Chapter 03 - Percakapan Di Bawah Pohon

18.8K 208 7
                                    

"Maksud Mbah, apa saya harus pergi dari tempat ini?" tanyaku gelisah, aku merasa takut harus meninggalkan tempat ini walau aku sempat menyesal datang ke tempat ini. Tapi kenapa aku sekarang malah menjadi takut. Padahal dulu aku akan bersorak kegirangan saat diusir dari pondok.

"Ndak ada yang akan mengusir kamu dari tempat ini, karena tanah yang kamu pijak, langit tempatmu bernaung adalah milik Allah dan Aku tidak mempunyai hak untuk mengusirmu." jawab Mbah Kholil, suaranya pelan namun terdengar sangat jelas. Perlahan aku memberanikan diri melihat wajahnya yang tenang, wajah yang tidak pernah berprasangka buruk walau sesulit apapun situasi yang sedang di hadapinya.

"Lalu?" tanyaku lagi masih belum mengerti arah pembicaraanya yang penuh dengan makna, terlalu berat untuk seorang residivis yang otaknya dipenuhi tipu muslihat licik seperti aku.

"Kamu bebas tinggal di sini sampai kapanpun yang kamu mau, apa lagi kamu mempunyai dasar yang cukup untuk mempelajari agama." kata Mbah Kholil dengan senyum yang menyejukkan hatiku.

"Jadi Mbah tidak akan mengusirku?" tanyaku lagi untuk memastikan.

"Tidak, aku hanya ingin mengingatkanmu bahwa sekeras apapun kamu berlari semuanya akan sia sia dan kalaupun kedatanganmu untuk meminta pertolonganku maka kamu datang ke tempat yang salah, aku tidak bisa menolongmu. Karena aku sendiri butuh pertolongan Allah, aku masih berlindung dari semua tipu daya jin dan manusia, tipu daya syetan yang terkutuk." jawab Mbah Kholil membuatku semakin takluk dengan pemahamannya yang luar biasa.

"Terima kasih Mbah, saya ingin memahami agama lebih dalam lagi!" jawabku yakin, entah nanti setelah situasinya aman.

"Kenapa kamu tidak mengajak Dewi sekalian ke sini untuk ikut bertobat, Zak..!" tanya suara Nyai Jamilah dari dalam, sehingga aku tidak bisa melihat wajahnya yang cantik.

"Ech itu, saya nggak tahu..!" jawabku gugup, kenapa baru mendengar suaranya saja sudah hatiku berdesir aneh mengingatkanku saat pertama kali naksir teman sekelas saat SMP.

"Ya sudah, kamu bisa pergi." kata Mbah Kholil membuatku merasa malu dengan kelakuanku.

"Inggih, Mbah." kataku sambil mencium tangan Mbah Kholil yang tetap tersenyum melepas kepergianku.

*****

"Mbah Kholil bicara apa, Zak?"tanya Farhan dan Rahmat berbarengan saat aku masuk ke dalam kamar.

" Nggak apa apa, cuma nanya masalah keluarga Nyari Jamilah di Bogor." jawabku sambil merebahkan tubuh di tikar dan menjadikan tanganku sebagai bantal.

"Och..!" kata Rahmat ikut merebahkan tubuhnya di sampingku. Di kamar hanya ada kami bertiga, santri yang lain mungkin sedang menghafal di masjid.

"Farhan, emang benar kamu sering ngintip?" tanyaku penasaran dengan kebenaran yang dituduhkan Nabila dan Shinta, dilihat dari gelagatnya aku sangat yakin itu benar sekali.

"Bukan cuma aku saja, Rahmat juga sering. Di sini satu satunya hiburan ya ngintip santri wanita." jawab Farhan tanpa merasa bersalah, seolah itu adalah hal yang wajar dilakukannya.

"Hiburan kok zina mata !" seruku heran. Selama di sini aku harus membiasakan diri bicara layaknya aku seorang santri sungguhan yang faham agama.

"Selama kamu mondok, apa kamu tidak pernah mengintip atau mencuri buah buahan dari masyarakat sekeliling pondok? Pasti kamu anak orang kaya jadi tidak pernah mencuri." tanya Farhan heran.

"Kalau ngintip sich sudah jadi hibi, kalau mencuri buah buahan tidak pernah." jawabku jujur, selama mondok di Bogor aku tidak pernah mencuri buah buahan karena aku mempunyai bekal yang cukup dari kiriman orang tuaku. Ayahku bukan orang miskin, walau tidak bisa dikatakan kaya. Yang jelas ayahku seorang pekerja keras yang bisa memenuhi kebutuhan kami sekeluarga.

Preman Pensiun Masuk PesantrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang