Chapter 3: Awal Rencana Mama

7.7K 348 2
                                    

Keyword: Piano

"Kegelisahan ini terus menelisik, tatkala hati mulai terusik."


__________

Sepulang berkerja, seharusnya Sarah meregangkan otot-otonya di atas kasur kamar yang empuk. Tapi kali ini dia lebih memilih untuk mondar-mandir di ruang tamu, menunggu orang tuanya pulang. Dia sudah bertekat, bagaimanapun caranya hari ini dirinya harus bicara pada mereka.

Ekor mata Sarah melirik jam dinding yang telah menunjukan pukul delapan malam. Dia membanting pantatnya di atas sofa. Dengan kepala menengadah dan kedua tangan dilipat di depan dada, dia bergumam, "Lama sekali."

Seolah kalimat itu adalah sebuah mantra, tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka dan berhasil membuat Sarah bangkit seketika.

"Mama!" panggil Sarah.

Carlina--nama ibu Sarah--menoleh lalu menghampiri Sarah yang masih berdiri di tempatnya. Raut wajah Carlina terlihat begitu letih. Bahkan Sarah baru sadar, jika ada lingkar gelap yang mengelilingi mata indah ibunya.

Merasa aneh karena Carlina hanya masuk sendirian, Sarah pun melihat ke arah keluar, mencari-cari sosok sang ayah yang tak kunjung menampakkan batang hidung.

"Ma, Papa di mana?" ucap Sarah ketika tak menemukan apa-apa.

Carlina yang sudah duduk di sofa dan sedang memijit-mijit pelipisnya menatap Sarah, lalu dia menepuk bagian sofa kosong di sampingnya.

Sarah pun menurut.

"Mama menyembunyikan sesuatu dari Sarah?" Nada bicara Sarah menjadi begitu rendah tapi serius.

"Maafkan mama, Sarah ...." Hanya itu yang keluar dari mulut Carlina, lebih tepatnya Carlina tak bisa melanjutkan kata-katanya karena tangis sudah tumpah begitu saja.

Sarah dibuat semakin bingung. Ia pun merengkuh tubuh mamanya. Menyandarkan kepala sang ibu lalu mengusap punggungnya perlahan. Melihat kondisi mamanya seperti ini, membuat dirinya tak tega jika harus menginterogasi Carlina lebih lanjut.

"Papamu tadi ada tugas mendadak di luar kota. Jadi untuk beberapa hari ke depan kita hanya berdua saja di rumah," tukas Carlina kemudian.

Sarah menyatukan kedua alisnya. Rasa janggal menyergap pikiran Sarah, antara percaya dan tidak percaya dengan ucapan Carlina.

"Lalu mengapa mama menangis?"

Carlina menegakkan badan, tangannya menyeka air mata. "Mama menangis karena banyak kerjaan di kantor. Tanpa papamu, ternyata pekerjaan menjadi sangat sulit." Dia memasang senyum palsu.

Sarah yang mudah sekali dibohongi langsung mengangguk paham, sedikit demi sedikit keraguan dalam diri Sarah mulai terkikis. Sarah pikir, masuk akal juga apa yang dikatakan Carlina karena semasa Sarah hidup, dia selalu melihat orang tuanya berkerja berdua.

"Oh ya, Sayang. Apa kau tetap tidak mau mengurus perusahaan ayahmu?" tanya Carlina mengganti arah topik pembicaraan.

Sarah mengangguk kuat, penuh keyakinan. "Aku sudah terlanjur cinta dengan pekerjaanku sekarang, meskipun hanya berkerja di perusahaan kecil. Jadi, biar Ken saja yang mengurusnya nanti."

Raut kekecewaan tampak menghiasi wajah Carlina. "Tapi adikmu itu masih kuliah, Sayang."

"Dia sebentar lagi akan lulus 'kan?" tanya balik Sarah, sekaligus menyangkal ucapan ibunya.

"Lain kali saja kita lanjutkan pembicaraannya. Aku sudah ngantuk, Ma. Selamat malam," pamit Sarah karena dia paling tidak suka membahas topik seputar dirinya yang harus menjadi pemimpin perusahaan ayahnya.

Sarah berdiri membelakangi Carlina. Namun sebelum gadis itu beranjak dari tempatnya, Carlina berseru lagi.

"Mama ada sesuatu untukmu," ucapnya yang berhasil membuat Sarah tertarik dan duduk kembali.

Ketika Sarah memutar tubuhnya, ia sudah melihat Carlina sedang mencari sesuatu dari dalam tas. Tak lama setelah itu, tangan Carlina terulur memberikan dua lembar kertas ke arah Sarah.

Alih-alih langsung menerimanya, Sarah justru terus terdiam sambil menatap dua lembaran tadi kemudian berpaling ke arah Carlina.

Sarah tau betul dua kertas lembaran itu isinya apa. Sarah bahkan yakin hanya dengan melihat bentuk serta coretan yang ada di sana. Itu adalah tiket pertunjukan piano!

"Mama sengaja membelikan ini untukmu. Kata teman mama, si pianis ini sangat terkenal. Oh ... ajak Alfred juga, karena mama lihat hubungan kalian masih terlalu jauh," tukas Carlina.

"Harus Alfred? Tak bisakah aku mengajak temanku yang lain?" Sarah menawar dan langsung mendapatkan satu jitakan istimewa dari Carlina.

Sarah mengaduh kesakitan, tapi sedikitpun tak digubris oleh Carlina.

"Mama membelikan ini khusus untukmu dan Alfred, bukan dengan yang lain!"

Dengan masih meringis, Sarah berucap, "Iya-iya. Aku akan pergi dengan pria kaku itu. Mama punya nomor ponselnya 'kan? Boleh Sarah minta untuk memberitahunya?" kata Sarah tanpa memperhatikan ekspresi 'tak habis pikir' yang terpasang di wajah Carlina.

Pletak!

Satu jitakan dari Carlina berhasil mengenai tempurung kepala Sarah lagi. Bagaimana tidak gemas, setiap orang tua tak akan mau melihat tingkah anaknya yang sangat tak acuh dengan calon suaminya nanti.

"Kau!" pekik Carlina. Sekarang dia benar-benar sudah tidak lagi dalam keadaan bercanda.
"Bagaimana bisa nomor ponsel calon suami sendiri tak punya?!" lanjut Carlina setengah membentak.

"Salah mama, kenapa tak memberitahu alasan kenapa aku dijodohkan dengannya!" sangkal Sarah mengalahkan intonasi bicara Carlina.

Kini suasana penuh kehangatan tadi sudah menghilang, tergantikan luapan emosi masing-masing.

Carlina mendesah frustasi. "Iya semuanya salah mama. Mama memang tak berguna. Perusahaan papamu mulai bang--" Carlina yang sejak tadi sudah banyak pikiran hampir saja keceplosan. Dia pun segera menutup mulut dengan tangan.

Sarah menyerngit. "Mulai apa, Ma? Kenapa tidak dilanjutkan?" desak Sarah.

"Ah ... lupakan! Pokoknya besok kau harus pergi bersama Alfred. Mama sendiri yang akan memberitahunya!" putus Carlina sembari beranjak meninggalkan Sarah yang masih penasaran dengan ucapan Carlina sebelumnya.

Namun, sebelum dia benar-benar pergi, Carlina menyempatkan diri untuk memberikan dua tiket pertunjukan piano ke tangan Sarah.

__________

To be continued

Ini part terpendek yang pernah kubuat, selain prolog. :)

Fix! Semakin ke sini, semakin ambyar. -_- Aku ingin menangis sekarang, sadar kalo cerita ini berjalan lambat. Lebih lagi, daripada di sebut roman, kayaknya lebih cocok disebut sebagai drama. Maaf juga kalo ngebosenin. -_-

Sweet GaslighterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang