8_belas

8.2K 865 45
                                    

Sudah seminggu lebih aku tinggal dirumah Nara,  keadaanku?  Sudah berangsur membaik pun hatiku yang harus menerima kenyataan kalau sesuatu yang ada di rahimku,  darah daging William. Telah tiada.

Ah,  William lagi. Percaya atau tidak. Pria itu bahkan masih mengisi setiap rongga di kepala pun juga hatiku. Bagaimana pria itu menatap pucat padaku di rumah sakit tempo hari itu,  atau aku berharap ia mengejar ku atau lebih keras meneriakkan namaku alih-alih pasrah saja waktu istrinya menyeret dia kembali masuk ke rumah sakit. Astaga!!  Aku masih merekam dengan jelas semua dan setiap detailnya.

Hanya Nara dan Tuhanlah yang tau betapa rapuhnya aku waktu itu. Menatap nanar pada punggung William yang menjauh.

Jika bukan karena remasan lembut di tanganku,  mungkin aku tidak akan sadar dari keterpakuanku.

Harusnya aku membenci pria itu kan?  Harusnya aku tidak lagi memikirkan William. Tapi hati ini
... Apa boleh buat,  cinta tidak bisa di paksakan juga tidak bisa memilih bukan?

Jika aku bisa memilih,  sudah pasti aku ingin jatuh cinta pada Nara saja. Pria baik hati yang bersedia menampungku, memberiku tempat makan dengan gratis, memberi tempat yang nyaman dengan gratis pula. Kurang baik apa coba?

Kembali lagi,  cinta tak bisa di paksa'kan! 

"Kamu sudah tidak terlihat pucat lagi," komentar Nara "sudah berseri tidak seperti minggu kemari, " senyum tulus tercetak di bibir pria itu.

Ah...  Memang benar. Vitamin-vitamin itu memang sangat membantu,  mampu memulihkan kondisiku dengan cepat. Andai saja ada vitamin yang mampu menyembuhkan luka hati,  sudah pasti aku bersedia membelinya meski mahal.

Dan jika Nara mendengar,  pria itu pasti akan berkelakar jadilah kekasihku,  maka kau akan sembuh dari luka hatimu.

Dih,  pria mana yang mau menjadikan gadis bekas seperti ku dan jika pun ada,  pasti akan menjadiku sebagai penghangat ranjang mereka,  kecuali Nara. Ia sangat menghormati ku.

"Apakah itu artinya aku sudah bisa bekerja di cafemu?"

"Belum"

Aku merengut,  astaga!  Itu jawaban yang ia berikan sejak dua hari lalu padahal aku sudah sangat baik "tapi kenapa?  Bukankah aku sudah lebih dari kata baik?"

Nara menggeleng lagi "tidak dengan hatimu. Aku tidak ingin kau membakar dapurku ketika suasana hatimu masih seperti sekarang,  sembuhkan dulu yang satu itu baru kau akan bekerja denganku,"

Benar-benar tidak masuk akal,  bagaimana bisa aku menyembuhkan luka hatiku jika ia terus mengurungku di rumah, aku butuh pengalihan! 

"Kau tidak bisa menilai ku begitu saja,  jika aku bisa membedakan mana masalah pribadi dan pekerjaan. Seharusnya itu tidak masalah"

Lalu Nara mendengus "sebelum mengatakan itu,  seharusnya kau mengingat apa yang kau lakukan empat hari lalu"

Mengingat kata itu,  aku langsung meringis. Aku hampir saja menghanguskan omelet Nara karena melamun "kalau begitu jangan taruh aku di dapur. aku bisa menjadi pramusaji," belaku pada diriku sendiri.

Nara lagi-lagi mendengus "lalu ingat apa yang terjadi dua hari lalu," Nara mengangkat tangannya "maaf saja nona,  aku tidak mau menanggung resiko cafeku bangkrut karena banyak ulasan yang buruk tersebar di sosial media. Sangat tidak lucu jika para pelanggan ku menulis 'pramusaji yang mengisi air minum hingga penuh dan luber' itu akan sangat mempermalukan ku"

Aku meringis lagi,  ucapan Nara 1000X tepat sasaran. Kepalaku langsung berlari pada sarapan dua hari lalu,  ketika mengisi air minum untuk Nara hingga penuh dan tumpah membasahi baju kerjanya.

LarasatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang