Bab Enam

18 1 0
                                    

Kegelapan menjadikanku monster bagi kebahagiaan yang ada. Aku menyadari setelah sekian lama tinggal di Kota Hujan dan tiada alasan yang kuat untuk mendorongku untuk selalu pulang ke rumah. Ibu selalu menanyakan jadwal pulang. Pun Ayah. Organisasi menjadi tameng untuk menunda kepulangan itu.

Atap indekos tidak hanya menjadi tempat menunggui senja, tetapi juga sebagai tempat kontemplasi. Setiap malam, masih membekas suara-suara pertengkaran Ayah dan Ibu. Itu tidak bisa hilang begitu saja, tak peduli semua orang berkata bahwa aku harus melupakannya. Bicara tidak semudah melakukan.

Dulu, aku hanya bisa berdiam diri saja menyaksikan itu. Seperti orang idiot. Melepaskan amarah dengan memendamnya. Hingga suatu waktu, kepala ini rasanya mau pecah. Persetan dengan kehidupan. Lebih baik aku kehilangan diri sendiri daripada harus merasakan kehilangan mereka. Pikiran itu kerap berkelindan, takpeduli sekeras apa usahaku menepisnya.

"Kontemplasi apa lagi?"

Revan muncul dari balik tangga. Dia membawa dua botol minuman jeruk dan melemparkannya satu padaku. Di atap ini, aku sudah menyiapkan sebuah matras dan bantal sebagai bahan kontemplasi. Ruang kecil di pojok dekat kerumunan antena ialah tempat untuk menyimpannya. Beton di atap ini sungguh spesial, mampu menangkap seluruh langit oleh mata dan membiarkan udara menampar wajah.

"Kau tahulah ...."

"Jadi, kau memikirkan perkataanku?"

Aku tidak langsung menjawabnya. Tanganku mencari botol minuman jeruk tadi dan membuka segelnya dengan memutar erat, meminumnya beberapa tegukan. Tidak semua pertanyaan harus dijawab. Tidak semua rasa penasaran harus dituntaskan. Semua orang ingin tahu masalah orang lainnya. Namun sebatas itu saja. Persetan dengan mereka. Revan kasus berbeda.

"Ibuku menelepon lagi dua kali. Tidak kuangkat. Lalu, dia mengirimiku pesan jejaring. Katanya, dia mau mengadakan makan malam dengan Gaek dan lelaki itu ...."

Revan terkejut ketika aku menyebut pasangan baru Ibu bukan dengan namanya. Tentu saja, aku pun tidak tahu siapa namanya, Ibu belum memberi tahu. Begitu besar dorongan untuk menolak kepulangan itu. Kian menggebu. Bagaimana kau bisa menerima seseorang lain ke dalam hidupmu yang telah hancur berantakan?

Menerima takdir seperti ini bukan seperti menerima raport sekolah dan mendapatkan kabar kau menjadi juara kelas. Tidak seperti itu. Penerimaan hanya akan terjadi ketika kau menyadari, bahwa ia benar-benar pantas untuk kausambut masuk ke dalam hidupmu.

Ayah dan Ibu sesungguhnya adalah sosok yang begitu menginspirasi selama ini. Cara mereka menjalani kehidupan, terlepas pertengkaran normal dari waktu ke waktu yang rasanya tidak terlalu banyak dan parah. Sampai suatu waktu, mereka mulai memudarkan kepura-puraan itu dan bertengkar keras satu sama lain. Tidak semua orang menyikapi masalah itu dengan mudah. Persetan dengan yang bicara bahwa pertengkaran seperti itu lumrah. Persetan dengan bibir kotor mereka.

Mereka mulai memunculkan pertengkaran itu hanya karena aku sudah cukup dewasa untuk melihat luka yang telah mereka pendam sekian lama. Sialnya, luka dan pendaman itu menjadi bumerang untukku. Untuk melihat bahwa kegelapan itu nyata. Untuk menyadari, bahwa telah sekian lama Ayah dan Ibu tidak saling mencintai lagi.

"Aku mungkin nggak pernah ngalamin kayak kau, Tez," kata Revan tiba. Dia menekan hidung tebalnya itu sejenak, untuk menahan pileknya. "Tetapi aku yakin, ibumu tetaplah ibumu. Ia akan selalu mencintaimu. Terlepas, sedalam apa kebencianmu."

"Aku nggak benci mereka, Rev. Aku benci pada kehidupan. Mereka hanyalah bagian dari permainan kehidupan. Dan, hei, astaga, kau tidak punya tisu atau handuk kecil untuk mengelap hidungmu?"

Revan tertawa kecil sembari menggelengkan kepala.

"Seperti apa rasanya? Tiga tahun aku nggak pernah berani nanyain ini, tetapi aku ingin paham."

Aku melenguh pelan. Masih menatapi langit yang sedikit mendung. Angin berdesau pelan. Jemariku merentang di hadapan langit, memandanginya membelah awan yang mulai menggulung keabuan di hadapan pandanganku. Andai, kebahagiaan bisa sesederhana ini, batinku. Andai, aku bisa menikmati langit hari ini dengan kehidupan lama.

"Rasanya, dunia ini telah kiamat dan kau sendiri yang selamat."

"Memangnya kau tahu seperti apa rasanya kiamat?"

Pertanyaan bodoh kembali terlontar dari Revan.

"Bukan seperti itu, idiot. Bayangkan saja, kau hidup di dunia yang sudah hancur dan cuman sendirian. Seperti itu rasanya. Ketika kau ingin marah karena cuman hidup sendirian. Ketika kau putus asa karena nggak punya siapa pun di sekitarmu, ketika kau ingin mati saja, tetapi Tuhan tidak mengizinkannya. Seperti itu. Ketika kau meringkuk sendirian menatapi rembulan. Tubuhmu ada, tetapi kosong. Bergulirnya waktu, jiwamu direnggut oleh kesepian."

Revan tampak sedikit kesulitan memahami semua itu. Kerutan di dahinya menunjukkan itu. Sahabatku itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Kepalamu panas, heh?" ledekku.

Dia tertawa malu. "Hanya paham sedikit saja."

"Intinya," kataku, "semua orang akan bicara bahwa permasalahan broken home butuh pertolongan. Tetapi, nyatanya, tidak ada yang menolong. Kau hanya sendirian."

"Tetapi, kan biasanya kalau yang memang berpisah dengan tidak baik, sang anak biasanya bakal bisa lari sepenuhnya? Ya, meskipun bukan ke hal yang baik. Cuman, kan, nggak semuanya terjerumus begitu. Aku menyarankanmu untuk pulang karena nggak ingin kau berakhir seperti mereka."

Aku diam cukup lama. Memejamkan mata. Mengingat semua kenangan-kenangan gelap di masa silam. Tiada yang baik dari kehidupan yang kuinginkan. Dan, kehidupan yang terjadi bukan yang kuinginkan. Semua itu menguap serupa asap pabrik.

"Revan, kau tahu apa yang terburuk dari perceraian bagi sang anak?"

Revan menggelengkan kepalanya.

"Ketika mereka berpisah baik-baik saja dan kau kehilangan alasan kuat untuk membencinya. Itulah kenapa aku mengutuk kehidupan, bukan Ayah dan Ibu."

"Bukankah seharusnya baik malah?"

"Sama sekali, nggak!" kataku tegas. "Semua hanya akan membuatmu benci pada hidup ini. Bila berpisah dengan nggak baik, kau tinggal pergi dan nggak pulang. Kau punya alasan untuk membenci. Sementara, bila berpisah dengan baik, kau harus hidup dengan kebencian itu tetapi nggak tahu harus membenci siapa atau apa. Itu menjadi belati paling tajam yang bisa merobek kebahagiaan. Kau ingin membenci, tetapi nggak bisa. Kau ingin bahagia, tetapi kau nggak pantas mendapatkannya. Jadi, semua hanya akan meledak di dalam dirimu."

Revan saksama mendengarkan. Dari wajahnya kutebak dia seperti tidak menyangka bahwa kehidupanku yang sebenarnya seperti ini. Selama ini dia hanya menayakan hal-hal sewajarnya atau mendengar dari cerita-ceritaku saja. Kali ini, dia mendapatkan gambaran utuhnya.

"Man, aku nggak tahu ternyata sampai sedalam itu. Kau butuh pacar."

Aku tertawa, "Buat apa?"

"Buat kebahagiaanmu, Tez! Mengisi kekosonganmu itu. Ah, aku tahu ...."

"Apa?"

"Apakah perpisahan itu bikin kau jadi enggan menjalin hubungan?"

"Aku hanya nggak bisa langsung menyatakan perasaan. Itu saja."

"Kau butuh pacar. Mutlak. Kau harus keluar dari kubangan kesuraman."

"Nanti aku akan cari Ilyana yang lain."

Apa yang Revan katakan tidak sepenuhnya salah. Ada sebagian dari diriku yang enggan membangun sebuah perasaan. Bayangan bahwa hubungan itu kelak berakhir seperti Ayah dan Ibu selalu ada. Meskipun cinta adalah sesuatu yang nyata dan kuat. Namun, bayangan-bayangan hitam itu membelengguku. Perkenalan dengan Ilyana sempat membuatku berpikir bahwa masih ada bahagia tersisa. Sampai, ternyata semua sudah terlambat dan aku tetap takbisa mengatakan yang sesungguhnya mengenai perasaan itu.

Hatiku begitu berontak, sebuah monster yang hidup di dalam tubuh ini. Sisi gelap yang mulai menelan segalanya di dalam dadaku. 

The Story of Broken ManWhere stories live. Discover now