J-A :: [5] Pouring Rain

63.1K 3.4K 71
                                    

5.

 

Hujan deras jatuh mengenai genteng sekolah, mengalir, dan berakhir di telapak tangan Julian. Bulan Juli telah berakhir, itu berarti musim penghujan datang. Benar saja, akhir-akhir ini hujan terus mengguyur kota Jakarta. Tak terkecuali sekolah National High. Dari pagi hingga siang, awan mendung menggantung di langit kelabu. Disertai titik-titik hujan. Membuat seluruh siswa-siswi memakai jaket angkatan atau sweter. Guru pun banyak yang memakai jas.

Tapi ada satu orang yang tidak memakai jaket maupun sweter.

Orang itu menarik perhatian Julian. Terbukti, sedari tadi Julian terus mengikuti tiap gerak-gerik orang itu. Kedua tangan yang saling menggosok, untuk menghalau dingin. Rambut yang dijalin menjadi satu bergoyang-goyang. Helaan napas. Memeluk dirinya sendiri. Orang itu benar-benar menarik seluruh perhatian Julian hingga cowok itu tak sadar, Alvaro telah berada di sampingnya. Cukup lama untuk mengetahui bahwa Julian memperhatikan orang itu.

"Yan," panggil Alvaro. Melirik Julian. Sementara yang dilirik mengerjap dan langsung menengok ke asal suara. Melihat Alvaro, Julian langsung menghela napas. Ketahuan. Alvaro tersenyum. "Itu jaket lo udah di kuwel-kuwel sampe lecek. Daripada dilecekin, mending dikasih dia. Oiya, gue jauh-jauh ke sini dari kelas Bahasa cuma mau bilang, nanti pulang sekolah, kumpul di lapangan basket belakang. Ngomongin soal The Rules. Sekarang giliran lo, nih."

Julian cemberut, menggeleng. "Kan bisa kasih tau lewat LINE. Bilang aja lo mau ngapelin kelas gue, buat ngeledek gue."

Semakin semangat pula Alvaro meledeknya. Memanas-manasi. "Udah kasih aja. Gak perlu sungkan. Dianya juga seneng, kan. Lo terlalu pemalu sampe-sampe ngelakuin hal itu susah banget. Katanya gentleman? Kasih, dong. Kasian dianya kedinginan. Entar hipotermia, entar—" Alvaro berpikir sebentar, "—entar dianya sakit. Entar dianya gak sekolah. Ketinggalan pelajaran. Entar kalo ketinggalan pelajaran, nilainya turun. Lo mau nilai dia turun? Enggak 'kan? Makanya, kasih dong. Kasian tuh."

Mata Julian membelalak. Alvaro terlalu melebih-lebihkan. Tapi dia menyentil titik paling sensitif Julian; gentleman. Julian pernah mendeklarasikan bahwa dirinya gentleman buat satu cewek yaitu dia. Tentu, itu sebelum Julian dan dia bertengkar hebat yang berimbas pada keduanya. Main kacang-kacangan. Sampai-sampai, tidak ada kata "selamat ulang tahun" atau "selamat tahun baru" lagi. Sampai-sampai, di pertemuan kedua orangtuanya pun, Julian dan dia tidak mau datang. Sampai-sampai, Julian lupa bahwa dia pernah mengatakan hal itu. Mendeklarasikan dirinya gentleman.

Tapi, Julian benar-benar tidak mau jika dia kedinginan.

Jadi Julian berjalan ke arahnya, mengacuhkan siulan Alvaro. Tanpa berpikir apapun, Julian menepuk pundak orang itu. Di tengah keramaian koridor sekolah. Dengan rintik-rintik hujan membasahi bahu Julian. Dengan suara-suara keramaian khas jam istirahat.

Orang itu menengok. Mata bulatnya yang pertama kali Julian lihat.

Keduanya terdiam selama beberapa detik. Saling tatap, bibir terkunci rapat. Berbagai pikiran negatif bermunculan di kepala Julian. Bagaimana jika dia tidak mau melihat Julian lagi? Bagaimana jika dia menolak jaket yang akan Julian berikan? Julian sadar, tangannya masih bertengger di pundak orang itu. Tapi untuk beberapa alasan, Julian tidak mau melepasnya.

Lalu Julian tersenyum. Kaku. Seolah dia robot.

"Ini," ucap Julian serak, menyorongkan jaket berwarna biru keabu-abuan miliknya. Menunggu dia mengambil jaket itu. Selama beberapa saat, tangan Julian tetap mengambang di udara. Tak ada balasan darinya. Julian memejamkan mata, lalu berkata. "Ini," lagi. Julian bertanya dalam hati apa dia hanya bisa berkata "ini" hingga suaranya meluncur turun. "Dingin. Nanti sakit."

TRS (4) - With JulianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang