Percakapan Sederhana Yang Biasa Saja

68 2 0
                                    

Nol tujuh, nol lima, nol empat, nol tiga, semua lampu kamar bawah dari kanan ke kiri terlihat kosong dan gelap malam ini. Nol dua, lampu kamarnya menyala, entah apa yang dilakukan oleh si penghuni kamar nol dua. Tidak ada suara, mungkin sudah tidur padahal baru pukul sembilan malam. Kamar nol satu, sunyi, lampu kamar mati.

Nol delapan, nol sembilan, sekarang saya melirik ke kamar di lantai atas. Dari kanan ke kiri, kedua kamar tersebut juga kosong, sedang ditinggalkan penghuninya. Nol delapan sedang mengunjungi keluarganya di Palu yang menjadi korban gempa dan tsunami yang terjadi sekitar tanggal 30 september atau tanggal 1 Oktober kemarin. Entahlah pastinya tanggal berapa, yang kuingat kejadian itu terjadi baru-baru saja mungkin sebelum tanggal 30 September, yang kuingat waktu itu saya sedang membawakan materi komunikasi dan negosiasi dalam sebuah kegiatan pengembangan diri yang diadakan oleh salah satu organisasi tingkat departemen di fakultasku. Nol sembilan? Entah sudah diisi oleh penghuni baru atau belum, saya tidak tahu.

Sepuluh, lampu kamarnya menyala. Tidak, bukan lampu kamar, tapi lampu wc. Beberapa saat yang lalu kudengar suara seorang wanita yang kedengarannya sudah tua. Mungkin Ibu dari penghuni kamar itu, juga terdengar suara yang lain dari atas seperti suara rekaman. Mungkin dari televisi atau film yang diputar di laptop. Entahlah, saya belum pernah melihat isi kamarnya.

Sebelas, sepertinya penghuninya ada di dalam. Mungkin suara digital yang kudengar berasal dari kamar itu. Dua belas, kosong. Tiga belas, tirai penutup pintu terbuka. Juga tirai penutup jendela tidak terpasang dengan benar. Hanya dibiarkan terselip di teralis jendela. Sepertinya kamar jongos yang dibiarkan tinggal di sini oleh pemilik kosan. Empat belas. Kosong.

Di kos-kosan ini, hanya suara dari meteran kwh listrik isi ulang yang sudah hampir habis yang membuat suasan terasa agak bising. Seperti bunyi ayam terjepit kata ibuku ketika suatu ketika menelponku dan mendengar suara-suara berisik dari meteran itu.

"Kamu pelihara ayam? Kenapa seperti ada suara ayam terjepit?" Katanya.

Ibuku jarang menelpon, maksudku benar-benar menelpon untuk berbincang-bincang tentang apa saja. Setiap Ibuku menelpon, yang ditanyakannya hanya uang saku yang sudah dikirimkan apakah masih cukup atau sudah habis, menanyakan perkembangan perkuliahanku, dan juga menanyakan apakah saya sudah makan atau belum, juga sekali-kali menanyakan apakah saya akan pulang ke rumah pekan ini atau tidak. Ya sekedar itu. Percakapan kami ditelepon tidak jauh berbeda ketika di rumah, paling lama mungkin sekitar tiga sampai lima menit. Ah tidak, lima menit mungkin sudah terlalu lama. Mungkin kurang dari itu, entahlah saya tidak pernah terlalu memperhatikan lamanya waktu yang kami habiskan lewat percakapan di telepon, tapi rasanya tidak pernah terlalu lama.

Don't get too close, it's dark inside, it's where my demons hide, it's were my demons hide~

Saya memainkan lagu lewat spotify di telepon genggam karena mulai kebosanan duduk sendirian di luar, selain itu juga banyak nyamuk jadi saya memilih masuk kembali ke kamar kosan. Kamar nol enam, yang baru saja kusemprot dengan pengusir nyamuk beberapa saat lalu. Ketika saya sudah berada di kamar, lagu Demons, Imagine Dragons itu telah selesai dan berganti ke lagu lain. Memang ketika kumainkan, lagunya sudah hampir selesai. Mungkin terakhir kali ketika kudengarkan belum selesai. Atau barangkali waktu itu jaringan internetku bermasalah hingga tidak berlanjut. Saya pun lupa kapan terakhir kali memainkan lagu di spotify. Entahlah saya tidak pernah benar-benar mendengarkannya. Lagu selanjutnya adalah karya Harry Roesli, berjudul Imagine. Lagu dari grup musik tahun 70-an asal Bandung yang dulunya populer. Setidaknya begitu katanya Milea di dalam novel Dilan yang ditulis Pidi Baiq.

Kisah yang biasa sajaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang