Bab Lima

17 1 0
                                    

Semua orang telah menebak Revan akan berakhir jadi berandalan seusai menanggalkan seragam abu-abu. Nyatanya, lelaki itu berakhir dengan menyandang status sebagai mahasiswa Kampus Pertanian. Bahkan tiada yang menyangka Tuhan menuliskan sebuah kisah di lembar takdir jika dia akan jadi teman satu indekos. Seseorang yang dulu mengataiku "Pendiam Bau".

Aku yakin kauingat, karena aku telah cerita tentang itu.

Hujan sedang menderas. Tempias yang terus-menerus di kaca melabuhkan pikiran pada masa silam. Alasan terbesar aku memanggilnya "Kembang Tahu" karena dia memang menjadi berandalan amatir karena sesungguhnya hatinya rapuh. Setidaknya, setelah aku taksengaja melihatnya menangis dimarahi ibunya, aku yakin dia jadi berandalan untuk menghibur dirinya sendiri. Cair, kayak kembang tahu.

Kini, dari musuh menjadi teman. Sun Tzu benar juga. Si Kembang Tahu Revan resmi menjadi sahabat terbaikku.

***

Aku beli sebungkus kebab Turki yang dijual mamang berkepala plontos di depan pintu Berlin, pintu yang menyambungkan sisi dalam kampus dan sisi luar yang menjajakan banyak benda-benda penyambung hidup: perkakas, pakaian, dan tentu saja makanan pun minuman. Aku menikmati kebab itu di atap indekos, kaki menjuntai di udara.

Menatapi pemandangan dari atas adalah pekerjaan yang keren. Aku bisa membuang semua kesialan dari atas sini. Memandangi langit kosong dan menunggui senja. Atau, cuman sekadar membetulkan antena karena Revan kerap mengeluh bila hujan deras datang dan itu mengubah posisi antenanya. Tukang ngeluh emang dia.

Kebab Turki di depan Berlin itu memang terbaik. Revan menyukainya. Lelaki itu menyukai apa pun yang berbau daging dan anehnya membenci sayuran. Padahal kebab sangat tokcer dinikmati bila dikombinasikan dengan sayuran. Mamang kepala plontos sampai hafal ketika Revan menghampirinya.

Kehidupan itu selalu lucu. Setelah naik roller coaster yang menyebalkan, di pintu keluar, ia menempatkan Revan sebagai orang yang selalu mendengarkan. Pun cerita Revan, apa yang kulalui membuka matanya bahwa mengatai seseorang dengan sangat kotor atau hina, tidak lebih dari bentuk lain kedengkian.

"Walau aku senang memanggilmu pendiam bau, aku jadi sadar mengapa kau begitu diam," kata Revan di suatu mata kuliah yang sama.

Kami berasal dari jurusan yang beda, namun kebijakan utang sks di kampus membuat kami berkesempatan duduk di kelas yang sama. Kurva dan angka berbau ekonomi pilihanku. Maka, turun lapang mengurusi hewan ialah pilihannya. Terjebak di sisi belakang kampus, di dalam kandang-kandang yang bau. Tetapi, dia hebat di bidang itu. Memenangkan tiga lomba esai inovasi tentang peternakan.

Aku? Hanya duduk saja memikirkan sajak-sajak atau puisi. Mendengarkan musik brutal lebih sering dari sebelumnya. Musik itu mengalir melalui kabel yang julur di headset milikku. Menemani siang yang sedikit mendung ini. Aku melepas baju kaus bekas tidur semalam dan membiarkan tubuhku disirami cahaya matahari yang agak lindap ini. Sejuk, kok.

Penghuni indekos yang hanya separuhnya terisi ini sungguh tahu, bahwa lelaki yang kerap duduk di atas atap adalah aku seorang. Meskipun sisi sebalik dari indekos ini disewakan pada perempuan—keberuntungan lain di indekos ini—dan bisa saja mengundang kecurigaan perihal alasan aku selalu di atas sini, ternyata mereka bisa paham.

Tanpa bicara, tetapi tahu. Penghuni perempuan hanya dua orang dan tampak baik-baik saja. Aku bukan pencuri pakaian dalam mereka. Dan indekos ini salah satu indekos campuran paling aman. Bagaimana tidak, pemiliknya adalah perempuan pemuja uang. Apa pun dilakukan untuk memeroleh keuntungan.

Dengan tarif setara dengan indekos berfitur lengkap, indekos ini punya fitur paling minim. Itulah mengapa, ketika penghuni yang angkat kaki semakin banyak setelah wisuda, ia memilih menyewakannya pada perempuan. Ia tidak rela kehilangan seratus perak pun.

The Story of Broken ManWhere stories live. Discover now