Prolog

874 76 13
                                    

Jalanan lengang. Yang terdengar hanyalah suara rintik air hujan juga lonceng yang beberapa kali berdenting dari arah pintu. Tahun ini musim hujan datang lebih cepat. Mengguyur bumi dengan beribu-ribu mili air setiap harinya. Pengunjung cafe bertambah banyak dari 60 menit yang lalu yang masih tersisa banyak sekali kursi kosong. Kini semua kursi sudah penuh oleh orang-orang yang berlindung dari guyuran hujan yang tiba-tiba. Menunggu reda sambil menikmati secangkir kopi, cokelat, maupun teh hangat.

Seorang wanita berwajah oriental itu duduk termenung di pojok dekat dengan jendela kaca yang mulai berembun. Syal berwarna merah yang selalu terlilit di lehernya kini berfungsi juga sebagai penghangat dari udara dingin. Memang tak sedingin winter, tapi cukup membuat menggigil jika memakai pakaian tipis.

Tatapan matanya kosong ke arah luar jendela. Masih ada beberapa orang yang berlalu lalang, walaupun tak seramai sebelum hujan turun. Mereka pun juga berlindung di bawah payung. Tapi setidaknya mereka cukup beruntung karena sempat melihat prediksi cuaca hari ini yang terlambat tersiar.

Secangkir espresso yang telah tandas itu menemani laptop yang berkedip-kedip dalam mode diam di meja. Terlalu lama tak di sentuh karena sang empunya sibuk melamun. Pikirannya melanglang buana memikirkin masalah-masalah yang hilir-mudik dalam hidupnya. Di tambah masalah 2 hari yang lalu yang membuatnya menangis hingga kedua matanya membengkak. Setidaknya itu tak berlebihan, daripada harus gantung diri dan meninggalkan sang buah hati sendiri menghadapi dunia yang kejam ini. Bagaimanapun, anak itu butuh figur seorang ibu dalam hidupnya.

Ting

Lonceng itu berdenting lagi. Cafe yang penuh itu kembali dimasuki seorang wanita cantik berkacamata. Coat tebal dan sepatu boot sepanjang lutut membalut tubuh rampingnya. Tangannya terarah untuk meletakkan payung yang di bawanya di penyimpanan tepat di pintu masuk. Rambut cokelat ikal gantungnya yang di kucir kuda itu bergoyang-goyang kala kakinya kembali melangkah ke arah meja di pojok. Menghampiri sahabatnya yang malang.

"Sudah lama menunggu?"

Si wanita ber-syal itu menoleh kala mendengar pertanyaan yang sepertinya ditujukan padanya.

"Tidak. Hanya 45 menit."

Wanita itu kembali tertawa saat mendengar kalimat bernada ironi dari sahabat datarnya.

"Lag--"

"--Jangan salahkan cuaca, Hanji."

Yang di sebut namanya diam. Lalu menarik kursi kosong yang berhadapan dengan sahabatnya ini.

"Maaf, Mikasa."

Mikasa hanya mengangguk sekali. Ia masih belum fit untuk berdebat dengan dokter gila di depannya. Bukan, dia bukan dokter di rumah sakit jiwa. Tapi dia dokter yang gila.

"Kau tak pesan sesuatu?" tawar Mikasa melirik Hanji dari ekor matanya. Hanji tak menjawab, tapi tangannya yang melambai sudah dipastikan ia ingin memesan sesuatu.

Mikasa masih diam saat Hanji memesan secangkir cappucino panas. Tak ada semangat berarti dalam hidupnya. Pertemuan ini pun Hanji yang memintanya. Katanya ingin membicarakan sesuatu yang penting dan Mikasa sudah tau apa itu.

"Mikasa, Levi ..." Hanji bingung harus mulai darimana. Harusnya Levi sendiri yang mengkonfirmasikan masalah ini pada Mikasa. Tapi entah kenapa Levi tetap saja diam. Seakan menerima kesalahpahaman 2 hari yang lalu. Apa benar salah paham?

Mikasa menunduk, tangannya cekatan membereskan barang-barangnya. Lalu menarik napasnya dalam.

"Tarikan napasmu dalam sekali," komentar Hanji menatap iba. Mikasa hanya tersenyum miris.

The Second LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang