Chapter 04 - Hujan Di Tengah Hutan

20.6K 211 13
                                    

"Kalian lagi, kalian lagi. Mau apa sih, senang amat membuntuti kami?" tanya Shinta ketus. Matanya yang indah melotot, berusaha menakuti kami. Gertakan yang tidak akan mempan buatku.

Lain Shinta, lain pula dengan Nabila yang menunduk ketakutan. Wajahnya yang chubby terlihat pucat sambil menggigit bibir., jari jari tangannya bergerak berusaha mengusir rasa takut. Keadaan berbalik cepat, aku berada di atas angin dan harus mengintimidasi mereka supaya tidak bocor sehingga rahasia tato di tubuhku tidak bocor ke orang lain yang artinya petaka buatku.

"Berarti yang kemarin ngintip aku mandi, kamu ya?" tanyaku menatap wajah cantik Nabila yang semakin ketakutan. Sebenarnya aku tidak tega melihat Nabila ketakutan seperti itu, tapi aku juga tidak mau rahasia tatoku tersebar yang berakibat aku harus meninggalkan pesantren. Aku belum siap kalau harus meninggalkan pesantren saat ini.

"Jangan kurang ajar kamu, nuduh orang sembarangan." bentak Shinta berusaha melindungi Nabila yang berdiri ketakutan di belakangnya.

"Aku tidak menuduh, tapi aku dengar obrolan kalian tadi. Aku bisa lapor ke Mbah Kholil kelakuan kalian yang sangat tidak pantas." kataku mulai mengancam, hal yang biasa aku lakukan terhadap korban perampokanku.

"Ja jangan." kata Nabila hampir menangis mendengar ancamanku yang hanyalah sebuah gertakan belaka, aku tidak bodoh sehingga melaporkan kelakuan Nabila. Aku melihat ada sesuatu yang bisa aku manfaatkan.

"Jangan macam macam, kamu santri baru di sini sudah mau nyari gara gara." bentak Shinta masih berusaha melindungi Nabila yang memegang tangannya ketakutan dan tidak berani menatap wajahku yang hampir tertawa geli melihatnya.

Tapi pengalamanku menjadi seorang perampok, tentu tidak akan terpengaruh oleh hal seperti ini. Wajah ketakutan korban adalah sesuatu yang membuat adrenalinku terpacu semakin panas. Mengingatkanku saat ayahku marah dan memakiku dengan kata kata kasar sehingga membuatku meringkuk ketakutan di lantai, ada dendam yang ingin aku tumpahkan ke orang lain sehingga mengalami nasib seperti yang pernah aku alami, meringkuk ketakutan di lantai dan meminta ampun. Ada sebuah kepuasan tersendiri, kepuasan karena sudah bisa membalaskan sakit hatiku ke orang lain.

"Kamu juga sudah bersekongkol dengan temanmu Nabila, seharusnya kamu tahu setiap orang yang bersekutu atau menutupi kedzoliman orang lain, dosa sama besarnya dengan si pelaku. Bagaimana kalau Mbah Kholil tahu seorang hafizhoh melakukan perbuatan tercela dan kamu berusaha menutupinya." kataku tenang, aku semakin mengintimidasi kedua gadis ini. Kegarangan Shinta langsung hilang begitu mendengar perkataanku.

"Akkk akku tidak tahu apa apa..!" kata Shinta gugup, wajahnya menjadi pucat pasi.

"Aku dengar yang kalian bicarakan, aku siap jadi saksi." kata Rahmat yang sejak tadi diam ikut bicara. Dia mulai bisa melihat situasi yang sangat menguntungkan, secara tidak langsung aku melihat Farhan menjadi pengikutku.

"Jangannnn!" seru Shinta terkejut, posisinya mulai terjepit, situasi yang sangat tidak menguntungkan.

"Apanya yang jangan?" tanyaku tenang, tidak ada yang perlu ditakutkan karena situasi sudah aman. Aku yakin untuk sementara waktu tato di tubuhku akan tetap aman, walau tidak ada bangkai yang terus bisa disembunyikan.

"Kita damai..!" kata Shinta, baru aku sadar dia lebih menonjol sifatnya yang berusaha mati matian membela Nabila, padahal posisinya sendiri tidak menguntungkan.

"Maksudnya?" tanyaku sengaja mengulur waktu. Aku masih ingin berlama lama memandangi wajah ke dua gadis cantik yang semakin lama kulihat, semakin menarik. Wajah wajah alim yang selalu menjaga sikap dan pandangannya, berbeda sekali dengan gadis gadis yang bisa kubayar untuk bisa memuaskan hasrat birahiku bahkan sangat jauh berbeda dengan Dewi yang berani merengek untuk dipuaskan birahinya.

"Rahasia kamu aman, asalkan rahasia Devi juga aman." kata Shinta berusaha mengajakku berdamai.

"Emang rahasia apa yang ada pada diriku? Mbah Kholil sudah lebih dulu tahu." kataku tersenyum geli. Aku yakin mbah Kholil tahu aku adalah buronan, dia sudah menyinggung masalah itu.

"Itttu..." Shinta tidak meneruskan perkataannya, dia sudah kalah telak. Tidak ada lagi tawar menawar yang bisa mereka tawarkan padaku.

"Mbah Kholil tidak akan mengusirku karena dimanapun kita berpijak, di bawah manapun kita bernaung semuanya adalah bumi dan langit Allah. Mbah Kholil tidak punya hak mengusirku." jawabku menirukan ucapan Mbah Kholil kemarin dan aku yakin, semua santri sudah hafal dengan kalimat dari Mbah Kholil dari sudut pandang yang berbeda.

"Ya Allah...!" seru Nabila, tubuhnya lunglai tidak bertenaga dan dia jatuh terduduk. Nabila menangis terisak membuatku tiba tiba merasa iba, padahal selama ini aku tidak pernah menaruh iba terhadap korban korbanku.

"Jangan nangis, Mbah Kholil pasti tidak akan mengusir kamu." kata Shinta memeluk Nabila, berusaha menghibur sahabatnya itu. Hiburan yang sia sia, tangisan Nabila justru semakin keras membuatku panik, bagaimana kalau ada yang mendengar suara tangisan Nabila? Satu masalah belum selesai dan akan ditambah masalah lainnya.

"Aku janji tidak akan melaporkan masalah ini, asalkan...!" kataku berusaha meredakan tangis Nabila.

"Kamu janji nggak akan melaporkan ini, janji demi Allah..!" kata Nabila dengan suara terisak. Dia menatapku penuh harap.

"Apa syaratnya?" tanya Shinta yang mendengar jelas kalimatku tanpa ada yang terlewat.

"Nanti aku kasih tahu, sekarang kamu jangan nangis. Kalau ada yang tahu mereka malah curiga." kataku. Tanpa sadar aku mengusap wajah Nabila yang basah oleh air mata.

"Jangan kurang ajar kamu, bukan muhrim." kata Shinta menepiskan tanganku yang sedang mengusap pipi Nabila yang sangat halus, pipi yang tidak pernah tersentuh make up.

"Mas Zaka, ada orang..!" seru Farhan berbisik, namun suaranya ikut terdengar oleh Nabila dan Shinta yang terlihat pucat ketakutan.

"Kita pergi..!" kataku pelan. Tanpa berpikir panjang aku berjalan cepat ke arah jalan setapak yang aku tidak tahu menuju ke mana. Farhan mengikutiku dari belakang. Kami berjalan cepat menghindari orang yang datang dari arah pondok. Aneh, semakin jauh, semakin banyak pohon dan semak semak, jalan setapak semakin kecil ditumbuhi rumput liar. Masa bodoh, aku tidak mau orang yang datang melihatku bersama Nabila yang sedang menangis dan mereka pasti akan menduga Nabila menangis karena perbuatanku.

"Aduhhhhh, Innalillahi wa inna 'ilaihi roji'un!" suara Nabila berteriak kesakitan, reflek aku menoleh ke arahnya. Sejak kapan Nabila dan Shinta mengikuti ku? Aku tidak menyadarinya, karena pikiranku fokus menghindari orang yang datang.

"Soalnya aku lihat Mbah Kholil.." jawab Shinta berusaha menolong Nabila bangun.

"Aduhhhhh sakitttt...!" teriak Nabila kembali duduk sambil memegang pergelangan kakinya. Sepertinya terkilir, tapi aku tidak berani menolong karena yang kuhadapi seorang santriwati yang sangat menjaga auratnya.

"Aduh, bagaimana ini, kita sudah terlalu jauh masuk hutan..!" kata Farhan terlihat panik.

"Masa? Kita kan belum lama jalan." kataku heran melihat keadaan sekelilingku yang dipenuhi pohon pohon liar yang tumbuh tidak beraturan dipenuhi oleh semak semak tinggi.

"Iya, kita sudah jalan setengah jam lebih, masa kamu tidak sadar?" tanya Farhan heran.

"Kenapa kalian yang sudah lama tinggal di sini tidak memberitahuku?" tanyaku jengkel. Aku sama sekali tidak sadar berjalan begitu lama, bahkan aku sama sekali tidak sada Nabila dan Shinta mengikutiku.

Ini soal kebiasaanku setiap kali melakukan pencurian dan perampokan, aku akan berlari sejauh mungkin dari Tempat Kejadian Perkara untuk menghilangkan jejak. Kadang kadang aku berlari tanpa tujuan sehingga menemukan tempat yang kurasa aman, wajar kalau sekarangpun aku berjalan menjauhi TKP selama setengah jam lebih.

"Aku takut diusir karena sudah sering kena hukum Mbah Kholil, makanya aku lupa memperingatkan kamu." jawab Farhan tertawa kecil.

"Kamu kenapa terus ngikutin aku?" tanyaku ke Shinta yang menyerah menolong Nabila bangun. Karena setiap kali Nabila berdiri, dia kembali duduk menahan sakit.

"Kan sudah aku bilang, aku melihat yang datang adalah Mbah Kholil." jawab Shinta jengkel. Dia berjongkok sambil memijat kaki Nabila yang sedang kesakitan.

"Lalu, apa masalahnya?" tanyaku heran.

"Kalau Mbah Kholil nanya, kenapa Nabila nangis, aku harus jawab apa?" tanya Nabila.

"Nabila jatuh, atau apa saja." kataku jengkel. Hal sepele seperti itu kenapa tidak bisa mereka lakukan.

"Kamu pikir kami bisa berbohong ke Mbah Kholil? Kamu pikir , kami bisa membohongi Mbah Kholil? Hei, kami berbeda dengan kamu yang sudah biasa berbohong, kami tidak pernah bohong karena akan menghapus pahala hafalan Qur'an kami." jawab Shinta ketus.

"Aduhhhh. Sakit, kenapa kalian malah bertengkar." kata Nabila kembali menangis, aku tidak tahu dia menangis karena sakit, ketakutan atau menyesal sudah mengikutiku masuk hutan.

"Jalan pelan pelan, kita pulang." kata Shinta kembali berusaha membantu Nabila bangun, sekarang aku baru menyadari kondisi Nabila yang kesakitan membuatku merasa iba.

"Aduhhhh, sakiitttt..!" kata Nabila menggigit bibir menahan sakit saat mulai jalan tertatih tatih. Rasa sakit rupanya tidak mampu ditahannya, dia limbung dan jatuh sehingga Shinta tidak mampu menahan beban berat tubuhnya ikut terjatuh nyaris menindih Nabila.

"Kita istirahat ke gubuk yang ada di sana, aku pulang nyari bantuan." kata Farhan menunjuk ke arah jalan setapak yang tidak terlihat karena tertutup semak semak liar.

"Jangannnn!" cegah Nabila dan Shinta berbarengan membuatku merasa jengkel kenapa mereka terlalu bodoh dan memegang teguh aturan dalam kondisi seperti ini. Mereka seharusnya berpikir rasional.

"Sudah, kita ke gubuk untuk istirahat. Atau aku gendong kamu pulang ke Pondok." kataku tegas, sudah saatnya aku mengambil keputusan apalagi aku melihat suasana yang semakin gelap, sebentar lagi pasti hujan. Kami harus mencari tempat berteduh. Aku melihat jam, sudah jam 2:30. Tanpa menunggu jawaban dari kedua gadis yang merepotkan itu, aku mengangkat Nabila yang sedang duduk dengan kaki tertekuk.   

Preman Pensiun Masuk PesantrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang