Eight

12.5K 880 17
                                    

Bel pertanda pulang telah berbunyi lima belas menit yang lalu. Reon kini berjalan dengan santai menuju mobilnya yang terparkir manis di parkiran. Namun tiba-tiba langkah cowok itu terhenti saat melihat Ara yang berjalan sambil membawa beberapa barang ditangannya.

Tersenyum kecil sejenak, Reon melangkah dengan semangat menghampiri Ara. Ara juga tampak ramah dan beberapa kali membalas sapaan dari beberapa murid yang lewat.

"Ara!!" panggil Reon.

Ara menoleh padanya dan tersenyum manis saat melihat dirinya.

"Eh kamu, kenapa belum pulang?" tanya Ara

"Ada urusan tadi, kamu mau kemana?"

Ara tersenyum lagi kemudian menjawab,
"Aku mau ke panti asuhan. Kunjungan bulanan"

Berpikir sejenak, Reon pun meminta izin untuk mengantar Ara yang langsung disambut Ara dengan anggukan. Mereka pun masuk kedalam mobil Reon dan Reon segera menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang.

"Yon, kamu uda izin belum kalau mau anter aku ke panti?"

Reon melirik sebentar ke arah Ara lalu kembali fokus menyetir,
"Belum, nanti aku kabarin kalau kita uda disana"

Ara mengangguk. Gadis itu pun kini fokus memandangi jalanan diluar sana. Tampak beberapa murid sebaya mereka menunggu angkutan umum di halte.

"Yon tadi pagi Dimas telat. Tumben banget. Kamu tau dia kenapa?"

"Aku turunin tadi dia"

Alis Ara menyatu sempurna mendengar pernyataan Reon. Benar-benar mengejutkan sekali.

"Kenapa?" tanya Ara.

"Dia ngeselin"

Jika tadi Ara cuma terkejut sekarang ia malah bingung.

"Dia nyerocos mulu makanya gue turunin" tambah Reon seakan mengerti kebingungan Ara.

Dan detik berikutnya Ara tertawa. Memang benar apa yang dikatakan Reon bahwa Dimas tipe yang tidak bisa diam. Saking ramahnya Dimas akan membahas apa saja mulai dari yang penting hingga tidak penting sekalipun. Itulah Dimas, yang terpenting suasana tidak canggung.

"Ya lain kali tinggalin aja dia ditempat yang sepi biar diculik sekalian. Abisnya dia gak bisa diem sih" ujar Ara panjang lebar sembari tersenyum saat menceritakannya.

Semua gerak gerik Ara pun tak lepas dari tatapan Reon yang sesekali memandangnya.

"Kamu suka Dimas ya Ra?" tanya Reon memastikan.

"Suka banget malah. Dia itu baik, ramah, pinter lagi. Siapa sih yang gak suka sama Dimas" kekeh Ara yang membuat Reon terdiam.

"Ini panti yang kamu maksud belok kemana?" tanya Reon mengalihkan pembicaraan dan memang diujung jalan ada dua persimpangan.

"Belok kiri, aku turun disimpang aja. Uda deket kok"

"Gak mau sekalian kedepan panti?"

Ara menggeleng.

"Disimpang situ aja"

Reon mengangguk hingga mobil Reon berhenti tepat disimpang dan Ara langsung membuka sealbetnya.

"Makasih ya uda mau nganterin "

Reon mengangguk dan melihat Ara keluar dan mulai berjalan dengan senyuman. Reon terus menunggu hingga Ara masuk kedalam sebuah panti bercat putih.

Setelahnya Reon langsung tancap gas pulang kerumah. Ia akan memikirkan kembali akan berjuang atau hanya sampai disini saja.

Reon terlalu lemah soal perasaan.

Dia sudah terlalu jauh tertinggal. Inilah Reon, si pintar nan beku yang selalu psimis akan segala hal.

Sampai dirumah Reon langsung masuk ke kamarnya. Rumah terlihat sepi. Padahal biasanya saat pulang ia akan mendengar kebisingan Dimas.

Rumah ini sangat damai dan dingin jika hanya ada Reon dan ayahnya. Tapi saat Dimas dan Mama tirinya datang, suasana kembali hidup. Tawa dan senyum kembali hadir.

Takdir seolah memperlihatkan Reon arti hidup yang sebenarnya. Seolah jika dirinya tak ada, rumah ini akan tetap hangat.

"Yon!" panggil Dimas diluar sana.

Reon hanya diam tak berniat menjawab. Ternyata Dimas sudah pulang, pikirnya.

"Yon lo didalem gak?" tanya Dimas sambil menggedor pintu dengan lumayan keras.

Reon bangkit dengan malas lalu membuka pintu dan melihat Dimas yang menyengir.

"Ngapain?"

"Ha?" tanya Dimas bingung.

"Ngapain lo disini?" tanya Reon

"Elah, ngomong tuh panjang dikit kek jangan sepatah dua kata. Singkat amat"

Reon hanya menatap malas Dimas tanpa berniat menjawab.

"Bonyok bilang ntar malem ada makan malam sama sahabatnya Papa"

Reon menaikkan sebelah alisnya seolah bertanya 'lalu?"

"Lo harus ikut. Mama bilang makan malam ini penting"

"Apa pentingnya buat gue?"

Dimas lantas menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Pokoknya lo harus ikut. Ntar Papa marah lagi kalau lo ngebantah"

"Gue gak peduli"

Blamm

Pintu tertutup dengan keras. Dimas mendengus kesal menatap pintu didepannya.

"Jangan ngebantah lagi Yon ntar Papa marah!" teriak Dimas.

"Apa peduli lo? Urus aja hidup lo yang terlalu sempurna itu!"

Dimas mendengus. Ingin sekali ia mencakar wajah Reon. Mengulitinya hidup-hidup lalu dimutilasi dan dibuang ke rawa-rawa.

"Ngomong singkat, dingin, judes, untung sodara gue kalau enggak gue mutilasi lo!" gumam Dimas kesal.

Tentu saja ia tidak berani mengatakannya langsung. Bisa habis dia sama Reon. Memang tidak akan dipukul tapi omongan Reon yang sepatah kata itu sangat nyelekit dihati.

"Setidaknya lo harus datang demi Mama!"

Tidak ada jawaban.

Sudahlah.

Terserah. Mau datang atau tidak bodo amat.

"Begini banget hidup cogan yang baik hati" gumam Dimas dan berlalu dari sana.

Sementara Reon menghela nafas kasar. Ia jadi teringat akan wajah Mama tirinya.

Reon bukan tidak tau kalau beberapa kali Papa dan Mamanya akan bertengkar kecil hanya karena dirinya.

Melihat wajah Mamanya yang murung Reon menjadi berpikir ulang.

Akan lebih baik ia datang dan itu tidak akan menjadi masalah untuk orang tuanya.

Reon hanya perlu duduk dan makan makanan. Mendengar mereka bicara dan akan bicara jika diperlukan.

Selebihnya diam lalu saat acara selesai ia akan pulang. Hanya itu saja yang harus ia lakukan.

¤¤¤¤

Selamat membaca😊

Salam manis,
Ans Chaniago

Reon (Sudah Terbit) ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang