J-A :: [3] Little Girl Next Door

79.1K 3.8K 144
                                    

3.

 

Duk. Duk. Duuuk.

Tangan Julian tanpa henti memantulkan bola basket ke lantai. Menimbulkan bunyi cukup keras yang membuat Ana mengomel dari lantai bawah, tapi tak melakukan apa-apa. Julian yakin, Ana malas membawa berat badannya ke lantai atas hanya untuk menyuruh adik "bandel"nya berhenti memantulkan bola. Lagipula, bukan salah Julian jika ia menggalau di depan balkonnya, dengan jendela yang tertutup rapat, bertirai, namun masih bisa melihat keadaan luar samar-samar. Bukan salah Julian jika ia terus-terusan mengingat masa lalu. Bukan salah Julian, tapi salah ... entahlah.

Seseorang melempari kerikil ke jendela kamarnya, tepatnya, balkon. Julian menggerutu. Di saat seperti ini? Kenapa ada saja orang iseng yang melempari sesuatu ke balkon seseorang. Mungkin lumayan kalau hanya kerikil, tapi pisau? Memikirkannya saja Julian ngeri.

Julian berhenti memantulkan bola, melempar bola itu ke dalam keranjangnya lagi. Dengan langkah tergontai-gontai, Julian menuju balkon. Melongok ke bawah untuk mengetahui orang iseng mana yang melempari balkonnya dengan kerikil. Tepat saat itu, satu kerikil lagi melambung tinggi ke atas. Cepat-cepat Julian menghindar. Kali ini ia jengkel, melongok ke bawah dengan tatapan paling tajam.

"Kak Liyaaan!" seru tetangga sebelahnya, Sera. Anak perempuan kecil berumur sepuluh tahun yang sering mengganggunya, meminta diajari ini-itu. Tapi Julian akui, Sera pintar dan lebih tanggap daripada anak kecil kebanyakan. Senyum cerah Sera terukir saat Julian nyengir. "Kak, ajarin main sepatu roda!" suaranya benar-benar polos dan ceria.

Untuk sejenak, Julian terbatu. Sepatu roda selalu identik dengan dia. Menggelengkan kepala, lagi. Mengusir pikiran itu. Sepatu roda bukan identik dengan orang itu. Sepatu roda biasa saja, pantas dipakai untuk anak kecil umur sepuluh tahun. Dan dengan pemikiran itu, Julian kembali menunjukkan senyum cemerlangnya pada Sera, yang membuat anak itu menatapnya penuh harap.

"Hm ... Kak Liyan pikir-pikir dulu, deh," bertopang dagu, dengan wajah jail.

Bahu Sera yang terangkat semangat kini menurun lesu, senyum cerah itu terganti dengan kedua sudut bibir tertekuk ke bawah. Mata Sera masih memancar harap, meminta Julian mengajarinya. Jelas Sera begitu ekspresif, salah satu alasan kenapa Julian menyayanginya. Menggemaskan. Apalagi, lihat sekarang. Bibir Sera mengerucut. Dia ngambek.

"Kak Liyan gitu," dan mulai merajuk.

Julian tertawa renyah, menatap Sera penuh sayang. "Becanda."

Hanya satu kata, tapi sekarang senyum Sera kembali mengembang. Bahunya terangkat sempurna dan mata itu berseri-seri. Benar-benar menggemaskan, rasanya Julian ingin berlari dan mencubiti pipi tembam Sera. "Bener? Kalo gitu, Kak Liyan turun dong. Bantuin Sera!"

"Iya-iya, tunggu bentar," kata Julian.

Julian tersenyum, memakai topi berwarna biru lusuh yang sering ia pakai. Keluar kamar, menuruni tangga, melirik kakaknya yang tertidur lelap di sofa. Julian kembali ke atas, mengambil selimut tebal, menuruni tangga, menyelimuti kakaknya. Mengingat udara cukup dingin—meski sekarang siang hari, membuat Julian tidak tega melihat Ana meringkuk seperti bayi di sofa. Setelahnya, Julian keluar rumah. Melambaikan tangan pada Sera yang sibuk memakai sepatu roda.

"Hai, Sera," Julian menyapa, berjongkok di depan anak kecil itu dan memakaikan sepatu roda milik Sera dengan benar. "Harus kenceng dikaitinnya, Ra. Biar gak sakit waktu dibawa jalan."

Anggukan penuh semangat milik Sera membuat hati Julian penuh. Setidaknya ada seseorang yang membuat Julian terasa "penting". Meski hanya mengajarkan sepatu roda atau menggambar, misalkan.

TRS (4) - With JulianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang