Chapter 05 - Gubuk Bambu Di Tengah Hutan

25.1K 195 9
                                    

"Hei, kenapa kamu menamparku?" tanyaku jengkel sambil memegang pipiku yang panas bekas telapak tangan Shinta, seperti yang selalu dinyanyikan Betharia Sonata. Gadis secantik dia ternyata tamparannya sangat keras dan menyakitkan.

"Jaga mulutmu, kamu pikir kami cewek apa? Kami ini santri yang selalu menjaga aurat dan syahwat kami." jawab Shinta marah karena permintaanku memang sangatlah tidak pantas.

"Kalau itu syaratnya, jawabanku tidak. Kamu boleh lapor ke Mbah Kholil, kami akan pergi dan cari pondokan lain agar tidak bertemu wajah bejadmu. Pikiranmu sama kotornya dengan tato di tubuhmu." kata Nabila, rahasia tatoku akhirnya terbongkar tanpa bisa kucegah, Nabila membuka rahasiaku karena kemarahannya yang tersulut oleh permintaanku. Kesalahannya yang kecip tidak sebanding dengan permintaanku yang mengada ada.

"Apa, Santri baru ini punya tato!" seru Shinta membuatku terbungkam. Aku berusaha menahan kemarahanku yang akan memperparah keadaanku.

"Kenapa kamu membuka rahasiaku? Ini adalah aib, apakah kamu tidak pernah diajari untuk menutup aib saudara semuslimmu?" tanyaku menahan marah, aku harus menekan mereka dengan pengetahuan agamaku yang cetek agar rahasiaku tidak semakin tersebar. Aku harus mengalah sementara waktu, menekan birahiku terhadap kedua gadis cantik ini.

"Kamu yang cari masalah." jawab Nabila ketus, bersamaan dengan datangnya suara petir terbesar yang seperti membelah bumi.

"Astaghfirullah......!" Nabila dan Shinta berteriak histeris, mereka saling berangkulan ketakutan.

Aku menatap iri, kenapa Shinta tidak merangkulku seperti tadi agar mencairkan suasana yang berubah menjadi kaku karena permintaanku yang terburu buru. Seharusnya aku bisa menyusun rencana lebih matang agar bisa menikmati tubuh kedua gadis cantik ini. Kebodohan yang seharusnya tidak kulakukan, kedua gadis ini akan semakin menjauh dariku.

Aku ikut menjauh dari kedua gadis itu, duduk bersender ke dinding bilik yang sudah mulai reyot. Mataku berkeliling melihat suasana hutan yang terasa mencekam dan membuatku gelisah, kesunyian membuatku tidak menyukai hutan maupun alam pedesaan. Jam di pergelangan tanganku sudah menunjukkan pukul 4 : 30, hampir dua jam Farhan meninggalkan kami. Di hutan, jam Empat seperti sudah mendekati Manghrib karena sinar tidak bisa menembus rimbunnya daun daun. Hari semakin gelap, aku kesulitan melihat jam yang melingkar di tanganku. Kenapa Farhan belum juga datang dengan bantuan yang dijanjikannya, semoga saja dia tidak apa apa. Aku melihat Nabila dan Shinta duduk berdempetan, mereka sepertinya swmakin ketakutan setelah mendengar permintaanku.

"Kok Farhan belum juga datang, ya.!" kata Nabila memecahkan keheningan yang terjadi cukup lama setelah pertengkaran singkat kami.

"Jangan jangan Farhan nyasar!" kataku semakin gelisah. Berada di tengah hutan dengan kedua gadis santriwati yang cantik, bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Syahwatku sewaktu waktu bisa membutakan akal sehatku dan memperkosa mereka, itu artinya aku semakin jauh terperosok dalam masalah yang lainnya.

"Tidak mungkin, Farhan sudah sangat hafal daerah ini, dia sering ke luar masuk ke sini dengan Rahmat untuk mencari kayu bakar buat kebutuhan podok." jawab Shinta menyanggah dugaanku.

"Bisa saja Farhan tertimpa batang pohon atau digigit ular, semuanya bisa terjadi." kataku bergidik ngeri membayangkan kejadian yang baru saja kuucapkan.

"Dasar gendeng, bukannya berpikir positif malah menakut nakuti orang. Ingat, ucapan adalah doa." kata Shinta mengomel.

"Aku takutttt...!" kata Nabila memeluk Shinta. Suasana semakin gelap, sebentar lagi mata kami tidak akan bisa melihat apa apa. Gelap gulita tanpa cahaya.

"Tenang, ada aku." kataku berusaha menenangkan Nabila yang sangat ketakutan. Aku harus bisa mendapatkan rasa sjmpatik dari mereka.

"Justru aku takut sama kamu, bisa saja.... Ya Allah, lindungi kami dari kezholimin manusia." kata Nabila pelan, tapi suaranya tetap terdengar jelas olehku, apa lagi hujan sudah mulai berhenti.

"Jangan takut, aku tidak akan memperkosa kalian." jawabku jengkel. Memang benar aku seorang perampok, tapi aku bukan pemerkosa. Aku selalu membayar setiap wanita yang melayani nafsu seksku, kecuali Dewi.

"Omongan orang bertato tidak bisa dipercaya. Ngaku beriman, tapi tubuhnya di gambar. Itukan ciri ciri orang munafik." jawab Shinta ketus membuatku nyaris tidak bisa menahan diri. Kalau saja saat ini aku sedang tidak bersembunyi dari kejaran polisi, dia pasti sudah kuperkosa tanpa belas kasihan.

"Kita pulang, yuk..!" ajak Nabila setelah hujan berhenti atau mungkin belum. Daun daun pada pohon yang tumbuh liar menahan air hujan langsung jatuh ke permukaan tanah, tapi itu bukan berarti hujan sudah berhenti sama sekali. Sulit untuk memastikannya di tengah hitan seperti ini.

"Gelap, kita tidak bisa melihat jalan, nanti malah nyasar." jawab Shinta menyadarkanku, suasana sudah semakin gelap. Aku terbenam di tengah hutan bersama dua gadis cantik, entah apa yang akan terjadi apa bila Farhan tidak kembali untuk menolong kami.

"Tapi kita harus pulang..!" kata Nabila putus asa.

Suasana sudah benar benar gelap, aku menyalakan rokok, api muncul dari korek menerangi tempat ini sebelum akhirnya kembali gelap, sekali kali saat aku menghisap rpkok, ada sedikit cahaya dari ujung rokok yang kuhisap.

"Mas, kenapa kamu tidak membuat api unggun?" tanya Shinta menyadarkanku apa yang harus aku lakukan dalam situasi seperti sekarang.

"Iya...!" jawabku bersemangat. Tapi nanti dulu. Ke mana aku harus mencari kayu bakar sedangkan tempat ini sudah sangat gelap dan basah oleh sisa sisa air hujan. Kalaupun aku bisa mendapatkan ranting atau kayu atau apa pasti dalam keadaan basah, tidak mungkin bisa aku bakar.

"Bikin kayu bakar pakai, apa?" tanyaku putus asa.

"Pakai kayu donk, masa pake baju kamu." jawab Shinta ketus. Aku menoleh ke arahnya, sia sia karena wajahnya sudah mulai tidak terlihat olehku.

"Bagaimana aku nyari kayu bakar, melihat kamu yang besar saja aku tidak bisa. Lalu bagaimana caranya aku mencari kayu bakar yang tidak terlihat." jawabku mengikuti suara Shinta yang ketus.

Shinta ataupun Nabila terdiam mendengar jawabanku yang tidak bisa mereka sanggah. Kegelapan ini terasa sangat tidak nyaman, begitu mencekam. Kami hanya bisa mendengar suara serangga yang berbunyi nyaring seakan ingin mentertawakan kami yang terjebak di sebuah gubuk yang berada di tengah hutan.

"Kenapa kamu tidak mencari kayu bakar tadi..!" kata Shinta seperti menyalahkanku dan aku tidak berniat untuk beradu mulut dengannya, sudah tidak ada gunanya. Aku turun dari gubuk menimbulkan bunyi bambu yang berderit kencang dan mengagetkanku.

"Mas Zaka, mau ke mana?" tanya Nabila panik mengetahui aku turun dari suara dan gerakkan bambu yang didudukinya.

Aku tidak mengacuhkan pertanyaan Nabila. Aku menyalakan korek api dan mengarahkannya ke bawah bale bale, siapa tahu ada sesuatu yang bisa aku bakar untuk menerangi tempat ini dan mengusir hawa yang semakin dingin. Alhamdulillah, aku melihat setumpuk ranting kering yang sepertinya sengaja di simpan untuk bermalam di tempat ini, kondisi tanah di bawah gubuk memang di buat lebih tinggi agar tidak terendam air saat hujan. Benar benar gubuk yang sangat mencurigakan, karena di sebelah gubuk ada tungku tanah liat untuk memasak. Kenapa aku baru menyadarinya sekarang.

"Ada kayu bakar...!" kataku kegirangan, kami tidak akan melewati malam dalam keadaan gelap gulita.

"Alhamdulillah, buru nyalakan api." kata Nabila dan Shinta berbarengan.

"Oke, Tuan Putri." jawabku berusaha mengusir kecanggunganku setelah perdebatan tadi. Aku mengambil ranting kering dan juga sabut kelapa kering yang banyak berserakan, aku membawanya ke tungku yang akan kugunakan untuk menyalakan api. Suprise, ternyata ada panci dan penggorengan, ember berisi air dan gelas kaleng serta dua buah lampu minyak tanah dari toples kecil dan kaleng.

"Sekarang kita punya lampu dan bisa masak air." kataku berteriak kegirangan. Aku segera menyalakan lampu dari toples kecil dan ada gantunganya.

"Alhamdulillah...!" Nabila dan Shinta terlihat lega melihatku menggantung lampu.

Aku kembali ke tungku untuk memasak air, saat mengambil air dari ember itulah aku menemukan beras di dalam plastik yang ditaruh di atas tutup ember, ini semua rejeki anak sholeh, perut kami tidak akan kelaparan.

"Bil, kita shalat Maghrib." kata Shinta mengusik keasikanku menyalakan api untuk memasak air. Shalat, kembali menjadi kegiatan rutinku sejak menginjakkan kaki di pondok.

"Iya, kita tayamum saja, kamu tidak shalat Mas?." tanya Nabila membuyarkan lamunanku.

"Kalian dulu, tempatnya tidak cukup." kataku beralasan.

==≠========

Kita makan..!" kataku meletakkan nasi dan ikan asin yang kutemukan, tidak banyak memang namun cukup untuk mengganjal perut kami yang kelaparan.  

Preman Pensiun Masuk PesantrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang