Mata cokelat Ailsa yang bulat terpejam. Tidak bisa dimungkiri bahwa jantungnya berdentum hebat. Bahkan rasanya Ailsa bisa mendengar suaranya, yang seperti sedang disiarkan di speaker sekolah. Dengan napas yang sudah tidak keruan, gadis itu dengan impulsif memantapkan dirinya untuk menyudahi segalanya. Hidupnya.
"Nah, ini dia nih yang pengin gue lihat secara langsung!"
Dan tiba-tiba suara menyebalkan itu hadir, membuat mata Ailsa lantas membelalak. Dentum jantungnya semakin menjadi. Gegas, gadis itu turun dari kursi yang sedang dinaikinya, ia melangkah dengan kecepatan semampunya ke arah berlawanan dari sumber suara. Tak lupa, ia meraih ranselnya yang tergeletak di lantai koridor lantai tiga gedung.
"Loh, Ilsa kok enggak jadi bunuh dirinya? Gue kan mau menyaksikan dengan senang hati!" ujar suara yang sama dengan lebih lantang sebab Ailsa kini berlari menjauh darinya. "Woi, tungguin! Jangan pindah lokasi!"
Suara tersebut sebisa mungkin Ailsa singkirkan dari telinganya. Gadis itu mempercepat langkah, apalagi ketika ia sadar bahwa laki-laki yang berteriak itu, kini mengekorinya. Kemudian entah atas perintah siapa, air matanya rebas. Berulang-ulang Ailsa berusaha menutupinya sambil terus mempercepat langkah, meski hasilnya nihil.
Laki-laki itu jauh lebih besar-besar langkahnya.
"Ilsa, kenapa enggak jadi bunuh dirinya?" tanya laki-laki dengan badge nama Adhyaksa itu sambil masih terus menyetarakan langkah dengan Ailsa. "Gue bisa jadi saksi yang nantinya bercerita ke media, loh. Dan pastinya kesaksian gue ini valid, ya. Karena gue emang tau betul alasan bodoh lo buat bunuh diri."
Tidak ada jawaban apapun dari gadis yang diolok-olok. Tangisnya justru semakin menjadi. Tapi ketika pada akhirnya Adhyaksa sukses mengejar dan bisa menghadang langkahnya, Ailsa memekik, "Berisik!"
Dan, Adhyaksa terbelalak melihat Ailsa yang kini menangis di hadapannya. Dilihatnya pipi Ailsa yang memerah sempurna. Laki-laki itu dengan polos mengajukan pertanyaan, "Kok nangis?"
Kini, hanya ada kemarahan yang Ailsa tampilkan di wajahnya. Sedetik kemudian gadis itu menitikkan air matanya lagi, dan memutuskan untuk melangkah lagi, meninggalkan Adhyaksa. Tapi Adhyaksa tetap mengikutinya.
"Enggak usah ngikutin gue, Dhy!" hardik Ailsa yang pada akhirnya naik pitam. Langkahnya terhenti lagi. Air matanya tidak sanggup lagi Ailsa tampung. Semuanya jatuh, seiring dengan dadanya terasa begitu sesak dalam hitungan detik. "Gue enggak pernah butuh lo!"
Sebelah alis Adhyaksa terangkat. Tapi kemudian senyumnya mengembang. "Belum, kali. Bukannya enggak butuh," katanya. "Ayo, gue anterin pulang."
Seketika Ailsa berhenti mengusap air matanya. Gadis itu memandang Adhyaksa yang berdiri menghadang langkahnya. Manusia paling menyebalkan seantero jagat ini tidak berkutik dari posisinya berdiri. Yang lebih membuat heran adalah, Ailsa sepertinya salah dengar. Ia tidak tahu Adhyaksa bisa bicara selembut itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kalau Adhyaksa Tidak Ada (SUDAH TERBIT)
Teen Fiction[WattysID 2019 Winner: New Adult] Alam memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Ailsa yang sudah berumur empat tahun. Katanya, hubungan mereka sudah tidak sehat. Katanya lagi, Alam sudah memikirkannya baik-baik, dan keputusan paling tepat adal...