Aku menunduk malu, baru saja sampai sudah membuat kesalahan. Kenapa Kakek kakek seperti Mbah Kholil bisa mendapatkan istri cantik yang lebih pantas menjadi cucunya dari pada istri, sedangkan aku, hingga kini masih kesulitan mendekati seorang wanita. Keberuntungannya hanya bisa menikmati tubuh seorang pelacur.
"Apa bila kamu bisa zuhud, menjauhkan diri dari segala kenikmatan dunia dan semua tipu dayanya maka dunia akan bertekuk lutut di telapak kakimu." kata Mbah Kholil seperti sedang menebak isi pikiranku, hal yang menurutku tidak aneh dan biasa dimiliki oleh para ulama yang khowas. Sepertinya Mbah Kholil adalah salah satu ulama khowas, tidak percuma aku datang ke sini. Inilah tempat persembunyian terbaik yang melindungiku dari kejaran para polisi.
"Benar kamu tetangga Bi Aminah? Bagaimana kabar Bi Aminah?" tanya Nyai Jamilah dan aku tidak berani secara terang terangan melihat wajahnya yang rupawan. Walau wajahnya Nyai Jamilah terbayang jelas tanpa aku melihatnya.
"Benar, saya sahabat Dewi. Alhamdulillah dalam keadaan baik. Bu Aminah mengirim salam." kataku merasa berdosa sudah berbohong di hadapan Mbah Kholil yang aku percaya mengetahui kebohonganku, sebagai seorang ulama khowas, tidak ada sesuatu pun yang bisa disembunyikan darinya.
"Bagaimana dengan keadaan Dewi, apa dia sudah menikah dan bla bla bla...!" Nyai Jamilah mengajukan banyak pertanyaan yang satu pun belum sempat aku jawab, dia sudah mengajukan pertanyaan yang lainnya lagi.
"Nyai, biarkan Zakaria beristirahat sejenak, sepertinya dia sangat lelah setelah menempuh perjalanan jauh, apalagi sebentar lagi masuk waktu Maghrib." kata Mbah Kholil membuatku lega, setidaknya aku terbebas untuk kembali berbohong terutama menyangkut masalah Dewi.
"Maaf, saya permisi dahulu." kata Nyai Jamilah menyadari perbuatannya di hadapan Mbah Kholil suaminya sangatlah tidak pantas, seorang wanita diharuskan merendahkan suaranya karena suaranya adalah aurat.
"Permisi Mbah, maaf saya agak telat." kata seorang santri pria yang dipanggil Ahmad oleh Mbah Kholil, datang membawa nampan berisi air dan sepiring nasi berikut lauk pauknya yang langsung membuat perutku berbunyi nyari lebih nyaring dari biasanya.
*****
"Mas Jaka, bangun sudah jam dua..!" kata Ahmad membangunkanku yang tidur nyenyak. Sehabis sholat Isya aku langsung tidur. Saking nyenyaknya aku bermimpi tentang Nyai Jamilah.
"Baru jam dua, aku masih ngantuk." kataku kembali menarik sarung untuk menghangatkan tubuh dari udara yang sangat dingin, ditambah aku tidur hanya beralaskan tikar di atas lantai ubin.
"Jangan gitu Mas, ini pondok semua orang sudah bangun." kata Ahmad kembali menggoyangkan tubuhku. Pondok, ya aku baru sadar ada di pondok pesantren, sudah menjadi kebiasaan para santri bangun jam dua untuk melakukan shalat tahajjud, setelah tahajud biasanya kami menghafal kitab atau membaca Al Qur'an bagi para penghafal Al Qur'an.
"Iya, aku lupa sedang berada di pondok." kataku tertawa menutupi kebodohanku. Aku melihat seisi kamar, tidak ada kasur kapuk apalagi busa, hanya ada tikar sebagai alas tidur kami atau kasur lantai bagi santri yang mempunyai uang lebih untuk membelinya. Dalam satu kamar ada lima hingga sepuluh Santri dan kebetulan di kamar yang aku tempati hanya berisi enam orang santri termasuk aku.
"Ya lain pada kemana, Mad?" tanyaku heran dan aku langsung menyadari kebodohanku. Tentu saja mereka semua pasti sudah berada di masjid, rutinitas yang pernah aku alami saat mondok di Pesantren.
"Sudah ke masjid semua, Mas. Yuk Mas, nanti keburu Mbah Kholil ke Masjid." kata Ahmad berjalan meninggalkanku yang sedang duduk mengumpulkan semua kesadaranku yang masih berada di alam mimpi.
Rasanya aneh, terakhir aku tinggal di Pesantren 3 tahun yang lalu dan sekarang aku kembali masuk pesantren karena menjadi DPO. Tempat ini sangat terpencil, jauh dari kota kelahiranku, bahkan hp pemberian Dewi sejak masuk ke tempat ini terpaksa aku matikan karena tidak ada sinyal sama sekali. Hubunganku dengan dunia luar terputus, tidak ada tv maupun radio yang menyiarkan berita terbaru.
KAMU SEDANG MEMBACA
Preman Pensiun Masuk Pesantren
Fiction généraleCerita ini berkisah tentang seorang Preman yang terpaksa harus bersembunyi di sebuah Pesantren Tradisional karena menjadi buronan polisi. Apabila ada nama dan cerita yang mirip dengan pembaca, itu bukan disengaja. Cerita ini murni hasil imajinasi ya...