UTS
•••
Ujian tengah semester 1 sudah berlangsung selama lima hari. Untuk pertama kalinya aku merasa seperti siswa SMA sungguhan. Belajar sampai tengah malam, berdiskusi dengan teman senasib, sport jantung saat soal ulangan dibagikan, dan merasa ingin tenggelam saja di samudera hindia saat membaca deretan soal-soal pilihan ganda dengan essay sebagai bonusnya. Guru-guru itu mengatakan, kami beruntung karena UTS diberi soal PG bukan essay seluruhnya yang bisa membuat kami mentok pada jawaban ngasal. Setidaknya, dengan soal-soal pilihan ganda kalau tidak tahu-tahu amat jawabannya kami bisa menggunakan jurus keberuntungan atau menggunakan indra keenam alias tebak-tebakan saja berdasarkan insting dan feeling.
Karena siswa di kelas F hanya berjumlah 20 orang, mudah saja untuk guru pengawas memantau kami satu persatu. Selama ini kami selalu kesulitan meminta bantuan tetangga, baru akan mengirim kode saja biasanya sudah digagalkan lebih dulu. Ujung-ujungnya kami tetap harus mandiri, maksudnya menebak jawaban sendiri.
Namun aku sendiri bisa merasakan beberapa perubahan setelah lumayan sering belajar bersama. Memang tidak membuatku langsung bisa menjawab semua soal dengan enteng dan cepat, tapi beberapa soal bisa kukerjakan dengan baik tanpa ngasal atau menebak-nebak. Satu-satunya mata pelajaran yang aku cukup percaya diri mengerjakannya hanya bahasa Inggris, sisanya biar kuserahkan saja pada Tuhan.
Mata pelajaran Seni Budaya menjadi pelajaran terakhir yang diujikan di hari terakhir ini. Kalau biasanya kita bisa melihat ada anak-anak yang sudah selesai mengerjakan sebelum waktu ulangan habis, jangan harap bisa kalian temui di kelas F. Ulangan lebih mirip pertandingan sepak bola. Waktu 90 menit dengan tambahan waktu sampai 5 menit. Itu pun kadang masih tidak cukup, sih.
Setelah bel berbunyi mengisyaratkan waktu kami sudah habis, aku bisa mendengar suara kertas dibolak-balik kasar menyatu dengan keresahan suara-suara gaib dari kiri kanan sejenis “Ssst. Nomer 12 apaan?” dan kawan-kawannya. Suara-suara itu baru lenyap saat guru pengawas sudah berteriak bahwa waktu kami sudah habis, kemudian maju menghampiri meja kami satu persatu dan merebut kertas jawaban secara paksa dengan tidak manusiawi.
Berbagai jenis helaan nafas terdengar di seluruh penjuru kelas, racauan berisik pun memenuhi ruangan setelah guru pengawas keluar.
“Yang bikin soal siapa sih? Mentang-mentang kelas 12, UTS doang susahnya udah kek SBMPTN.”
“Kaya lo tau aja soal SBM gimana elah, Tih.”
“Sesek nafas gue selama 5 hari ya ampun.”
“Sabar, bro. Ini baru UTS. Lo belum liat ujian hidup sesungguhnya lebih pahit dari ini.”
“Sok bijak lo paketu.”
“Korban sinetron hikmah banget lu, Rif.”
“Bukan, Al. Arif mah nontonnya double azab. Hahahaha.”
“Sialan lo Ryan Jombang! Gue mutilasi baru tau!”
Tahu apa perbedaan yang paling menyenangkan? Bagiku, melihat suasana setelah ujian tahun lalu dan sekarang. Biasanya setelah selesai ujian kami akan langsung beres-beres lalu pulang. Tapi melihat beberapa anak berkumpul dan saling bercanda satu sama lain setelah perjuangan awal kami ini selesai membuatku merasa menjadi murid SMA yang berada di kelas normal, bukan di kelas yang terkenal dengan cap kelas terbodoh di sekolah.
•••
“Huwaaaa~ Selamat makan se-“
“Ish! Jangan dulu makan, Al! Berdoa dulu.”
KAMU SEDANG MEMBACA
CLASS F
Teen FictionKelas F di mata penghuni sekolah : 1. Kumpulan anak dengan IQ jongkok. 2. Penghuni tetap ranking 20 terbawah di jurusannya. 3. Solidaritas dalam kelas nilainya F alias fana. Nyaris tidak pernah tercipta. 4. Trouble maker alias parasit sekolah. 5. Pa...