Napas Gigi terengah-engah karena berlarian. Ia sungguh bukan orang yang pandai mengatur napas saat berlari, namun hatinya saat ini benar-benar butuh pelepasan. Ia ingin menemui Firli, setelah beberapa jam yang lalu ia menyadari bahwa perasaannya pada Firli bukan hanya penasaran saja. Langkahnya, menuju kelas Firli sempat terhenti karena kelelahan. Setelah tiga kali mengambil napas cepat, dia berlari lagi, bahkan menaiki dua anak tangga sekaligus.
Tepat di depan kelas yang ia tuju, Azka baru saja akan keluar kelas. Dan menemukan Gigi sedang mengatur napasnya terengah-engah.
"Kenapa lo, jadi kayak dikejar-kejar setan gitu?!" Azka memperhatikan Gigi dari atas kepala hingga kaki. Rambut yang berantakan, kaos yang dikenakannya juga lepek basah karena keringat. "Abis marathon lo ya?" sambung Azka.
Gigi ingin segera menjawab pertanyaan azka, ia berusaha mengatur napasnya dan menjawab azka dengan terbata. "Firli.. Firli ada di kelas?"
"Gak ada, dia udah keluar. Buru-buru tadi."
Tangan Gigi mengepal, dia terduduk lemas. Azka mengeluarkan handphone dari sakunya, lalu mengulurkannya pada Gigi. "Penting banget ya? Sampe harus marathon kesini. Nih, telepon orangnya!"
Gigi menatap ke arah Azka dengan tatapan penuh harap, lalu mengambil handphone Azka dan mencari nama Firli dalam contact Azka. Dia benar-benar akal, tasnya ia tinggal begitu saja dalam mobil dan Azka cukup jeli untuk melihatnya tidak membawa apa-apa.
"Lo di mana?" Gigi memburu ketika teleponnya tersambung. "Gue kesana sekarang, elo tunggu situ. Ada yang mau gue sampein ke elo." Gigi segera bangkit dari duduknya setelah menutup panggilannya. Lalu mengembalikan handphone Azka.
"Di mana dia?"
"Diparkiran. Kampret, padahal barusan gue lari dari parkiran. By the way thanks yaa, gue duluan."
Azka terkekeh. "Yaudah, jangan lari lagi. Goodluck!"
Sebenarnya, Gigi menyadari sesuatu. Bahwasanya pria dihadapan Gigi memang terlihat tampan saat tertawa. Akan tetapi, walaupun Firli tidak setampan Azka, namun Firli sudah memiliki ruang tersendiri dalam hatinya.
*
Gigi sudah berada dihadapan Firli kali ini. Tapi tingkahnya malah tidak karuan. Ia menghentak-hentakkan sebelah kakinya dengan tempo cepat, tangannya di lipat ke depan. Arah pandangnya tidak jelas, sebentar melihat Firli, lalu melengos lagi karena dengan melihat Firli malah menambah parah degup di jantungnya. Membuat Firli mengangkat sebelah alisnya.
"Udah dua menit sejak elo nyamperin gue kesini, tapi belum ada kata-kata penting yang keluar dari mulut elo."
"Bentar, gue bingung mulai dari mana." Gigi mulai menggigit jarinya sekarang.
Firli mengguncang bahu Gigi pelan, matanya bertautan dengan mata Gigi yang penuh harap. "Tenang dulu tenang, jangan panik. Elo mau ngomong apa? Gak usah malu." Kalimatnya terhenti, matanya meneliti Gigi yang masih resah. "Elo pup dicelana lagi, huh?"
Kontan saja Gigi mendorong Firli sebal, Firli malah terkekeh puas karena menggoda Gigi. "Lagian sih, tinggal bilang aja ada apa malah bikin penasaran orang."
Gigi menatapnya serius. "Jadi, gue su..." Belum selesai Gigi menuntaskan kata-katanya, ada suara lembut memanggil nama Firli yang mengintrupsi percakapan mereka. Keduanya menoleh ke arah suara. Gigi menatap dalam-dalam wajahnya. Ia seperti pernah melihat wajah yang tak asing itu.
"Fir, masih lama? Ayo, aku udah lama gak ketemu keluarga kamu." Wanita itu menghampiri Firli lalu menggandeng tangannya.
Ada raut kesal yang yang terlihat jelas di wajah Gigi. Ditambah Gigi ingat siapa gadis yang ada dihadapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
One
Teen FictionAlgiefanya, perempuan yang kerap dipanggil Gigi oleh orang terdekatnya. Wajahnya biasa, penampilannya sederhana dan selalu menggunakan pakaian yang sama dua kali dalam seminggu. Gigi belum sembuh dari sakit hatinya ditinggal menikah dengan mantan ke...