Chapter 1

120 17 9
                                    

"Kak ambilin balonku dong."

Rengekan anak kecil untuk yang kesekian kalinya terdengar di telinga Vika.

"Kakak...." rengeknya semakin keras tetapi Vika tak mempedulikan.

"KAKAK AMBILIN BALONKU NYANGKUT," teriaknya kesal karena Vika tak kunjung merespon.

"Apasih ganggu aja, sana ambil sendiri," balas Vika dengan kesal karena waktu istirahatnya terganggu.

Beberapa detik anak kecil itu terdiam sebelum mengeluarkan suara teriakan yang mengancam ketenangan Avika.

"TANTE KAK VIKA NGGAK MAU NGAM-"

Vika langsung membekap mulut keponakannya itu karena dia tidak mau diceramahi oleh mamanya.

"Iya iya bawel banget sih dasar bocah. Lain kali nggak usah main ke rumah deh. Kerjaannya Cuma ngrepotin orang aja. Punya rumah sendiri kenapa harus ganggu liburan orang. Dasar anak kecil," gerutu Vika sambil berjalan keluar rumah.

Di belakang Vika sang keponakan masih setia mengikuti. Vika tidak pernah suka dengan anak kecil apalagi keponakannya ini. Namanya Ifa, anaknya super aktif, cerewet, dan licik.

Yah sebenarnya Vika menilai semua anak kecil di dunia ini seperti itu. Dia beranggapan bahwa anak kecil itu merepotkan. Beruntunglah dia tidak punya adik. Tapi semua keberuntungannya hilang ketika sang iblis kecil (Ifa) datang dan mengacaukan sisa liburan semesternya selama seminggu ini.

Ketika sampai di jalanan depan rumah, Vika menoleh. "Nyangkut dimana balonnya?" tanya Vika sewot

"Di pohon itu," jawab Ifa sambil menunjuk pohon yang berada di seberang jalan.

"Anak kecil kok nggak bisa manjat pohon, cemen. Waktu seumuran lo gue udah pernah manjat semua pohon tetangga. Nggak kaya lo dasar anak mama."

Setelah puas mengejek keponakannya, Vika bergegas memasuki halaman rumah tetangganya

Vika memanjat pohon dengan mudah. Setelah sampai diatas dia mulai mencari balon yang dimaksud Ifa. Saat hendak turun dari pohon, kakinya salah menginjak ranting. Alhasil sekarang dia jatuh tersungkur di balkon lantai dua rumah tetangganya. Kesialannya bertambah ketika ia menyadari bahwa balon yang diambilnya tadi sudah terbang tinggi di langit.

"Pencuri."

Sebuah suara membuat Vika menoleh. Beberapa meter di depan Vika ada seorang cowok yang sedang menatapnya intens. Cowok tersebut duduk di kursi meja belajar kamarnya. Walaupun terpisah jendela kaca yang terbuka, Vika masih bisa melihat cowok itu menggerutu dari gerakan bibirnya.

"Enak aja kalo ngomong," balas Vika tidak terima.

"Gue jatuh ditolongin kek bukan malah nuduh yang nggak nggak dasar nggak gentle," lanjutnya masih dengan posisi terjatuhnya.

"Lo jatuh sendiri kenapa harus gue tolongin?" kata cowok tersebut acuh.

"Arvie ada apa itu ribut ribut?" teriak seorang wanita dari lantai bawah yang tak lain adalah mama Arvie.

"Nggak ada apa apa ma, ini cuma kucing jatuh dari genting," teriak Arvie agar sang ibu mendengar suaranya.

"Sekarang lo pulang sana!" perintah Arvie.

"Lo ngusir gue?" tanya Vika sewot.

"Hm," jawab Arvie santai.

"Udah jatuh nggak ditolongin, dituduh yang nggak nggak, diusir lagi dasar nggak berperasaan," gerutu Vika sambil berdiri dan mulai berjalan memasuki kamar Arvie agar bisa pulang lewat pintu kamar cowok tersebut.

"Eh mau kemana lo?" tanya Arvie mencegah Vika pergi.

Vika menoleh menatap Arvie heran. "Mau pulang lah kan lo yang minta."

"Emang gue suruh lewat pintu sana?"

"Terus gue harus lewat mana?"

"Lo kesini lewat pohon kan, yaudah baliknya lewat pohon lagi. Kalo lo lewat bawah nanti ketahuan nyokap gue," jawab Arvie santai.

Vika mendecak baru kali ini dia bertemu dengan cowok sekejam ini. Vika kesal, dia berjalan dan langsung melompat dari balkon kamar Arvie. Memang benar kata kebanyakan orang, jika manusia sedang emosi mereka bisa melakukan hal-hal di luar nalar.

Arvie terkejut melihat Vika melompat begitu saja padahal kamarnya berada di lantai dua. Dia segera menuju balkon kamarnya. Setelah memastikan Vika baik baik saja dan mulai berjalan keluar dari kawasan rumahnya Arvie pun menghela napas lega.

"Dasar cewek aneh," gumam Arvie sambil berjalan menuju meja belajarnya melanjutkan membaca buku yang belum diselesaikannya.

Sesampainya di rumah, Vika terus menggerutu sambil mencak-mencak kesal. Dia terus megeluarkan sumpah serapah untuk Arvie. Langkah Vika terhenti ketika dia dihadang Ifa yang sudah menodongkan tangan meminta barang titipannya.

"Kak mana balonku?" tanya Ifa dengan wajah tanpa dosa.

Dia tidak tau saja apa yang telah terjadi pada Vika hanya untuk mendapatkan satu balon yang nyangkut di pohon. Vika menghela napas kesal ingin rasanya dia melempar keponakannya ke laut.

"Apasih, balonnya udah terbang tinggi terus ngilang. Beli lagi kan bisa, gitu aja susah," jawabnya dengan sewot.

Jika saja Ifa tidak datang ke rumah dan mengganggunya maka moodnya akan baik-baik saja sampai sekarang. Semua ini karena keponakannya.

BRAK

Vika membanting pintu kamarnya keras untuk melampiaskan kekesalannya.

"Ngeselin banget jadi cowok."

Vika menghempaskan tubuh keatas ranjang bernuansa hitam putih khas panda miliknya. Dia menutup mata sejenak dan berfikir.

"By the way, gue hebat juga ya lompat dari lantai dua tanpa cedera sedikitpun," ucapnya membanggakan diri.

Vika bangkit, melompat-lompat dengan gila dan berkata, "Woow Vika lo berbakat buat jadi maling."




#####
Ini cerita pertama saya.
Butuh kritik dan sarannya readers.
Btw makasih buat like dan commentnya <3

BFRIENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang