Kang Yai, begitu kawan-kawan sepondok biasa menyapa. Sebenarnya nama panjangnya Sariman, tapi ia lebih suka dipanggil Kang Ari, biar lebih gaul katanya. Dan seiring berjalannya waktu, karena kelebihannya, ia lebih dikenal dengan panggilan Kang Yai. Ia seorang santri dari keluarga biasa yang karena kepandaiannya menjadi populer dan tampak sederajat lebih tinggi di antara kawan-kawan seangkatan. Tidak ada yang tidak mengenalnya, apalagi santri putri.
Wajahnya nyenengke kalau dipandang, bukan gantengnya yang bak Stevan Willian, tapi memang wajahnya tidak membosankan. Kulitnya bersih khas santri yang daimul wudlu. Tubuhnya tinggi sedang, tidak terlalu jangkung dan tidak terlalu pendek. Pakaiannya selalu rapi dan seringkali terlihat berbeda dari yang lain. Entah dari peci putihnya dimana santri lain lebih umum memakai peci hitam atau bajunya yang juga seringkali berwarna putih. Kalau pun pakai kaos saat santai, tetap saja warnanya putih. Katanya putih itu suci, melambangkan jiwa yang bersih dan lugu. Semua keistimewaannya itu ditambah lagi dengan statusnya yang juga qorek.
Saat masih tsanawiyah, ia sudah dikenal sebagai santri yang cerdas, sering disuruh ini itu sama pak ustadz. Saat aliyah, ia semakin dikenal oleh jajaran asatidz dan bahkan Pak Yai. Seringkali diminta mbadali Pak Yai di kelas tsanawiyah. Apalagi Pak Yai yang sibuknya melebihi pejabat negara itu memang sering tindakan. Entah siapa yang memulai, sebagian besar santri kemudian memanggilnya Kang Yai, santri biasa yang rajin kemudian berubah menjadi sedikit ngeyai.
Banyak yang menyukainya, terutama kawan-kawan dekat dan santri putri tentunya, namun ada juga yang tidak terlalu tertarik kalau mendengar namanya disebut.
“Oh, Kang Yai kan emang pengen jadi kiai.. padahal kata Mbah Kiai, kiai itu kan tidak untuk dicita-citakan, nanti bisa jadi tomak.. pasang tarif kayak di tivi-tivi itu. Cita-cita itu mestinya bisa berdakwah saja, begitu..” Sambil mencabuti rumput di halaman belakang pondok, Kang Sholeh yang merupakan kawan sekelas Kang Yai berkomentar.
“Tapi kan dia memang pinter, Kang..” Kang Juki menimpali dengan polos.
“Ya memang pinter, tapi capernya itu lho..”
“Caper gimana, Kang?” Kang Mahmud ikut penasaran.
“Ya caper, lihat saja kalau lagi ngaji ba'da Isya bareng Mbah Kiai, dia pasti selalu tanya, padahal ya sebenarnya dia sudah tahu jawabannya. Apalagi kalau di kelas..” Kang Sholeh tidak melanjutkan kalimatnya, hanya geleng-geleng kepala.
“Ternyata sampeyan perhatian banget ya sama Kang Yai,” komentar Kang Juki lagi. Kang Juki dan kawan-kawan sekitar yang sepat mendengarkan perbincangan mereka tertawa kecil, agaknya Kang Sholeh kurang suka dengan komentar Kang Juki.
***
Suatu hari, pondok dibuat heboh dengan berita kepulangan Kang Yai yang mendadak. Hebohnya bukan karena Kang Yai pulang di saat hari aktif, tapi lebih karena heran. Selama hampir enam tahun di pondok, Kang Yai hanya pulang beberapa kali saja dan itu pun sebentar. Bahkan hari pertama lebaran, ia lebih memilih tetap di pondok. Padahal, libur lebaran dan imtihan adalah saat-saat paling ditunggu santri untuk istirahat sejenak dari rutinitas penjara suci.
“Ngalap berkah.. biar kecipratan berkahnya Mbah Kiai..” begitu jawabnya kalau ditanya kenapa tidak pulang setiap kali liburan.
Sudah beberapa hari pengajian di kelas tsanawiyah yang diampu Kang Yai kosong, hanya kadang dibadali santri aliyah yang lain. Tidak ada yang tahu menahu kemana Kang Yai pergi dan tidak ada yang berniat mencari tahu. Hanya bisik-bisik yang dijawab dengan gelengan kepala. Kakang-kakang sekelasnya pun tidak ada yang paham dengan kepergian mendadak Kang Yai. Beberapa memantas-mantaskan sendiri alasan yang sekiranya pas.
“Mungkin ada keperluan mendadak yang tidak bisa diwakilkan..”
“Mungkin disuruh ngisi pengajian di rumah..”
KAMU SEDANG MEMBACA
Kang Yai
ContoSemua santri memanggilnya Kang Yai, seorang santri biasa yang ngiyai. Awalnya dia nyaman-nyaman saja dengan sebutan tersebut sampai ia mengalami sebuah pengalaman spiritual yang membuatnya merasa tertampar.