••

80 13 0
                                    

Tanpa sadar, semua yang ada di kantin menatapku. Mereka menatapku antara iri dan marah. Apa yang salah? Apa karena adanya dua orang di depanku ini? Sampai segitunya?

==========

Tania PoV

"Omong omong, kenapa kalian tiba tiba duduk disini?"

"Karena kami melihatmu sedirian. Maka dari itu kami memutuskan untuk makan bersamamu" jawab Naya sambil tersenyum manis.

Aku sedikit terkejut melihat senyum Naya. Sungguh menyejukkan. Berbeda dengan orang di depanku ini. Senyumnya seperti malaikat pencabut nyawa yang kejam.

Aku membalas jawaban Naya. "Kalau hanya itu, aku permisi. Kalian membuat aku dilihat seperti pelakor sejuta umat jika duduk di depan pangeran sekolah seperti kalian. Seharusnya kalian tidak melakukan hal ini. Sampai nanti."

Aku sungguh ditatap aneh oleh seisi kantin. Aku berjalan cepat menuju kelasku. Tanpa berhenti. Sampai aku merasakan rambutku ditarik oleh seseorang. Aku berbalik dengan wajah ketakutan.

"Heh kamu, beraninya kau duduk bersama Evan dan Naya! Apa kau tahu? Evan adalah mangsaku kali ini. Aku tidak akan pernah membiarkan ia lepas dari genggamanku. Ingat itu! Jika kau masih mendekati Evan, lihat saja akibatnya!" dia adalah ratu sekolah. Seorang kaya raya pindahan dari Jakarta. Dia dinilai yang paling cantik di sekolah. Namanya Brianna. Brianna Edrea Clarabelle.

Dengan terpaksa, aku meng-iyakan kata katanya.

1 hari setelah perjanjian Evan dan Tania

Hari ini tidak terjadi apa apa di sekolah. Brianna tidak menggangguku. Aku juga tak melihat Evan dan Naya sejak tadi pagi.

Saat pulang sekolah, aku tidak langsung pulang. Aku lebih suka berjalan-jalan di sekolah dan membaca novel yang aku pinjam kemarin. Ceritanya cukup bagus. Alurnya tak mudah ditebak. Novel ini bercerita tentang gadis yang mengejar cita cita nya sampai ke London. Banyak rintangan yang ia lalui. Tapi itu tak membuatnya patah semangat.

Aku membaca kelanjutan novel itu dan berhenti di gerbang lapangan. Aku sempat berhenti sejenak karena hampir tertabrak oleh kakak kelasku.

Aku tetap membaca novel itu sampai aku mendengar hentakan kaki dan pukulan bola basket yang membuat irama bak lagu yang indah. Aku melihat, siapa gerangan yang rela pulang terlambat untuk bermain basket.

Mataku sedikit terbelalak ketika tahu bahwa dia adalah Evan. Aku berusaha berputar balik. Tapi sayangnya, Evan terlebih dahulu memanggil namaku.

"Hei, Tania! Kemarilah!" serunya

Aku mau tak mau harus berbalik badan lagi. Tak mungkin kan aku mengabaikan kata katanya?

"Iya, ada apa Van?" tanyaku.

"Temani aku bermain basket!" ajaknya dengan penuh semangat.

"Aku tak bisa bermain basket."

"Ayolah Tania! Aku hanya bermain sendirian dari tadi," ajaknya lagi. Tapi kali ini dengan menarik tanganku pelan.

Tentu saja dengan pipi yang merah, aku menjawab. "Aku tidak bisa Van, aku sangat buruk dalam olahraga. Aku akan menontonmu saja disini. Apa kamu sering pulang terlambat?"

"Ah, yasudahlah, sayang sekali. Iya! Aku sering melakukannya. Untuk ini" jawabnya sambil menunjuk bola basketnya yang agak kotor.

"Apa kau juga sering pulang terlambat?" lanjutnya.

"Iya. Aku menyukai suasana sekolah yang sepi. Aku jadi bisa membaca novel dengan nyaman. Tanpa di gang gu!" jawabku sambil menekankan kata kata terakhir.

Salju Pertama di LondonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang