Motor Adhyaksa berhenti begitu tiba di pelataran rumahnya. Ailsa lebih dulu turun dari motor, lalu disusul Adhyaksa, berbarengan dengan laki-laki itu melepaskan helm dari kepalanya.
"Makasih, Dhy," tutur Ailsa acuh tak acuh. Segera, gadis itu beranjak meninggalkan rumah Adhyaksa, hendak melangkah pulang ke rumahnya yang terletak tepat di sebelahnya.
Akan tetapi, sebelum Ailsa sempat pergi, Adhyaksa jauh lebih cepat meraih pergelangan tangan gadis itu. "Eh, jangan pulang dulu, Ilsa," ujar Adhyaksa. "Ibu minta bantuin sama lo katanya."
Ailsa mengernyitkan kening. Tidak biasanya ibu Adhyaksa meminta tolong sesuatu padanya. "Ngapain?"
"Hm ... masak, kali?" karang Adhyaksa. Dan betapa beruntungnya, Ailsa cepat percaya pada tipuan kecil tersebut. Tanpa menolak sedikit pun, gadis itu mendahului Adhyaksa masuk ke rumahnya. Sesaat sebelum melangkahkan kakinya masuk ke rumah, Adhyaksa melihat ke arah rumah Ailsa yang kosong. Seperti sore lainnya, rumah Ailsa selalu sepi.
Sementara Adhyaksa serta-merta masuk ke kamarnya, Ailsa kini berdiri di dapur bersama ibu Adhyaksa. Dua menit pertama sejak menginjakkan kakinya di dapur, Ailsa sadar Adhyaksa ternyata berbohong padanya. Ibunya tidak butuh bantuan apapun dari Ailsa. Namun apa daya, sudah telanjur Ailsa tiba di sini. Berakhirlah ia menemani ibu Adhyaksa memasak untuk makan malam.
Samar-samar, gadis itu mendengar suara Adhyaksa dari kamar laki-laki itu di lantai atas. Pun, suara gitar mengalun, mengiringi suaranya.
"Tumben, Sa, pulang sama Adhy," tutur ibu Adhyaksa sambil mencuci sayuran selagi Ailsa membantu mengupas kentang.
Senyum Ailsa mengembang dengan kikuk. Fokusnya mendengarkan Adhyaksa seketika teralihkan. "Iya, Bu. Adhy tadi ngajak Ilsa bareng. Ya udah, jadi bareng aja pulangnya," balas Ailsa.
Ibu Adhyaksa mengangguk-angguk. Obrolan mereka perlahan-lahan mencair, sampai kegiatan mereka selesai dan ibu Adhyaksa bilang, "Jangan pulang dulu, ya. Makan sini dulu sama Ibu sama Adhy. Kamu juga di rumah sendirian toh?"
"Iya, Bu," balas Ailsa singkat. Gadis itu tetap melanjutkan aktivitasnya, menaruh mangkuk berisikan sup di atas meja. Selepasnya, gadis itu lantas berjalan menuju lantai dua, menghampiri Adhyaksa yang masih bermain dengan gitarnya di balkon kamar. Kebetulan sekali pintu kamarnya tidak ditutup, sehingga Ailsa bisa langsung masuk tanpa permisi.
Akan tetapi gadis itu tidak menghampiri Adhyaksa, berhubung perhatiannya tersita dengan meja belajar Adhyaksa yang rapi di sudut ruangan. Ada tumpukan buku-buku sekolah serta berbagai buku self improvement. Ada laptop yang sepertinya sudah lama tidak disentuh. Dan, ada pigura berukuran kecil yang menyita perhatiannya.
Di dalam pigura kayu tersebut terdapat fotonya bersama Adhyaksa, sewaktu kecil. Keduanya sama-sama mengenakan seragam sekolah. Sama-sama tersenyum lebar. Tampak bak anak yang bangga dan bahagia sekali sebab akhirnya masuk masa-masa sekolah dasar. Ailsa ingat sekali, foto ini diambil di hari pertama masuk sekolah, hampir dua belas tahun lalu.
Senyum Ailsa entah kenapa mengembang. Bahkan gadis itu tidak sadar Adhyaksa sudah beranjak dari balkon. Kini laki-laki itu duduk di pinggiran ranjangnya, tepat di belakang punggung Ailsa. Pelan, jarinya memetik senar lagi, sukses menyita perhatian Ailsa yang tengah fokus memandangi foto masa kecil mereka.
"Eh, sori. Gue tadi mau nyamperin lo, tapi malah ke-distract karena lihat ini," ujar Ailsa sambil cepat-cepat meletakkan kembali pigura yang diambilnya ke tempat semula. Senyum Ailsa mengembang tipis. Gadis itu kemudian duduk di kursi belajar Adhyaksa, menyaksikan laki-laki di hadapannya yang masih memetik-metik senar gitar dengan asal. "Ibu nyuruh gue makan malam di sini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kalau Adhyaksa Tidak Ada (SUDAH TERBIT)
Teen Fiction[WattysID 2019 Winner: New Adult] Alam memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Ailsa yang sudah berumur empat tahun. Katanya, hubungan mereka sudah tidak sehat. Katanya lagi, Alam sudah memikirkannya baik-baik, dan keputusan paling tepat adal...