|| bab 03 ||

8K 1K 40
                                    

"Kok masih hidup?"

Itu adalah pertanyaan paling pertama yang Ailsa dapatkan sejak detik pertama kehadirannya di dalam kelas. Meskipun tanpa mengangkat kepalanya Ailsa sudah tahu siapa yang bertanya, gadis itu tetap mengangkat kepalanya yang terbaring di atas meja.

Adhyaksa lagi, tentu saja. Laki-laki itu tidak memberikan ekspresi apapun. Datar saja. Seolah-olah pertanyaannya tidak termasuk dalam jajaran pertanyaan aneh yang pernah ada di dunia.

"Karena Tuhan masih menyelamatkan gue semalam," jawab Ailsa tah acuh. "Fortunately, cuma luka dan masih bisa gue atasi dengan perban. Dan beberapa plester kecil."

Sebelah alis Adhyaksa terangkat. Wajahnya maju beberapa sentimeter. Lalu tawanya terdengar menggelegar di seluruh sudut ruangan. "Fortunately? Apa untungnya? Tujuan lo kan bunuh diri. Di saat lo udah mencoba melakukannya dan itu enggak berhasil, berarti lo gagal, dong?"

Ailsa tak memberikan respons apapun lagi selain tatapan sinis kepada Adhyaksa. Kepalanya kembali terbaring, matanya memejam sekali lagi. Dan samar-samar, Ailsa bisa mendengar langkah kaki Adhyaksa menuju ke kursinya sendiri, tepat di belakang kursi yang Ailsa tempati.

Kiranya setengah jam setelah Adhyaksa punya pertanyaan itu untuk Ailsa, keduanya kini kembali harus saling berhadapan karena Pak Budi, guru geografi kelasnya, memberikan tugas berkelompok menurut absen, kemudian pergi lagi karena ada urusan yang mengharuskan beliau untuk mangkir pada jam pelajaran hari ini.

Dan beginilah jadinya kalau harus berkelompok sesuai dengan urutan absen. Sudah dipastikan Ailsa akan berada di kelompok pertama bersama Adhyaksa dan Alam sekaligus. Ailsa memang selalu menyukai susunan kelompok begini karena ada Alam, meskipun di sisi lain ia benar-benar tidak menyukainya karena ada Adhyaksa, yang meskipun sangat pintar, tapi sangat menyebalkan.

Tapi tentu saja kali ini berbeda.

Teman satu kelompoknya lagi, Aidil, tidak masuk hari ini. Dan itu membuat meja mereka bertiga benar-benar hening. Meskipun materi yang harus mereka kerjakan sudah jelas mereka dapatkan, tapi tidak ada diskusi yang berjalan layaknya kelompok-kelompok lain.

Adhyaksa sibuk mengerjakan sendiri tugasnya, Alam sibuk sendiri dengan ponselnya, sementara Ailsa sibuk bolak-balik memandangi keduanya. Ailsa berdesah dengan berat. "Dhy, gue boleh bantu, enggak?" tanya Ailsa pada akhirnya, membuat Alam berhenti cekikikan bersama ponselnya, dan membuat Adhyaksa berhenti menulis sejenak. "Apa aja. Nyatet, nyari materi, atau apapun."

"Enggak usah, ini gampang. Gue lebih nyaman kerjain ini sendirian," balas Adhyaksa sambil memandang balik teman kecilnya—yang sebenarnya entah bisa disebut teman atau tidak. "Mending lo ke UKS aja sana. Gue enggak mau lihat bercak darah di seragam lo itu makin banyak."

Ailsa mendelik. Gadis itu langsung melihat ke seragam berlengan panjang yang dikenakannya. Tapi Adhyaksa berbohong. Tidak ada sama sekali bercak darah seperti yang dikatakannya. Seragamnya masih putih bersih. Alhasil Ailsa menjitak laki-laki yang duduk di hadapannya. Tidak kena, dan Adhyaksa justru menjulurkan lidahnya meledek.

"Panik, ya?" Adhyaksa semakin mencemooh. Kini tawanya pecah. "Makanya enggak usah aneh-aneh deh lo, Ilsa. Udah banyak tingkah, enggak totalitas lagi. Masa mau bu—"

"Dhy!" pekik Alam, menginterupsi cemoohan Adhyaksa. "Udah gila ya lo?!" tukasnya cepat. "Apa-apaan sih lo bilang begitu."

Namun, bukannya merasa bersalah, Adhyaksa justru menampilkan tatapan tidak suka kepada Alam. "Bukan gue yang gila. Mantan lo nih. Udah bego, gila juga," balasnya tanpa berpikir panjang. "Pantesan Alam minta putus. Mana mau dia sama cewek sebego elo, Ilsa," lanjutnya seraya memperlihatkan tatapan mencemooh lagi kepada Ailsa.

Kalau Adhyaksa Tidak Ada (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang