Sore itu disekolah

27 11 6
                                    

☆☆☆

Saat keadaan sudah mulai sepi, ia datang membukakan pintu dan menarikku ke sini. Aku sudah mencoba melarikan diri beberapa kali, namun cengkramannya pada pergelangan tanganku begitu kuat. Aku masih tidak mengerti apa yang diinginkan Tirta dariku. Aku kira perkataanku sore itu sudah jelas. Aku tidak ingin menjadi perusak hubungan orang. Aku tidak ingin menyakiti perasaan perempuan lain. Tidak peduli sekuat apapun perasaanku pada Tirta.

Jika ia juga menyimpan perasaan padaku, seharusnya ia lebih jantan. Lelaki sejati tidak mencari perempuan lain terlebih dahulu, baru mengakhiri hubungannya. Namun sebaliknya. Aku hanya terlalu berharap Tirta menjadi sosok yang persis seperti aku bayangkan. Kenyataannya, ia memilih bertahan dengan perempuan itu, menawarkan posisi kedua untukku di dalam hatinya.

"Kenapa harus pake acara tarik-tarik gini sih?" aku berdesis kesal. Aku tatap tajam matanya yang gelap itu.

"Kalau nggak begini, aku nggak akan pernah bisa bicara sama kamu." Tirta masih enggan melepaskan tanganku. Mungkin ia takut aku akan kabur lagi.

"Kamu mau bicara apa?"

"Bicara tentang kita."

"Nggak ada apa-apa tentang kita yang perlu dibicarain."

"Ada."

"Apa?!" Aku mulai emosi. Langit hampir gelap dan aku takut hujan akan turun lagi.

"Aku mau kamu jadi pacar aku," katanya tegas. Aku menggeleng keras dan berusaha menarik tanganku dari genggamannya.

"Menurut aku semuanya udah jelas sore itu."

"Sama sekali belum. Tolong dengerin aku dulu, Tisha." Aku berhasil menarik tanganku dan segera berbalik, siap untuk lari.

"Tunggu!" Tirta memelukku dari belakang. Tangannya mengepung badanku dan kepalanya menyandar pada bahuku. "Aku mohon, dengar dulu," bisiknya tepat di telingaku, seketika membuatku merinding.

"Apa?"

"Aku cinta kamu, Tisha. Sangat."

"Tirta..."

"Aku sama dia udah berakhir," katanya lagi. Aku memejamkan mata, menikmati angin sepoi yang menerbangkan rambutku. Ada sedikit perasaan lega saat mendengar Tirta mengatakannya.

"Orang-orang akan ngecap aku sebagai perempuan perebut pacar orang," ujarku lirih.

"Apa kamu perempuan seperti itu?" tanyanya. Aku menggeleng pelan.

"Kalau begitu jangan dengarkan mereka. Yang penting, aku dan sahabat-sahabat kamu tau kalau itu nggak benar. Karena kami yang kenal kamu seperti apa." Aku mengangguk dan Tirta memutar tubuhku menghadap padanya.

"Kapan kalian putus?" tanyaku.

"Sore itu, setelah kita bicara." Tangan Tirta mengelus wajahku lembut, aku tidak tahan untuk tidak tersenyum.

"Aku memilih kamu, Tisha. Cuma kamu." Hujan turun menyertai kebahagiaan kami sore itu.

Ternyata Tirta melebihi harapanku. Sudah 6 bulan kami bersama dan aku merasa sangat bahagia. Seolah hidupku yang dulu hanyalah kanvas putih bersih, kini telah diisi lukisan indah berwarna-warni dan Tirta lah yang melukisnya.

.

"Kamu pulang bareng Tirta?" Liana menemaniku di depan kelas yang mulai sunyi.

"Nggak tau. Dia ditelepon nggak nyambung." Aku melirik jam tanganku sekali lagi. "Kamu duluan aja Lian. Kalau Tirta nggak datang juga nanti aku coba ke kelas dia."

Aku memutuskan untuk melihat Tirta di kelasnya yang ada di lantai tiga, satu lantai di atas kelasku. Kelas Tirta sudah kosong. Tidak biasanya Tirta pulang duluan tanpa memberitahuku.

"Tisha!" Fajar, sahabat Tirta berlari ke arahku dari ruang OSIS.

"Tirta mana?"

"Tadi dia buru-buru pulang. Aku disuruh kasih tau kamu. Sorry telat." Aku mengangguk dan turun ke kelasku untuk mengambil tas.

"Tisha, bisa bantuin aku kerjain tugas kimia nggak?" Jihan ternyata masih ada di kelas, sedang fokus dengan tugas kimia yang baru saja diberikan guru kami tadi pagi.

"Boleh."

Kami berkutat dengan tugas kimia selama beberapa jam. Tidak terasa hari sudah hampir pukul 4 sore.

"Makasih ya Tisha." Aku mengangguk dan tersenyum. Tugasku pun juga selesai karena membantu Jihan.
Jihan turun duluan karena orangtuanya sudah menunggu di depan gerbang. Aku membawa cukup banyak buku karena ada banyak tugas yang masih harus diselesaikan. Perlahan aku turun dari tangga dan mendengar langkah terburu-buru di depanku.

"Dia di mana?"

"Lapangan basket, seperti biasa."

"Thanks." Itu suara Tirta dan Fajar.

Aku menghentikan langkahku, menunggu hingga mereka menjauh sehingga tidak menyadari kehadiranku. Bukannya tadi Fajar sendiri yang mengatakan kalau Tirta sudah pulang?

Aku tahu tidak seharusnya aku melakukan ini. Tapi demi mengobati rasa penasaranku, aku berjalan pelan ke arah lapangan basket yang ada di belakang sekolah. Sepertinya Tirta berjalan ke arah sana. Dan benar aku melihat Tirta. Dia berdiri di sana, di tengah lapangan basket, saling berhadapan dengan seorang perempuan. Aku mengenal perempuan itu. Dia Friska, adik kelas kami.

"Friska, dengar kakak dulu." Tirta menggenggam tangan gadis itu. Aku berjalan semakin dekat agar bisa mendengar apa yang terjadi dengan lebih jelas. Aku bersembunyi di balik pohon kayu putih yang tepat berada di belakang ring.

"Friska udah sms kakak alasannya kenapa. Apa kurang jelas?" Nada gadis itu seperti merajuk dan aku muak mendengarnya.

"Kakak mau kamu jadi pacar kakak!" tegas Tirta, setegas saat dia mengatakannya padaku sore itu. Aku nyaris teriak kalau saja aku tidak segera menutup mulutku dengan tanganku sendiri.

"Tapi Kakak itu pacarnya Kak Tisha. Aku nggak mau dianggap sebagai perebut pacar orang."

"Kakak akan putusin kak Tisha." Kakiku sudah tidak sanggup lagi berdiri.

"Kapan?" suara Friska terdengar menantang.

"Sore ini juga."

"Janji?"

"Janji." Entah kenapa aku masih sanggup melihat ke arah mereka. Melihat Tirta menarik Friska dalam dekapannya dan mengecup puncak kepala gadis itu. "Kakak pilih kamu, cuma kamu." Pandanganku sudah kabur karena air yang mengenag di pelupuknya.

Aku tidak percaya dengan apa yang baru saja aku saksikan. Sesakit inikah apa yang dirasakan mantan pacar Tirta dulu, saat aku merebut pacarnya? Aku akui, aku sudah merebut pacar orang lain karena saat ini rasanya seperti perempuan itu merebut Tirta dariku. Aku mendapatkan balasan yang setimpal.

Mungkin saat Tirta menyatakan cinta padaku sore itu, hubungan dia dengan pacarnya sedang baik-baik saja, seperti kami saat ini. Dan tanpa sebab yang jelas, Tirta mengakhiri hubungannya dengan perempuan itu dan aku justru merasa lega.

Sore itu, di sekolah, aku memulai hubunganku dengan Tirta. Sore ini, di sekolah, aku melihat Tirta baru saja mengakhirinya. Kalau saja sore itu aku benar-benar memikirkan perasaan perempuan lain, mungkin aku tidak akan merasakan hal ini.

Kalau saja sore itu aku berpikir jika Tirta rela meninggalkan pacarnya demi aku, kenapa dia juga tidak rela meninggalkan aku demi perempuan lain?

Aku menyesali kejadian sore itu sama besarnya dengan kejadian sore ini.

The End.


Salam hangat, Sampai jumpa!

© 2018, adshilf.

Short Story - Cerita PendekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang