Dod?"
"Yaelah lu, temen mau jadi baik juga masih aja di ledek."
"Haha.. ngga gitu. Tapi beneran?"
"Iya, beneran."
"Alhamdulillah, ayo ngaji sama gua."
"Laah, elu ngaji emang?
"Gua dari dulu udah ngaji, Dod. Cuma berhenti. Gara-gara yang tadinya gua ngaji sama temen-temen gua dan sampai akhirnya tinggal gua sendiri. Lah ngga kuat gua kalo cuma sendirian mah. Ayo kalo lu mau ngaji, gua juga mau ngaji lagi. Nanti ngajinya di tempat gua dulu ngaji."
"Nah boleh tuh boleh. Ayo kapan? Kapan?!"
"Nanti deh kita omongin lagi. Gua bawa titipan mamah gua ini. Beliau takut nungguin."
"Yaah gitu ya, yaudah deh."
"Nanti elu gua kabarin lagi, Dod."
"Oke oke"

***

Setelah menunggu hampir tiga hari, Akhirnya aku mendapat kabar dari Wahyu. Bahwa nanti malam kita akan kerumahnya ustadz Zainal Syarif atau santri-santrinya biasa menyebutnya, Aa.

Yu, lu dimana? Gua udah rapih nih.

Aku mengirim pesan singkat kepada Wahyu.

Tidak sampai menunggu lama, Wahyu langsung membalas pesan singkatnya.

Iya iya.. sebentar lagi gua kerumah lu nih

***

Untung bagus, siang hari tadi bagianku libur kerja. Jadi aku tidak usah repot-repot izin atau mencari-cari alasan tidak masuk kerja.
Dan yang aku tunggu sedari tadi akhirnya datang juga. Wahyu datang dengan sepeda motor kesayangannya dari masa SMP dulu. Honda CB100. Namun kini tampilannya sedikit termodifikasi. Jadi, yaa ga ketinggalan zamanlah pokoknya mah. Haha.

***

Dinginnya malam dalam rintik hujan ternyata tak mampu memadamkan api semangatku. Ia begitu bergelora di dalam dada. Mengalahkan dinginnya cuaca malam. Ia mencuat-cuat. Bagai api yang di siram bensin, sedangkan rintik hujan yang turun hanya bagaikan tetesan air yang jatuh dari ujung sedotan.

Aku dan Wahyu begitu bersemangat. Tanpaku sadari, ternyata Wahyu langsung menarik gasnya dengan amat kencang. Honda cb100 yang kami tumpangi bagai melaju di dalam sirkuit balap, bersama Valentino Rosi.

Akhir Untuk Sebuah AwalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang