Bagian II

19 12 12
                                    

FLASHBACK, 2010, Jakarta.

Pria dengan seragam rapi itu memasuki gerbang sekolah dengan langkah yang terkesan santai

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pria dengan seragam rapi itu memasuki gerbang sekolah dengan langkah yang terkesan santai. Dia adalah Yudhan Pradana, seorang siswa dari kelas XI IPS 2 murid dari SMA Bakti Jaya. Yudhan bukanlah sosok populer dengan banyak penggemar, bukan juga siswa terpintar. Ia hanya seorang Yudhan, tidak suka keramaian, dan memilih sunyi sebagai teman.

“Pagi Yudhan!”

Yudhan tergelojak kaget, ia memengangi dadanya sembari mengumpat kecil. Yudhan menoleh ke belakang, lalu mendengkus kasar. “Ah Dea, gue kira siapa. Pagi juga,” balasnya.

Deandra atau lebih sering disapa Dea itu terkekeh geli, kemudian berkata, “Yah, kalem dong Yud. Gue ‘kan Cuma nyapa.”

Yudhan menghembuskan napas malas. “Nyapa sih nyapa, tapi lo juga mesti kalem dong pas nyapanya!”

Ucapan Yudhan tak ditanggapi, Dea hanya tertawa melihatnya. Yudhan beralih menatap perempuan di samping Dea. Perempuan dengan wajah cantik yang khas, membuat Yudhan diam memperhatikan untuk beberapa saat. Dea yang menyadari hal itu mengerling jahil pada Yudhan. Dea berdeham, “Temen gue.”

Dea melirik pada temannya itu. “Meena kenalin dia Yudhan, dan Yudhan dia Meena.”

Meena perempuan dengan rambut terurai itu menjulurkan tangannya. “Meena Tarissa,” ujarnya dengan senyum hangat, sehangat mentari.

Yudhan menerima untuk berjabat tangan, ia menatap dalam manik milik Meena. “Yudhan Pradhana,” ucapnya, tanpa sebuah senyuman.

Ketika tautan itu terlepas, Dea yang sedari tadi menyimak langsung saja memaki Yudhan. “Senyum dong Yud!”

“Apa sih gila ya lo? Buat apa gue senyum,” cerca Yudhan.

Dea mengumpat, sedangkan Meena masih menatap Yudhan dengan senyum yang tak pernah hilang. Yudhan sedikit risi, ia balik menatap gadis itu, kemudian tersenyum lebar, senyum paksaan.

“Nggak usah senyum Yud! Merinding gue,” sinis Dea.

Coba pikirkan, apa bagusnya dari sebuah senyum paksaan?

Yudhan menggeleng tak habis pikir, bukankah Dea yang menyuruhnya untuk tersenyum? Sudahlah, lama-lama Yudhan lelah menanggapi Dea. Yudhan berdeham, kemudian menatap kedua gadis itu dengan ekspresi datar. “Gue duluan,” ujarnya, kemudian beranjak pergi.

Deandra mendesis pelan, ia balik menatap Meena yang masih memperhatikan punggung Yudhan. “Gimana rasanya kenalan secara langsung sama orang yang di suka?”

Fall And LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang