Dengan susah payah Anneta mengikuti langkah lebar Alfian. Ia tahu laki-laki itu sangat marah dan merasa dipermainkan. Ah, bodoh! Kenapa dia lupa mengeluarkan buku harian milik Naira dari tasnya? Kenapa harus ia bawa? Dan juga ... kenapa dia harus menitipkan tas itu pada Alfian? Kalau sudah begini apa yang harus ia lakukan? Alfian pasti sangat marah. Dan ia yakin, penjelasan apapun yang ia keluarkan pasti tidak akan laki-laki itu terima jika kondisinya seperti ini.
Langkah Anneta terhenti saat Alfian berhenti di depannya. Laki-laki itu masih membelakanginya, tapi Anneta tahu Alfian sedang menahan emosi. Terlihat dari pundaknya yang kini tampak naik turun. Sungguh, kalau bisa Anneta ingin kabur saat ini juga. Dia hanya menggigit bibir dengan tangan bertautan cemas. Siap menerima luapan emosi laki-laki itu. Dia bahkan tidak tahu harus menjelaskan semuanya dari mana. Semua kosakata di kepalanya seolah menghilang saat itu juga.
"Harusnya aku tahu, ketulusan itu bullshit!" Alfian terlihat menarik napas, sebelum kembali bersuara. Dia masih berdiri memunggungi Anneta.
"Aku yang terlalu naif, terlalu cepat percaya sama kamu, dan ... dengan cepat pula mempercayakan hatiku sama kamu."
Anneta merasa semakin bersalah, bisa ia rasakan kepedihan dari setiap kata yang laki-laki itu ucapkan.
"Aku sudah bilang, aku nggak suka kamu menyebut nama itu di depanku." Ada jeda beberapa saat, sebelum tubuh itu memutar penuh ke arahnya. Hingga sorot kemarahan itu terlihat jelas dari mata Alfian.
Anneta memilih menunduk, dia tidak sanggup ditatap dengan sorot tajam yang sedikit ... menakutkan. Bahkan Alfian yang ketus dan bermulut pedas, rasanya lebih baik di mata Anneta. Dari pada Alfian yang seperti ini, sangat dingin, sinis, dan ... Anneta menghela napasnya. Masih belum bisa menjelaskan apa pun.
"Kamu memang tidak menyebut nama itu, tapi ternyata." Alfian tertawa miris, "kamu adalah utusannya? Apa yang kamu mau?"
Anneta mengangkat wajahnya secara perlahan, tatapan tajam itu masih menjadi pemandangan yang ia terima.
"Aku ... aku, aku hanya ingin, meluruskan kesalah__pahaman ... kalian," cicitnya terbata-bata, dan memilih kembali menundukkan wajah.
"Tidak pernah ada kesalah pahaman! Semua sudah terlalu jelas! Kamu nggak tahu apa-apa Anneta. Jadi ... berhenti, cukup mempermainkan hati saya sampai di sini. Dan ... jangan lagi muncul di hadapan saya. Lupakan apa pun itu yang menjadi rencana kamu selanjutnya."
Anneta mendongakkan wajahnya, dia menggeleng pelan. Banyak kalimat yang ingin ia katakan, tapi tak satupun mampu ia keluarkan. Dan kenapa Alfian harus bicara seformal itu?
"Lebih baik kamu pulang, supir saya akan mengantar kamu," katanya, lalu menyodorkan tas milik Anneta yang masih ia pegang, dan pergi begitu saja sebelum gadis itu mengatakan apa pun yang akan membuat hatinya semakin marah.
Anneta hanya mematung, satu bulir menetes dari sudut matanya. Dia ingin berlari dan menghentikan langkah lebar itu. Ia ingin berteriak, dan menjelaskan semuanya. Atau kalau perlu, dia akan mengikat tubuh Alfian, menutup mulutnya agar laki-laki itu mau mendengarkannya. Dia harus mendengarkannya!
"Mbak, kata Pak Alfi, saya disuruh ngantar Mbak pulang sekarang." Anneta tidak menyahut, matanya masih menatap punggung Alfian yang kini sudah menghilang di balik pintu dapur.
"Mbak!"
Anneta mengangguk, lalu melangkahkan kakinya keluar. Mungkin Alfian butuh waktu, yah ... dia harus mencari cara untuk bisa menyelesaikan masalah ini dengan cepat.
***
Alfian membanting pintu kamarnya dengan kasar, tidak peduli dengan reaksi orang-orang di bawah sana jika mendengarnya. Dadanya naik turun menahan emosi. Ternyata ketakutannya selama ini terjadi. Gadis itu benar-benar punya maksud lain untuk mendekatinya. Harusnya dia tidak terlalu naif, harusnya dia sadar mana mungkin ada seorang gadis mendekatinya jika tanpa alasan. Seperti yang selalu terjadi selama ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANNETA (LENGKAP)
Romance💜Pindah ke Dreame/Innovel💜 Kehidupan Anneta terasa jungkir balik semenjak menemukan sebuah buku Diary. Dia yang selalu merasa tidak beruntung dalam kehidupannya. Bahkan sering menyalahkan Tuhan, dan merasa Dia tidak adil. Akhirnya merasa lebih be...