Prolog

211K 5.2K 141
                                    

Untuk Sashi Kirana

TRS (4) - With Julian

A Novel by. Wulan Fadila

© Copyrighted 2014, wulanfadi

========================

Prolog


Aku gak bisa tidur.

Tiap aku menutup mata, mencoba tidur, saat itu pula suara-suara terdengar sangat jelas. Jam berdetik. Tetesan air di kamar mandi. Jangkrik bersuara. Suara angin. Daun bergemerisik. Suara di pikiranku. Lalu, aku mengingat kenanganku bersama Mama. Di situlah, aku langsung membuka mata. Keringat bercucuran di seluruh tubuhku. Ketakutan merayapi. Beserta rasa kangenku pada Mama. Sudah sebulan sejak Mama pergi selama-lamanya, begitu kata Papa. Mama pergi selama-lamanya, Julian. Dia udah tenang di sana.

Aku tidak tahu harus apa, jadi, kuambil kertas kosong, pensil dan krayon. Hari sudah tengah malam saat aku keluar kamar, berjalan mengendap-endap ke ruang tamu. Di sana, aku menghela napas berkali-kali, teringat tentang Mama yang sering duduk bersamaku di sofa ruang tamu. Aku memilih duduk di bawah sofa, karpet beludru merah tua yang nyaman diduduki.

Langsung aja aku menaruh kertas di atas meja, beserta pensil dan krayon. Aku mulai menggambar asal, aku sendiri tidak tahu apa yang kugambar. Ada gunung, awan, Mama dan pelangi. Gambarku tidak jelek bagi anak kecil seusiaku. Malah cukup bagus. Aku tersenyum. Kemampuan ini warisan dari Mama, Mama seorang pelukis, begitu kata Papa saat kutanya mengapa Mama sering mencorat-coret kanvas.

"Julian," panggil seseorang.

Tanpa mendongak pun, aku kenal suara itu. Sejak kecil aku selalu bersamanya. Adanya dia di sini juga karena turut berduka atas Mama yang pergi selama-lamanya itu. Tapi aku tetap mendongak, melihat dalam diam perempuan seumuranku. Dia tengah berdiri di sana, dekat tangga, dengan boneka kelinci putih berada di dekapannya.

Aku kembali menunduk, menggambar.

"Julian," panggilnya lagi.

Kutatap dia, dengan pandangan bertanya dan sedikit rasa jengkel.

"Kamu ngapain malem-malem di sini?" tanya perempuan itu, mendekatiku dengan ringan.

Aku mengedikkan bahu, menunjuk kertas, aku lagi gambar.

Perempuan itu menghela napas. "Sampe kapan kamu gak mau ngomong, Yan?"

Menggelengkan kepala, aku gak tau.

Sejak Mama pergi selamanya, tidak ada keinginanku untuk berbicara sedikitpun. Aku diam membisu, Papa juga lelah membujukku untuk berbicara. Di sekolah, aku benar-benar diam layaknya patung. Semua yang kuingat hanya kenanganku bersama Mama. Mama, Mama, Mama.

Menyerah dengan kebisuanku, perempuan itu duduk di hadapanku, mengambil krayon, dan mewarnai awan. Aku mengerutkan alis bingung. Sejak kapan warna awan merah jambu? Kutatap dia, bertanya. Dengan cuek, dia terus mewarnai setiap awan dengan warna merah jambu. Lalu, dia beralih pada gunung. Gunung warna kuning. Memang ada? Berlanjut ke pelangi. Seharusnya merah, kuning dan hijau. Tapi dia malah memilih warna abu-abu, ungu dan cokelat.

Ada apa dengannya, sih?

"Warnanya salah, Suz," ucapku refleks saat lagi-lagi ia mewarnai mata Mama dengan warna hijau. "Harusnya warna cokelat."

Perempuan di hadapanku mendongak, senyum kecil terukir di bibirnya. "Akhirnya kamu ngomong," lalu dia menatap kertas itu, sementara aku terkejut. Barusan aku ngomong, ya? Aku sama sekali gak sadar. Perempuan itu berbicara lagi, "Kenapa tiap aku warnain gambar, semua orang bilang warna yang aku pake selalu salah?"

Mataku memicing curiga.

Papa pernah mengajariku tentang kelainan pada mata. Ada rabun jauh, rabun dekat, rabun jauh dan dekat dan rabun senja. Papa juga bilang, di saat semuanya tampak abu-abu, itulah yang disebut buta warna. Papa selalu mewanti-wanti aku, menanyakan warna benda ini-itu apa. Hingga dia lega saat semua jawabanku betul.

Apa mungkin dia buta warna? Sashi Ananta? Anak teman Papa?

"Mungkin kamu buta warna," kataku.

"Apa itu buruk?"

"Gak tau," menggeleng kepala, kutatap dia. "Tapi Papa bilang, hal itu harus dirahasiain."

Sashi menatapku, bertanya. Alisnya berkerut bingung. "Kenapa?"

Lagi. Kugelengkan kepala, aku gak tau.

Lama kami terdiam, hingga Sashi menepuk kedua tangannya sekali. Kudongakkan kepala, melihat senyum tipisnya terukir. Sashi menyodorkan jari kelingkingnya tepat di depan hidungku, hingga kepalaku refleks mundur beberapa senti. Aku menatapnya, bertanya.

"Karena aku seneng akhirnya kamu gak bisu lagi, aku bakal rahasiain itu," ucapnya ringan. "Tapi kamu harus janji, jangan kasih tau siapapun. Karena cuma kita berdua yang tau."

Aku takut berjanji. Karena kata Papa, janji harus ditepati. Kalau tidak ditepati, bahaya akan datang. Aku takut tidak bisa menepati janji. Takut bahaya akan datang. Sama saat Mama berjanji tidak akan meninggalkanku, Tapi nyatanya dia pergi selama-lamanya. Meninggalkanku yang belum tau konsep kematian itu seperti apa. Mama gak berhasil menepati janji itu, aku pun takut untuk berjanji karenanya.

Tapi aku mengaitkan kelingkingku pada miliknya, berucap.

Aku janji."

TRS (4) - With JulianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang