Part 3

596 47 1
                                    

            

      "Sudahlah mbak...Aku ingin melupakan kejadian memalukan itu. Yang penting jangan sampai akau berurusan dengannya lagi. Jangan pernah..." ucapku getir.

Beberapa hari kemudian, sebuah SMS dari nomor yang tak dikenal masuk ke hpku

Ratri, aku mau ketemu. Ada waktu?- Panji

JLEB

Kenapa lagi lelaki sombong itu? Darimana ia tahu namaku? Nomor hapeku? Pasti dari mbak Yuli! Tidakkah ia tahu kalau aku benar-benar tidak ingin berurusan dengannya lagi? Mau ketemu? Huh! Segera ku delete pesan itu dan kumatikan hpku. Lalu aku tak memikirkannya lagi hingga akhir hari.

Sejam kemudian Dian, teman satu devisi denganku memanggilku

"Ratri, ada telepon buatmu, nyasar ke nomorku extensionku, kutransfer ya...?"

"Dari sapa?" tanyaku.

"Pak Panji Devisi grafis..." Hah? Dasar nekad tu orang!

"Eh bilang aku nggak ada!". Pekikku...Namun terlambat, Dian sudah terlanjur memencet nomor extension telepon di mejaku.

"Udah telanjur kubilang ada...Angkatlah...!" kata Dian

"Nggak ah..." kataku malas.

"Angkat Tri...aku lagi banyak kerjaan, ntar dia telpon kesini terus pikirnya aku nggak nyambungin. Cepat angkat Tri!", paksa Dian. Akhirnya dengan ogah aku mengangkat teleponku.

"Halo..."

"Ratri?" Suara berat di seberang sana. Aku tak menjawab. Kulihat Dewi dan Isna yang duduk di seberangku menatapku.

"Hayooo...ada apa sama bos ganteng itu?...kalau nggak mau buat aku aja lah.." goda Isna. Aku hanya mengerucutkan bibirku.

"Ratri?" kembali suara Panji memanggilku.

"Iya. Ada perlu apa?" kataku gusar.

"Duh? Ngganggu ya?"

"Iya" jawabku singkat. Sejenak Panji diam. Lalu terdengar helaan napas.

"Kamu sudah baca SMSku?"

"Sudah"

"Kenapa hapmu lalu mati? Susah kuhubungi..."

"Abis batre..." kataku sekenanya.

"Oh gitu?Baiklah. Nanti pulang sama aku ya...Ada yang mau kubicarakan.."

"Nggak aku biasa pulang sama Pak Wanto, mobil jemputan"

"Oke..nanti kutelepon Pak wanto supaya tidak menunggumu..."

"Tapi aku..."

KLEK

Sialan. Telepon ditutup. Aku tak bisa berkilah lagi. Kubanting gagang teleponku. Dewi dan Isna menatapku terkejut.

"Kenapa Tri? Lagi berantem ya? Hihi nggak papa wajarlah namanya pacaran bisa aja begitu..."

"Siapa yang pacaran? Kenal aja nggak!" sambarku emosi. Isna membelalakkan matanya.

"Hah? Nggak kenal? Kok dia telepon kamu?"

"Nggak tahu! Sarap kali!Anak Setan!!" ujarku sambil kembali mengurusi laporan yang sedang kubuat. Isna dan dewi masih nampak bingung. Rasanya memang aneh, kalau nggak kenal kok sampai ngejar-ngejar lewat telepon gitu...tapi nggak tahulah... aku malas sekali memikirkannya. Kembali aku larut dalam pekerjaanku hingga akhir hari.

Sesaat sebelum keluar kantor aku sempat membuka hapeku. Tampak ada enam belas missed call dari nomor yang sama.Nomor Panji. Juga ada beberapa SMS dari lelaki itu.

Ratri...jawab dong

Dek, kok nggak bisa ditelpon?

Aku tahu kamu marah padaku. Yuli sudah cerita semua. Juga tentang kebencianmu padaku. Aku ingin ketemu untuk minta maaf.

Tri...I'm so sorry...

Rupanya lelaki itu berkali-kali berusaha menghubungiku. Aku tersenyum getir. Rasain...emang enak dicuekin? Gimana rasanya kalau diperlakukan kayak dia memperlakukanku dulu? Huh!

Dan rupanya lelaki itu tidak menyerah. Ia menghadang jalanku menuju lorong ke arah lift. Ia tetap tampak tampan dan gagah, yang berbeda hanya sorot matanya yang tidak lagi mengesankan kesombongan, namun tampak lebih lembut dan... sepertinya ada nada penyesalan disana.

Aku berhenti melangkah. Kutatap matanya dengan tidak ramah. Namun ia membalas tatapanku dengan sangat lembut. Sesaat aku merasa jengah. Aneh... kenapa aku merasa agak tersanjung? Huh! Gila!

"Ratri..." bisiknya sambil tersenyum. Aku tak membalas. Entah kenapa aku mlah sibuk berusaha menutupi perasaanku yang tiba-tiba sangat canggung. Ia lalu mengeluarkan hp dari sakunya dan memencet sebuah nomor. Matanya tak beralih dariku. Aku menoleh ke arah lain. Tak sanggup aku membalas tatapannya yang teduh itu.

"Iya Pak, Ini Panji...mau bilang kalau Ratri hari ini tidak ikut mobil jemputan. Dia ikut aku. Oke... makasih..." katanya di hpnya. Aku tersentak. Segera kutolehkan lagi kepalaku ke arahnya. Mataku serasa mau keluar saat melotot padanya. Ia tetap saja memandangku dengan senyum kemenangan di bibirnya.

Terus terang wajahnya sangat mempesona saat tersenyum seperti itu. Jantung agak berdegup lebih cepat dari biasanya saat itu. Namun segera aku ingat bahwa aku ingin memprotes kelakuannya.

"Lho? Siapa bilang aku mau ikut kamu?" tanpa sadar aku langsung ber aku kamu pada lelaki yang seharusnya kuhormati karena jabatannya itu. Namun Panji tampaknya tidak mempedulikan itu. Ia malah mendekat dan menarik tas besar yang kutenteng di tangan kananku.

"Aku yang bilang. Lagi pula aku tidak ingn melihatmu keberatan menenteng tas sebesar ini sambil menunggu Pak Wanto yang masih mau datang setengah jam lagi."

"Aku nggak keberatan!" Aku kembali menarik tas besarku. Tas itu berisi naskah-naskah editan yang akan kuselesaikan di rumah.

"Itulah makanya. Kamu nggak keberatan aku antar kan?" Panji malah mengerling nakal. Aku mengatupkan bibir gemas.

"Maksudku aku nggak keberatan bawa tasku sendiri! Dan aku nggak mau ikut mobilmu!" bentakku lagi. Tapi Panji sama sekali tidak terpengaruh. Ia tetap menarik tasku hingga tubuhku ikut tertarik ke arahnya. Dan tak sadar aku malah terjatuh tepat di dadanya. Beberapa detik aku baru sadar kalau tangan kekar Panji dengan sigap menangkap tubuh mungilku. Saat kudongakkan kepalaku, Wajah Panji benar-benar dekat denganku. Tiba-tiba aku merasa sesak napas. Panji menatapku dalam-dalam. Suara napasnya sangat jelas terdengar. Entah berapa lama kami berada dalam posisi seperti itu. Yang kutahu, aku juga mendengar degub jantung Panji yang sangat cepat. Setelah sadar, aku segera melepaskan diri dari pelukannya. Aku beringsut mundur sambil tertunduk malu. Panji pun segera tersadar dan meraih tas besarku yang akhirnya terlepas dari tangan kami berdua.

"Mobilku di sana, ayolah jangan menolakku lagi. Please..." Suara Panji terdengar memohon. Dan bagai kerbau tercocok hidung, aku pun menuruti kemauannya. Aku heran kemana kekeras kepalaanku tadi? Duh...

"Sesampai di mobil, Panji membukakan pintu untukku. Sesaat sebelum ia menstarter mobilnya. Ia menoleh ke arahku. Aku pura-pura tidak tahu dengan melayangkan pandanganku ke arah luar. Namun karena kurasa lama ia tidak segera menstarter mobilnya, aku pun menoleh ke arahnya. Dan Jleb! Mata itu... Duh.. lembut sekali membelai diriku. Apakah itu? Aku serasa menemukan telaga di kedalaman matanya. Panii pun tersenyum. Aku membalasnya sedikit. Tubuhku serasa bergetar. Aku tak tahan membalas tatapannya itu.

***

TBC

Jan lupa tekan bintang 🌟 dan komen ✉ yaaaa😘

Luv u all 😘

Nana 👑

Hate For Love[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang