Hidung dan mata memerah sisa tangis masih menghias wajah Ailsa. Matanya yang bulat pun masih terus-menerus meneteskan air. Bibirnya sedari tadi mengerucut. Suaranya terisak-isak. Sudah hampir satu jam Ailsa duduk berhadapan dengan Alam di dalam kelas yang kosong. Kegiatan belajar mengajar sudah usai, tapi mereka yang belum.
Obrolan masih berjalan sejak tadi. Ailsa tetap menggenggam tangan Alam dengan begitu erat. "Lam, aku janji bakal lakuin apapun," tutur Ailsa dengan sedu-sedan yang belum usai juga. "Kasih aku satu kesempatan. Aku janji enggak akan kayak gini lagi."
Desah berat terdengar lagi untuk kesekian kalinya dari Alam. Sejujurnya Alam tidak tega melihat Ailsa menangis tersedu-sedu begini. Tapi Alam jauh lebih tidak tega jika Ailsa harus menyakiti dirinya sendiri lagi di kemudian hari. "Sori, Sa, gue enggak bisa," bantahnya.
Sukses besar Alam membuat air mata Ailsa kembali rebas sejadi-jadinya. Wajah gadis itu makin masam. Bibirnya kian mengerucut. Dan, di tengah isak tangisnya ia masih saja memohon, "Lam, please. Aku sayang kamu ... banget. Please. Ini bukan hubungan dua bulan yang gampang kamu lepas gitu aja."
Pelan, Alam melepaskan cengkeraman tangan Ailsa. Segaris senyum terbit di wajahnya. "Sa, gue udah pikirin ini jauh-jauh hari," ungkapnya. "Gue bener-bener minta maaf sama lo, tapi enggak bisa. Ini demi kebaikan kita berdua, Sa. Gue enggak mau lo terus-terusan nyakitin diri lo sendiri."
Sepertinya tidak ada yang bisa lagi Ailsa keluarkan dari mulutnya. Karut-marut sekali perasaannya. Tangisnya semakin deras ketika mendengar pengakuan Alam. Pertanyaan demi pertanyaan timbul di benaknya. Kenapa Alam tega sekali sudah merencanakan akhir dari hubungan mereka? Bahkan setelah empat tahun bersama, Alam masih bisa berpikir kalau mereka kandas.
"Aku seneng sama kamu, Lam. Seneeeng banget. Rasanya kayak ... aku enggak pernah dapat kebahagiaan sebegini besarnya, Lam," aku Ailsa sambil berulang-ulang menyeka air matanya sendiri yang tiada henti-hentinya mengalir. "Aku sampai sekarang cuma punya kamu, Lam. Aku enggak punya siapa-siapa selain kamu."
Sekilas timbul perasaan tidak tega di hati Alam. Ia dihadapkan dengan gadis yang pernah sangat dicintainya ini sebegitu putus asanya. Tapi Alam sudah membulatkan keputusan. Tidak bisa. Ia harus melepaskan Ailsa dengan alasan sebab ia sangat menyayanginya. Alam ingin melihat Ailsa berhenti mencelakai dirinya sendiri.
"Sa, gue sayang kok sama lo. Itulah kenapa gue enggak mau lihat perempuan yang gue sayang ini sakit. Gue enggak mau lo celakain diri lo sendiri, gue enggak mau lihat lo sedih terus karena gue," ucap Alam.
Ailsa kali ini diam, tapi tangisnya berlanjut. Ingin ia mengutarakan segalanya, ingin mencaci-maki mantan pacarnya yang satu ini, tapi sayangnya tidak bisa. Ailsa tidak sanggup lagi menyuarakan kata-katanya. Suaranya tidak mau keluar.
"Udah, ya. Kita masih bisa temenan kayak dulu, Sa. Lo masih bakal jadi temen baik gue. lo masih boleh curhat apapun sama gue. Lo masih boleh main ke rumah gue. kita masih boleh jalan berdua. Gue cuma enggak mau kita saling mengekang, dan gue enggak mau lo sedih terus," tutur Alam dengan begitu lembut, diiringi senyum yang semakin melebar.
Alam kemudian menghapus air mata Ailsa yang membasahi seluruh ppinya. Sekilas laki-laki itu mengecup punggung tangan Ailsa kemudian mengelusnya dengan ibu jari. Senyumnya sekali lagi mengembang, seakan-akan ialah orang paling murah senyum di seluruh dunia. Pertanyaan kemudian keluar dari mulutnya, "Gue antar pulang, ya?"
Bak mantra, air mata Ailsa berhenti mengalir. Gadis itu menggelengkan kepalanya. "Enggak usah," tolaknya.
Dan Alam memilih untuk menghargai keputusan Ailsa. Laki-laki itu mengangguk, mengiakan kemauannya. "Gue minta maaf ya," katanya. "Maaf buat semuanya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kalau Adhyaksa Tidak Ada (SUDAH TERBIT)
Teen Fiction[WattysID 2019 Winner: New Adult] Alam memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Ailsa yang sudah berumur empat tahun. Katanya, hubungan mereka sudah tidak sehat. Katanya lagi, Alam sudah memikirkannya baik-baik, dan keputusan paling tepat adal...