"Tania, apa cita-citamu?" tanya guruku saat aku kelas 4 SD.
"Aku ingin lihat salju Bu!" jawabku dengan yakin.
Ternyata, semua teman-temanku menertawakan jawabanku. Padahal aku sungguh mengatakan cita-citaku.
"Tania, itu bukan cita-cita nak. Coba katakan, apa cita-citamu?"
"Sungguh Bu Guru. Cita-citaku ingin melihat salju."
Sekali lagi aku ditertawakan oleh teman-temanku. Dan akhirnya, aku menangis.
❄
Kringg
Bel pulang sekolah sudah berbunyi. Aku melangkahkan kakiku pelan dan keluar dari area sekolah. Aku berpikir, kenapa tidak ada yang percaya kepadaku? Padahal aku sudah mengatakan cita-citaku.
Aku berdoa dalam hati.
"Tuhan, aku hanya ingin melihat salju. Apakah Tuhan tidak bisa mengabulkan permintaan kecilku itu? Aku tidak meminta hal yang lain Tuhan. Aku tidak menginginkan kekayaan, aku juga tidak menginginkan mainan yang terpajang rapi diatas etalase toko mainan. Hanya salju Tuhan. Aku mohon, kabulkanlah permintaanku ini. Amin."Aku kembali berjalan dengan kepala yang tertunduk. Tak sadar, aku sudah berada di depan rumahku. Aku mengetuk pintu rumah dan masuk dengan mataku yang sembab.
"Tania pulang," salamku lemas.
Ibu yang tadinya sedang memotong sayuran kini menatapku. "Ada apa sayang? Kenapa matamu jadi seperti itu?"
Aku menceritakan apa yang kualami tadi tanpa bumbu-bumbu kebohongan.
"Sudahlah. Beberapa tahun lagi kamu pasti akan melihat salju. Jangan bersedih ya Tania, meski keluargamu tidak sekaya temanmu, kamu tidak boleh putus asa. Kamu harus rajin belajar agar dapat sekolah di luar negeri dan kamu bisa melihat salju! dan tentu saja kau akan melihat salju pertamamu itu dengan ibu."
"Iya bu. Tania akan belajar dengan giat. janji ya bu, ibu akan ada di samping Tania selamanya," lalu aku kembali tersenyum dan memeluk ibuku.
❄
Itu ceritaku 6 tahun lalu. Sekarang, aku sudah kelas 1 SMA.
Setiap hari aku berdoa, belajar, dan tentu saja bekerja. Aku berusaha mencari uang guna mencukupi kebutuhan hidupku dan Ibu.Ibu sudah tidak bisa bekerja lagi. Ia sudah tua dan hanya bisa bekerja didalam rumah. Ibuku membuka warung rawon di depan rumah. Ya, rawon. Masakan andalan ibuku. Aku sangat menyukai rawon buatan Ibu. Menurutku, itu adalah makanan yang paling enak yang pernah aku coba.
Sampai terakhir kalinya, aku tidak bisa merasakan nikmatnya rawon itu.
Tanggal 20, bulan Mei, 20xx, ibu meninggal karena serangan jantung.
"Ibu, hiks, kenapa ibu meninggalkan Tania? Ibu pernah berjanji untuk menemani Tania untuk melihat salju kan Bu? Ayo Bu, bangun. Tania tak mau hidup sendiri Bu. Tania ingin makan rawon Ibu lagi. Bu, bangun Bu.."
"Sudahlah, Ibumu sudah bahagia. Kamu diam saja," ucap wanita paruh baya yang merupakan bibiku. Kakak dari ibuku.
Sejak ibu meninggal, aku terpaksa hidup dengan bibiku. Yang bisa disebut bukan bibiku karena ia tak menyayangiku. Tapi apa dayaku? Aku hanya dapat duduk dan menikmati rawon buatan Bibiku yang rasanya kalah telak dari Ibuku.
Hei, biar aku bocorkan rahasia Bibiku kepada kalian. Sebenarnya Bibiku tidak menyukaiku. Katanya aku selalu merepotkannya. Seingatku, aku tak pernah meminta yang aneh aneh padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Salju Pertama di London
Teen FictionTuhan, aku hanya ingin melihat salju. Apakah Tuhan tidak bisa mengabulkan permintaan kecilku itu? Aku tidak meminta hal yang lain Tuhan. Aku tidak menginginkan kekayaan, aku juga tidak menginginkan mainan yang terpajang rapi diatas etalase toko main...