KUNANG-KUNANG

50 5 0
                                    

Aku diam terduduk di teras rumah, menatapi malam yang semakin lama semakin mendingin, membekukan segala gundah, segala keluh kesah, segala kegalauan yang kian lama semakin menjadi-jadi. Aku menatapi satu persatu ribuan bintang yang terdiam di langit. Aku iri pada bintang bintang itu. Mereka selalu bersama menerangi malam, berlomba dengan kegembiraan menjelajahi angkasa, memamerkan sinarnya pada orang-orang di bumi ketika malam datang.

Seekor kunang-kunang terbang dihadapanku, sontak membuyarkan lamunanku. Kunang-kunang itu berpendar dan berkedip dengan cahaya kuningnya. Aku tersenyum sembari mendekati kunang-kunang yang sedang hinggap di daun murbei kesayanganku. Dengan sigap ku ambil dan genggam kunang-kunang itu, ku letakkan pada telapak tanganku dan kuamati si kunang-kunang yang sedang berkedip.

Aku masih terkagum-kagum dengan mahluk mungil pemancar sinar bioluminesensi ini. Bioluminesensi merupakan emisi cahaya yang dipancarkan oleh mahluk hidup, cahaya ini berupa cahaya dingin alami. Beberapa mahluk hidup yang dapat memancarkan cahaya sendiri diantaranya adalah jamur, ubur-ubur, cumi-cumi, bakteri, ikan, cacing, udang, dan juga kunang-kunang. Telunjuk jariku menyentuh badan kecil si kunang hingga membuatnya terbalik. Keenam kakinya bergerak tak tentu arah mencoba membalikkan badan kembali, namun usahanya hanya membuat kedipan cahayanya semakin cepat. Cahaya itu mengisyaratkan bahwa sang kunang-kunang sedang berada dalam bahaya.

Aku bisa melihat abdomen kunang-kunang yang dapat mengeluarkan cahaya. Abdomen pada kunang-kunang ini memiliki beberapa ruas. Terlihat dengan jelas terdapat kulit yang tembus pandang sehingga cahaya dari dalam tubuh kunang-kunang bisa terpancar keluar. Si kunang-kunang mengeliat diatas telapak tanganku, mencoba melarikan diri, namun masih tak berdaya.

Kedipan-kedipan cahaya yang dihasilkan oleh enzim luciferase dan zat luciferin dalam perut kunang-kunang membuat aku teringat lagi pada masa kecilku. Aku kecil sedang bermain di bawah sinar rembulan dengan menggendong boneka singa kesayanganku. Kaki-kaki kecilku menapaki rerumputan yang berembun di halaman rumah mbah kakung. Rumah mbah kakung berada di dekat hutan pinus. Aroma getah pinus yang khas hingga saat ini masih melekat di hidungku. Aku berguling-guling di atas rumput sambil terus tertawa. Dari arah hutan pinus, puluhan kunang-kunang berterbangan memenuhi halaman rumah mbah kakung, di dedaunan, di atas bunga, kunang-kunang berterbangan dengan sinarnya. Sebelumnya Aku tidak pernah melihat binatang yang bisa bercahaya. Tangan kecilku menangkap salah satu kunang-kunang, rasa penasaranku membuat jari-jariku menarik tubuh kunang-kunang itu hingga badan si kunang-kunang terkoyak dan lepas dari kepalanya. Isi perut kunang-kunang yang masih berpendar berwarna kekuningan ku keluarkan dan ku tempelkan di kuku jariku. Kuamati kuku jariku yang berpendar, namun pendaran itu lambat laun berubah seperti jelly berwarna kuning pudar. Aku sedih karena kuku jariku tak lagi berpendar, aku berlari mengejar beberapa kunang-kunang yang berterbangan. Aku melompat mencoba menangkap kunang-kunang yang berada tepat di atasku.

"Jangan nduk, nduk Agnia jangan!" Teriakan Mbah kakung membuatku terkejut.

"Kenapa kung? Agnia pingin main sama bintang terbang kung." Aku masih meloncat-loncat dan bermain dengan kunang-kunang. Mbah kakung mendekati aku yang sedang asyik bermain dan mulai mendongeng untukku. Perlahan aku mendekat dan sambil rebahan aku antusias mendengarkan dongeng dari mbah kakung.

Mbah kakung pun mulai mendongeng. Di zaman dulu, waktu Mbah kakung masih kecil, kakung dan teman-teman kakung sering bermain di hutan. Di hutan kakung sering melihat cahaya-cahaya kecil berterbangan di udara, jumlahnya banyak sekali.

"Oh mbah kakung melihat bintang terbang ya?" aku penasaran.

"Iya, namanya kunang-kunang, Agnia." Mbah kakung melanjutkan ceritanya. Kunang-kunang itu berterbangan di atas kepala kakung dan teman-teman kakung. Kakung dan teman-teman kakung berlari ketakutan. Malam berikutnya kakung pergi sendirian ke hutan membawa toples kaca. Kakung kemudian melepas baju lalu bajunya kakung ikat di tongkat. Baju kakung yang sudah kakung jadikan jaring, kakung gunakan untuk menangkap kunang-kunang. Kunang-kunang yang telah tertangkap kemudian dimasukkan ke dalam toples. Banyak sekali kunang-kunang yang kakung tangkap, waktu itu kakung belum tahu kalau nama binatang ini kunang-kunang. Toples kaca kakung sudah penuh berisi puluhan kunang-kunang. Kakung merasa kunang-kunang itu seperti sebuah lentera, dan akhirnya kakung bawa pulang ke rumah, karena pada waktu itu di rumah kakung belum ada lampu. Lampu kunang-kunang itu kakung jadikan penerangan di kamar kakung. Tiba-tiba mbah uyut, ibu kandung kakung datang dan mengambil toples berisi kunang-kunang itu, kemudian membawanya berlari keluar rumah. Toples kaca itu Uyut lemparkan ke atas bebatuan di pinggir hutan, akhirnya toples itupun pecah dan kunang-kunang itupun berterbangan masuk ke dalam hutan. Mbah uyut yang gak pernah marah sama kakung, waktu itu benar-benar marah sekali sama kakung, kakung tidak mengerti kenapa uyut marah padahal kakung tidak melakukan kesalahan. Kata mbah uyut binatang bercahaya itu namanya kunang-kunang, dan menurut mbah uyut, kunang-kunang itu kuku orang mati, itulah sebabnya orang tidak ada yang berani mengambil kunang-kunang, apalagi untuk dibawa pulang. Kakung pun mengakhiri ceritanya.

BIOLUMINESENSITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang