Ibu benci aku menyembunyikan sesuatu darinya, dan semalam dia baru saja melakukan itu padaku. Ibu tidak mengatakannya langsung—takkan pernah bisa, tetapi setelah lima belas menit percakapan di telepon mengenai alasang mengapa aku tidak pulang tiga bulan ini, rahasia itu terucap juga. Tanpa sengaja Ibu berseloroh bahwa dia sudah menikah lagi.
Kupikir, ini melanggar sumpahnya sendiri untuk membenci rahasia. Sekarang, aku belajar membiasakan diri. Sudah hampir empat tahun hidupku berlangsung sejak berkuliah di kota hujan dan tiada bedanya; selalu pekat dan malam. Meskipun matahari menerobos kornea mataku, tetaplah semua itu kelam. Hitam. Lebih hitam dari orang-orang sok yang mempunyai motor ninja tetapi mengaku miskin.
***
Aku terbangun pagi ini dan mendapati kamarku memasuki tanggal lima belas. Artinya, barang-barang sudah mulai tidak menempati posisi seharusnya. Seperti ritual, bahwa setiap bulan tanggal lima belas selalu terjadi. Sinar matahari mencari celah melalui ventilasi tipis untuk menerjang sebagian wajahku. Gorden dari sarung berwarna cokelat masih menutupi jendela.
Aku memiliki siklus tersendiri untuk kamar ini. Setiap awal bulan—saat semangat masih memuncak karena uang bulanan sudah dikirim Ayah, seluruh barang di sini telah menempati posisi yang telah kami sepakati. Lalu, keadaan ini hanya bertahan dua minggu. Mendekati tengah bulan, semuanya akan mulai berantakan. Pada akhir bulan, aku tidak peduli apa-apa lagi.
Aku menikmatinya.
Di indekos tidak ada yang memarahi. Letaknya yang juga strategis, hanya berjarak tidak sampai lima ratus meter dari kampus dan kamarku menghadap sawah dan juga arah terbitnya matahari. Bila hujan turun, biasanya aku akan membuka jendela lebar dan membiarkan udara dingin hujan menyelimuti kamar. Lalu, hidungku akan menikmati bebauan tanah yang sudah dibasahi oleh hujan. Terkadang baunya seperti logam. Mungkin karena kandungan kimia air hujan.
Di indekos, aku bisa menjadi aku seutuhnya.
***
Pintu kamarku selalu sama dari pagi sampai malam. Menolak kedatangan tamu. Hanya segelintir saja. Mungkin kamarku akan memenangkan penghargaan Kamar Tersenyap jika hal bodoh semacam itu benar diadakan. Aku mencintai sepi jauh dari mencintai gadis yang menyebabkan pikiran merana dan mulai mencipta puisi.
Satu-satunya tamu yang selalu diizinkan masuk tanpa perlu memintanya ialah ...
"Indomi?" tanya Si Kembang Tahu Revan, mengetuk-ngetuk kaca jendela dan suaranya tidak terdengar jelas—aku hanya bisa membaca dari gerak lidahnya karena sudah hafal betul cara lelaki itu menawari indomi. Yang jelas, baru saja aku hendak menceritakannya, Revan sudah muncul. Panjang umur.
Aku menggeleng. Perut ini sudah terlalu kenyang untuk menyambut pagi. Semalam makan sedikit lebih banyak. Manusia berambut keriting itu pun menghilang dari pandangan. Entah enyah ke mana.
Sejak selesai bicara pada Ibu, pikiranku mulai memotong rantai yang mengikat kapal dan mulai berlabuh ke mana pun ia mau. Seleraku atas apa pun hilang begitu saja. Rahasia memang racun. Kau benci racun karena takut mati atau kesakitan, tetapi kaujuga yang meminum racun itu.
Semesta seolah mengolok-olok dengan tawanya yang paling hebat. Pekerjaanku sebagai penulis juga tidak maju-maju betul. Selain belakang kerap tertinggal tenggat waktu—proyek pribadi yang tampak menyegarkan, kamar ini berubah menjadi penjara untuk kepala. Otakku seperti kehabisan bensin.
Mungkin, Ibu benar bahwa kejenuhan bisa datang suatu waktu saat manusia menjalani harinya dengan sesuatu yang sama dan tidak berubah sekali pun dalam satuan waktu yang acak. Ibu bukan penggemar Einstein, tetapi dia pernah cerita kalau kebosanan akut yang dialaminya ketika kelas 1 SMA. Gaek—begitu aku memanggil kakek—kerap mengurungnya karena Ibu kedapatan pacaran diam-diam.
Tetapi, satu yang membuatku tidak bosan: sebenci apa pun aku terhadap manusia lain, pada akhirnya kebencian itu akan berubah menjadi kebutuhan. Siapa yang menyangka bila Revan akan menjadi teman sejurusan, dan parahnya, menjadi teman berbagi indekos?!
Rupanya panjang (lagi) umur dia. Kepalanya kembali muncul di balik kaca jendela.
"Jossu?" tanya manusia gemuk itu lagi.
Tiga tahun hidup bersamanya membuatku paham betul gerakan mulut ketika menyebut kata "Indomi", "Jossu", dan "Pinjem duit, dong". Tiga kata yang barangkali lebih sering diucapkan daripada jawaban untuk soal yang diberikan dosen Matematika Ekonomi padanya. Dia mengacungkan jari telunjuknya ke arah gagang pintu. Aku mengerti dan kemudian membukakan pintu.
"Kau masih marah dengan perlakukan Ilyana kemarin?"
Si Kembang Tahu Revan ini nyelonong masuk dan duduk di bahu kasur. Aku membalikkan kursi menghadapnya.
"Ada apa dengan dia?' jawabku ketus.
"Dia baru saja menolakmu!" seru Revan dengan mata bercahaya, seakan meledekiku serupa bocah yang baru saja kecemplung got.
"Aku tidak pernah menyatakan apa-apa. Tetapi, ya, sakit juga saat aku dapat kesempatan bicara berdua dan kemudian dia malah manggil kekasih barunya."
"Kau terlihat bodoh, dong," kata Revan, dia terkekeh. "Seperti dijebak. Mungkin dia bukan perempuan yang tepat untukmu. Lalu, apa yang kaulakukan?"
Aku melempar pisau dari mataku tepat padanya. Revan terus menceracau perihal yang ingin kulupakan. Setidaknya untuk beberapa hari. Ilyana memang pernah kusukai selama satu tahun ini, sebelum dia menolakku dengan cara kurang ajar kemarin siang di kantin kampus.
"Perempuan tidak Ilyana seorang," kataku singkat.
Manusia seringkali melupakan perasaan lawan bicara saat penasaran sudah merasuki dirinya. Mereka akan menghilangkan batas privasi dan konsumsi publik. Karena yang paling penting bagi mereka adalah melemaskan bibir dengan melontarkan ceracauannya itu. Begitulah cara ego bekerja.
Dan kini, segalanya menjadi sebuah godam yang terus menghantam kepala. Terlebih berita dari Ibu. Bagaimana mungkin aku mengakui seseorang tak dikenal sebagai bagian dari keluarga?
Ibu bilang tak peduli dengan apa pun yang kusarankan. Lalu, buat apa meneleponku untuk memberitahu perihal itu?
"Wajahmu murung begitu, ada apa?"
Revan mengawasiku yang seperti manusia kekurangan vitamin C. Aku hanya memberinya senyuman ketus, tanda bahwa dia harus berhenti bertanya.
"Ah, kau, ini! Selalu saja bungkam kalau aku mulai bertanya yang menjurus ke arah hidupmu!"
"Mengapa kau berpikir aku murung karena kehidupan?"
"Karena hal yang bikin kau murung cuman perempuan dan kehidupanmu. Dan kau sudah mengaku tentang perempuan."
"Sok politis!"
"Itulah gunanya menebak-nebak. Sampai satu titik kau akan keceplosan sendirinya."
"Jangan harap."
"Aku tidak menyuruhmu berharap."
"Diam atau kau tidak akan kupinjami uang lagi, nih?"
Revan hanya tertawa lalu ngeloyor pergi meninggalkan kamarku. Dia benar. Semuanya hancur berantakan hari ini. Rasa malas kian meninggi dan rasanya ingin menambah kehancuran kamar dengan melempar barang-barang lain. Ya, sepertinya menghancurkan barang mampu memberi kepuasan pada emosi sehingga ia akan buru-buru mereda.
Biasanya aku selalu pulang sebulan dua atau tiga kali. Tergantung tingkat kemacetan menuju stasiun di jantung kota. Tidak mudah hidup di dua lokasi. Rumah Ibu. Rumah Ayah. Kepalaku kian menggila hidup tahun demi tahun seperti itu. Memang lebih baik di indekos saja. Semakin jauh dari sumber kegelapan hidup, semakin damai terasa di dalam dada.
Tidak seperti hari ini yang sungguh menyebalkan. Bahkan semakin menenggelamkan keinginan untuk pulang.
Tuhan, sampai kapan aku harus seperti ini?
YOU ARE READING
The Story of Broken Man
General FictionTeza tidak menyangka bahwa hidupnya akan menjadi berubah utuh seusai perpisahan orang tuanya. Melahirkan sebuah kebencian pada kehidupan yang dilaluinya. Karena persetan kata orang, perpisahan itu telah membawa neraka ke hadapannya; memecah dirinya...