2. Nightmare Attack

9 1 0
                                    

Langit-langit kamar adalah hal pertama yang tertangkap oleh mataku. Aku meringis, mendadak pening datang seolah ingin meremukkan kepalaku. Enggan sekali untuk bangkit dari ranjang saat pening masih bergelanyut, membuatku hanya bisa mengerang sakit. Atensiku mendarat pada jam dinding selagi menunggu pening bosan menyambangi kepala, sudah pagi. Aku menghela nafas, jam tidurku terlalu singkat, kurasa tak lebih dari 3 jam.

Memastikan rasa pening yang mulai mereda, aku bangkit dari ranjang. Menyambar handuk dan berlalu masuk ke kamar mandi. Apapun alasannya tak ada kata terlambat untuk sekolah.

Terpejam di bawah siraman air dingin, pikiranku dalam diam bekerja. Kondisi setelah terbangun dari tidur seperti ini, entah mengapa ada sesuatu yang mengganjal di benakku. Rasanya seperti sesuatu yang datang kala mata terpejam, namun hilang kala mata terbuka, dan bonus rasa pening yang entah kenapa, suka sekali dengan kepalaku.

Gemas kuremas rambutku yang basah, lantas menatap genangan air di bawah kakiku, aku belum menemukan jawabannya. Tapi, akankah aku akan dianggap gila bila merasa sesuatu seolah mendekatiku?

Aku terkesiap, baru sadar pikiranku sudah merambat kemana-mana. Masam kutatap genangan air, kupikir kepalaku bisa dingin bila ditimpa air, tapi nyatanya malah aku terjerumus ke dalam labirin yang pikiranku ciptakan sendiri.

-

Tanganku yang semula terangkat kini bertengger di tenguk, aku menghela nafas super lega. Akhirnya sesi sapa menyapa dan canggung mencanggungkan telah usai, lega juga karena bisa lepas dari sekumpulan siswa di lantai dua ini.

Aku tahu apa yang mata mereka katakan saat melihatku menginjakkan kaki di lantai dua, itu adalah tatapan canggung serta heran. Yah, kemunculanku di lantai dua di jam jam seperti ini memang agak ajaib, biasanya sekarang aku tengah menikmati pagi dengan cara membosankan di kelas. Itulah mengapa mereka yang paham kebiasaanku kini menatapku heran.

Sembari melanjutkan langkah menuju kelas, tatapanku mendarat pada jam tangan yang terpasang apik di tangan kananku. Mataku menyipit melihat jarum jam, mulai sadar bahwa sesuatu biasanya terjadi saat ini, naasnya aku lupa apa itu. Tepat saat hipotesis mulai bermunculan di kepalaku, aku berjengit kaget mendengar sebuah seruan keras, aku memutar bola mata dan mendengus.

"JONG HAN-IE!"

Itu adalah sebuah seruan, panggilan, yang dilayangkan oleh seorang lelaki dinilai dari suaranya. Aku menoleh ke arah datangnya suara di belakang, mendapati sesosok laki-laki berambut pirang melambaikan tangan kelewat antusias kepadaku. Tak habis pikir dengan kelakuan lelaki itu, agak sedikit rasa malu menyerangku karena beberapa siswa kini menoleh pada kami.

Aku mendengus, lagi. Lelaki pirang itu kini berlari mendekat-

Bruk!

-dan dengan sengaja mendaratkan tangannya di punggungku. Tak begitu keras, tapi berhasil membuatku meringis karena tak menduga tingkahnya akan seperti ini.

"Pagi Jong Han-ie!" Sapanya riang, dengan sengaja mengacak rambut cokelat kemerahan milikku, sebuah tindakan tanpa beban yang justru membuatku kesal.

"Hentikan. Kau bertingkah seperti anak kecil, Jae Yon,"ujarku sedikit kesal, ganti tanganku yang kini bergerak merapikan rambutku kembali. Aku melirik pada lelaki pirang di sebelahku, masih juga tak habis pikir mengapa lelaki itu sering berlaku seperti anak kecil seperti ini. Terlebih ini di keramaian, tapi toh hampir seluruh siswa yang satu tingkat dengan kami tak heran, Jae Yon memang jagonya bertingkah kekanakan dan mepermalukan diri.

Jae Yon justru tersenyum jahil, secara tak terduga berhasil memiting leherku dan mendaratkan sebuah jitakan di kepalaku. Lantas ia berseru sembari melepaskan tangan dari leherku, "Justru kau yang adik kecilku, bodoh."

Nae YulyeongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang