6_BELAS

8.7K 868 71
                                    

Hahahahaha, paling seru memang bikin kalian komplain sama part sebelumnya hanya karena kata 'TAMAT' wkekekekek. Belum lah, enak aja.

Aku belum bikin si William di caci maki sama Laras, juga belum nelanjangain si Emillia. Harus tamat aja gitu/ plak. Biar kalian baper aja. Biar kalian yang suka baperin aku tau rasanya di baperin tuh nggak enak/ plak.

Happy Reading 💋

____________________

Nara tersentak dengan kalimatnya sendiri. Apa pria itu baru saja meng claime Laras sebagai calon istrinya? Gadis itu? Gadis yang baru saja mengaku bahwa dirinya di hamili oleh pria beristri? Gadis yang selalu dirinya dapati basah kuyup disetiap pertemuan mereka? Sungguh? Ia tidak sedang bercanda kan? Sulit di percaya!!

Mungkinkah Nara hanya kasihan?

Serius?

Nara yang biasanya tidak terlalu peduli dengan urusan orang lain kini berubah menjadi pahlawan kesiangan hanya karena kasihan?

Ingin rasanya Nara menggigit lidahnya sendiri karena baru saja mengucapkan kata sakral yang namanya menikah, sialan! Padahal selama ini hidup sendiri jauh lebih bebas dan menyenangkan. Lalu kenapa sekarang ia mau repot-repot menanggung wanita yang bahkan menderita bukan karena ulahnya? Tapi karena pria lain yang brengseknya telah beristri.

Ia iba, dirinya iba sialan! Dirinya kasihan pada gadis malang ini. Terlepas betapa murahannya dia karena jatuh dalam perangkap cinta yang menjijikkan. Sejujurnya Nara bisa melihat kalau Laras hanya tersesat. Dan Nara siap menjadi penuntun jalan yang baik untuk gadis itu.

Tapi untuk apa?

Itu juga yang sedang Nara tanyakan pada hatinya. Itu juga yang sedang Nara pikirkan saat ini. Kasihan atau iba saja harusnya tak cukup. Bagaimana dengan peduli? Mungkin peduli adalah kata yang pas untuk menggambarkan maksudnya dari mengclaime Laras sebagai calon istrinya.

Tapi kenapa ia harus peduli?

Persetan bodoh!!! Persetan pikiran yang berkecamuk.

"Kenapa?" suara lirih itu menyentak Nara, ia segera mendongak dan mndapati Laras sendirian. Kemana perginya dokter tadi? Apakah Nara terlalu larut dengan pikirannya hingga tidak menyadari pria baya itu pergi?

"Kenapa?" ulang Laras.

"Apanya yang kenapa?"

"Kenapa kamu mengambil keputusan itu? Keputusan itu harusnya bukan kau yang ambil. Ini anakku, ini janinku. Hanya aku yang berhak atasnya, mempertahankannya atau tidak" meski Nara menangkap nada tak yakin dari setiap kata yang terucap oleh Laras. Tapi pria itu enggan menyela dan tetap menunggu sampai gadis itu selesai bicara "aku ingin mempertahankannya. Setidaknya hanya dia yang tersisa dari pria itu."

Nara mendengus "mencintai tidak lantaran menjadikan seseorang berubah bodoh," tutur Nara dingin "jika kau mempertahankan bayi itu. Lantas apa? Membuatmu kesakitan dari hari kehari? Membuatmu memiliki harapan kosong karena pada akhirnya bayi itu tidak akan mampu bertahan? Lalu kau akan menyakiti dirimu sendiri dan dia?" lalu Nara mencebik "jangan korbankan dia yang masih segumpal darah dan membuatnya semakin menderita karena bertahan demi keegoisan ibunya sendiri"

Laras tersentak, ya... Nara bisa melihatnya. Tapi gadis itu menunduk dalam, seolah apa yang di katakan Nara tepat adanya, kemudian Nara menarik napas dalam sebelum menghembuskannya. Ia menarik kursi lalu mengambil duduk di dekat Laras. Di remasnya tangan gadis itu.

"Aku tau kau mencintai pria brengsek ayah bayi itu, cintamu tak salah. Tapi tempatnya yang seharusnya kau ganti. Jangan siakan hidupmu untuk sesuatu yang akan melukai perasaanmu sendiri. Ingat, kau masih muda. Hidup harus terus berlanjut sedangkan kau masih disini dan terpuruk." Nara nampak berpikir keras "aku tak tau alasan apa yang di gunakan pria itu untuk menjeratmu. Tapi percayalah padaku. Mungkin saat ini ia tengah bahagia dengan keluarganya tanpa tau kau disini berbaring di ranjang pesakitan karena ulahnya"

LarasatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang