H a p p y r e a d i n g
Laki-laki itu berdiri di sudut menantiku. Aku tidak perlu melihat fotonya, sama seperti dia tidak perlu melihat fotoku untuk mengenaliku. Laki-laki yang hanya kukenal melalui pesan elektronik selama 3 hari terakhir. Tulisannya yang padat dan mengena selalu membuatku penasaran.
"Kamu tulis di profilemu to play with you. Bisa jelaskan?" Kenangku tentang pesan pertamanya untukku.
Setelah itu kami berbalas email bak pingpong. Dia membuatku menuliskan dengan jelas setiap detil yang menurutnya kurang jelas. Dia juga menceritakan dengan detil tentang siapa dia. Dia juga memberikan informasi personalnya, tidak ada satupun yang ditutupi. Selama perjalanan menuju tempatnya, aku tersipu dan bagian bawah tubuhku menghangat. Aku merasa seperti seorang abg yang sedang jatuh cinta dengan kakak kelasnya.
"Aku pakai tas merah." tulisku sesaat sebelum sampai ke meeting point.
"I will spot you." jawabnya singkat.
Dan dia, laki-laki yang usianya 24 tahun di atasku itu, menatapku dari kejauhan saat aku berjalan berdesakan di antara kerumunan manusia. Aku tau dia juga grogi, tapi harus kuakui bahwa dia dapat menyembunyikannya dengan baik.
Dia, laki-laki yang tingginya hamper 2 meter itu, menatapku lekat dan tersenyum samar saat aku menemukan pandangannya dari kejauhan. Ia menemukan, dan tidak selangkahpun dia mendekat. Laki-laki itu hanya diam menantiku menghampirinya. Saat itu pula, duniaku berhenti berputar. Seluruh tubuhku menginginkan laki-laki ini. Aku hanya dapat menatapnya dan melangkah menghampirinya. Tidak ada sosok lain yang lebih menarik dari dia.
“Hai Tara. Aku, Joe.” sapanya sembari mengulurkan tangan.
Aku membalas uluran tangannya dengan senyum dan tersipu. Sungguh sangat jarang aku tersipu malu karena seseorang, biasanya aku yang membuat orang lain salah tingkah dengan pandangan mataku yang kata sahabatku menyebalkan.
Joe paham bahwa aku hanya berniat untuk bertemu dengannya. Aku tidak berniat untuk langsung loncat ke ranjangnya. Ia mengajakku untuk duduk di sebuah cafe sambil menikmati minuman.
"Lemonade, please." pesanku pada pelayan. Joe mengernyitkan keningnya dan tertawa mendengar pesananku.
"Kamu ngga pesan wine?“ tawarnya.
“Masih terlalu dini untuk menenggak alcohol, lagi pula aku suka homemade lemonade.” jawabku singkat.
Kami ngobrol panjang. Dia menceritakan tentang dirinya dan bertanya tentang latar belakangku. Laki-laki super cerdas yang punya 2 gelar PhDs. Dia juga tidak memperlakukan aku dengan basa-basi yang berlebihan atas nama manner. Dia tidak menolak saat aku menyalakan rokok untuknya.
"Apa yang ingin kamu ketahui tentang aku?“ tanyanya sambil menyeruput white wine yang dipesannya. Sejenak aku terdiam. Kutarik napas perlahan, mencoba merangkai kata yang ada di benakku.
"Kamu bilang di emailmu, kamu itu dom. Boleh tau apa maksudmu, Joe?“ Joe memandangku lekat. Lalu ia memejamkan matanya dan mengerutkan kening. Aku membiarkannya mengambil waktu untuk menjawab pertanyaanku. Sesaat kami berdua duduk dalam keheningan, sebelum ia memecahkan hening tersebut dengan jawaban yang terstruktur.
"Aku punya selera yang unik, Tara. Seperti kamu lihat, aku sangat mendukung gerakan persamaan gender. Aku anti kekerasan. Tapi, dalam berhubungan seks, aku sangat mendominasi dan menginginkan pasanganku untuk pasrah dan patuh padaku. Aku cukup paham tentang backgroundmu dan mengerti kalau kamu menganggapku sebagai pervert. Aku juga tidak akan memaksamu melakukan hal yang tidak ingin kamu lakukan.“ jelasnya panjang lebar. Keningku berkerut mendengar jawabannya yang menurutku tidak jelas. Kalau yang dia maksud mendominasi di ranjang itu diikat dan mata tertutup, aku sudah tau. Tapi apa bedanya dengan hubungan yang ia maksud? Hal ini yang belum aku pahami.
"Aku ngga paham dengan maksudmu, Joe. Apa bedanya dengan pasangan lain yang suka kinky sex? Toh sama saja?“ tanyaku lebih dalam.
"Ada ikatan emosi yang berbeda menurutku, Tara. Seorang sub…“ ucapan Joe terpotong oleh pertanyaanku.
"Apa itu sub, Joe?“, potongku.
"Pihak yang didominasi. Dom itu istilah untuk laki-laki yang mendominasi, dan domme untuk perempuan. Ada banyak bentuk hubungan antara seorang dom atau domme dengan subnya. Aku tidak tertarik dengan hubungan master-slave 24 jam. Aku lebih suka dengan perempuan mandiri yang memberikan kekuasaan atas dirinya padaku. Bukan sekedar seks ataupun merendahkan seseorang, tetapi dinamika yang terjadi di antara seorang dom dengan subnya yang menurutku indah." jawabnya lagi.
Aku manggut-manggut mendengar jawabannya. Aku memandangi lengan dan telapak tangannya sembari menikmati bagian bawah tubuhku yang berdetak kencang dalam lembab.
"Bukannya dalam setiap hubungan, selalu ada benang merah tarik-menarik kekuasaan yang terjadi di antara kedua belah pihak ? Bahkan dua orang anak kecil dalam berinteraksi sekalipun, akan ada benturan kekuasaan di antara mereka" Tanyaku lagi.
Lagi-lagi Joe menarik napas dan memejamkan matanya. Aku tersenyum kecil memandangnya. Laki-laki ini tampak begitu serius menjawab pertanyaanku. Dia tidak menganggap remeh pertanyaan dan pernyataanku. Joe membuka matanya dan meminta sebatang rokok untuk membantunya memformulasi jawaban. Kami melangkah keluar kafe dan berdiri di depan pintu masuk. Kuulurkan sebatang rokok, kujentikkan pemantik apiku dan kami memandang hujan.
"Apa pendapatmu tentang kekerasan terhadap perempuan, Tara ?" tanyanya perlahan.
"Kejahatan. Di negaraku, ada undang-undang yang mengatur, kalau pelaku KDRT dapat dihukum 1/3 lebih berat dibanding kalau pelakunya orang jauh." jawabku sambil menghembuskan asap rokok.
"Apa pendapatmu tentang laki-laki yang memukul pasangannya saat bercinta ?" tanyanya lebih lanjut.
"Aku menentang kekerasan, Joe. Tapi aku tau aku suka pantatku ditepuk saat bercinta." jawabku lugu.
"Ada hal penting yang kemudian menjadi pembatas menurutku. Misalnya kamu menepuk pantatku, aku tidak keberatan dan menikmatinya, maka sah saja. Yang menjadi masalah adalah ketika aku tidak menyukainya dan kamu memaksanya. Maka ini aku tidak setuju." Joe tertawa terbahak mendengar jawabanku.
"Pertanyaan lanjutannya, Tara. Bagaimana aku tau bahwa pasanganku menginginkannya ? Sampai batas mana pasanganku mau menerimanya ?" tanyanya sambil mematikan asap rokok.
"Setiap manusia berbeda. Hanya karena aku suka didominasi di ranjang, bukan berarti semua perempuan menyukainya. Dan aku sangat tidak respect dengan laki-laki yang memaksakan kehendaknya. Menganggap si perempuan pasti juga menikmatinya. Egois dan bodoh." jawabku berapi-api.
Hujan mulai reda. Aku mulai merasa tidak nyaman dengan percakapan yang sangat personal dilakukan di tempat umum. Dengan tersipu aku berbisik padanya.
"Joe, ada ngga sih tempat yang lebih privat timbang kafe ini ? Aku merasa kurang nyaman berbicara tentang hal ini di tempat umum."
"Apartmentku tidak jauh dari sini. Hanya beberapa ratus meter. Kamu mau ke tempatku? Aku janji tidak akan menyentuhmu tanpa seijinmu, Tara.“ jawab Joe tenang.
Aku nyengir mendengar jawabannya. Seandainya dia tau betapa horny aku saat itu. Segala gerak-geriknya membuatku tertarik dan ingin berada di pelukannya.
"Aku percaya sama kamu.“ jawabku ringan. Dan kami pun berjalan menuju apartmentnya.
***
NEXT PART 4=>

KAMU SEDANG MEMBACA
MY MASTER ✔
Romance(COMPLETED) WARNING! Mature content✔ Harap betul-betul sudah 17+✔ Typo bertebaran✔ Update tergantung mood✔ Readers bebas membayangkan siapa aja tokohnya✔ PLEASE READ AND VOTE #21092018 Written by PUANSYAHARANI