3. Fighting

9K 638 16
                                    

"Swift kangen!" ucapku lirih.

"Mommy sama daddy juga kangen sama kamu." sahut mommyku. Tapi ekspresi mereka tetap datar. Tidak ada pancaran rindu sedikitpun untukku di mata mereka. Hah! Rasanya sangat menyesakkan dada.

"Kapan mommy sama daddy pulang?" tanyaku sambil tersenyum manis yang dipaksakan.

"Baru saja, sayang." sahut daddy sambil memejamkan matanya. Mungkin daddy kelelahan.

"Ehm, sebaiknya daddy ke kamar saja sama mommy. Kalian pasti capek." ucapku menasihati mereka.

"Iya, sayang."

"Oh ya mom, dad. Aku membawa Laudia dan Gladys kesini." ucapku.

"Oh ya? Mereka di kamarmu ya?" tanya mommy antusias.

Apa?! Antusias?! Kenapa mommy seantusias itu? Melihat aku anak mereka sendiri tidak antusias. Nyebelin!!!

"Iya, mommy."

"Eh, mereka seperti apa ya? Udah 1 tahun nggak ketemu. Mommy ke kamar kamu dulu ya, sayang." ucap mommyku lalu pergi ke kamarku.

"Sungguh keterlaluan! Anak sendiri tidak diperhatikan tapi anak orang lain di perhatikan. Ihh, nyebelin!!" gumamku kesal dan berlari ke luar rumah.

------

Lamunanku buyar karena mendengar suara teriakan cempreng dari seorang cewek. Teriakan itu berasal dari cewek yang tak sengaja ku siramnya karena aku terlalu larut dalam masa lalu kelamku.

"Kenapa kau menabrakku, sialan? Lihat bajuku! Jadi basah semua." bentaknya kepadaku.

Cewek itu adalah Gladys. Sasaranku. Dan untung saja tepat sasaran. Kalau tidak, yah, tidak apa-apa sih hehe.

"Hah? Aku? Menabrakmu? Apa kau tidak mimpi?" tanyaku sok polos. Perasaan aku tidak ada menabrak dia deh. Entahlah! Lagian itu tidak penting karena yang terpenting seragamnya basah oleh jus jerukku. Rasain tuh cabe! Emang enak?? Hahaha..

"Jangan sok polos deh. Jelas-jelas kau menabrakku sehingga minuman yang kau bawa mengenaiku." bentaknya lagi.

"Bukannya kau yang menabrak Swift, Dys?" tanya Qywa, teman geng nya yang paling polos. Entah kenapa dia bisa berada di dalam genk cabe-cabean ini. Mungkin dia salah pergaulan. Gak peduli ah! Gak guna juga buat aku.

"Diam kau!" bentaknya lagi.

"Kan memang benar." cicitnya seperti tikus yang terjepit ekornya.

Kulihat Laudia menahan tawanya. Terkadang secara tidak langsung, Qywa selalu membela kami akibat kepolosannya itu. Haduh, kadang lucu juga membuat sesama mereka bertengkar akibat kepolosan Qywa. Terkadang aku sengaja memakai kepolosan Qywa untuk membuat mereka saling bertengkar. Kadang aku membuat mereka babak belur tanpa menyentuh mereka dengan cara mengadu domba sesama mereka. Seperti B****** yang mengadu domba suatu kerajaan di Indonesia pada zaman dulu, jangan heran aku bisa tahu karena aku sangat suka membaca cerita-cerita apapun termasuk fiksi sejarah. Hebat bukan? Aku mempraktekkan itu di kehidupan nyata. Hahahaha... Swift gitu loh! Apa sih yang enggak bisa Swift lakukan?

"Masih lama ya pertunjukannya? Aku sudah bosan nih melihat pertunjukan kalian. Kelas yuk, Lau!" ajakku pada Laudia lalu berbalik arah untuk meninggalkan kantin.

Tapi baru satu langkah, aku merasakan rambut pirangku di tarik oleh seseorang dari belakang. Mau tak mau aku pun memutar tubuhku lagi dan menatap sang pelaku dengan tajam. Pelakunya adalah Gladys. Siapa lagi kalau bukan dia. Si nenek sihir jadi-jadiaan. Andai saja ada drama rapunzel biarkan saja dia mengambil peran nenek sihirnya. Udah jelek, jahat lagi. Siapa yang tertarik coba?

"Lepasin!" perintahku dengan mata yang masih menatapnya tajam.

"Haha.. Lepasin? Cih, jangan mimpi sebelum rambut ini tercabut dari kepalamu." sinis Gladys.

"Lepas atau kau akan menerima akibatnya!" peringatku sekali lagi dengan mengeluarkan aura intimidasiku. Aku dapat melihat setitik kegelisahan diraut wajahnya tapi dia tetap saja mengangkat dagunya dengan sombong. Melihat pemandangan itu aku tersenyum sinis.

"Kamu tuli ya?" bentaknya padaku.

"Ohh, oke. Kalau itu mau mu." sahutku sambil menyeringai.

Baiklah! Hari ini aku akan memberimu pelajaran Gladys. Siap-siap saja menginap di rumah sakit. Kali ini aku akan melampiaskan seluruh kekesalanku hari ini kepadamu.

Aku maju selangkah dan menjambak rambut merah keunguan hasil catnya. Warnanya sangat mencolok dan jelek menurutku.

"Aduuhh!" keluhnya sambil meringis kesakitan. Baru di jambak sedikit saja sudah mengeluh. Gak seru ah!

"Siap-siap menginap dirumah sakit Gladysku yang malang." bisikku di telinganya dan aku pun meninju perutnya dengan tangan kananku hingga jambakannya langsung terlepas dari rambut pirangku.

Dia pun terhuyung kebelakang dan aku pun berjalan maju lagi untuk menghajarnya. Lagi-lagi aku menjambak rambutnya dan menampar pipi kanan dan kirinya hingga pipinya merah dan sudut bibirnya robek.

Dia juga membalasku dengan mencakar lenganku. Cakar? Hadeh, berkelahinya kok perempuan banget sih? Pakai yang ekstrim dong. Misalnya dengan cara meninju. Bukan menjambak atau mencakar.

"Aduuh... Sakit yah?" tanyaku sok prihatin dengan posisi seperti tadi, yaitu menjambak rambutnya.

"Cih, nggak sakit sama sekali." bohongnya.

"Oh, belum sakit ya?" sinisku lalu aku meninju perutnya sebanyak 2 kali dan aku pun melepaskan jambakan ku dari rambutnya dan mendorongnya hingga dia tersungkur ke atas lantai.

Teman-temannya pun membantu dia untuk bangun. Sedangkan aku mengalihkan pandangku ke arah lain. Ada Laudia yang hanya menonton bersama murid lainnya. Emangnya ini film apa? Dasar!

"Baru segitu aja udah langsung ambruk dan muntah darah." ejekku saat melihat dia terbatuk-batuk dan mengeluarkan darah dari dalam mulutnya.

"Kau!" gertaknya dengan lemah. Dasar! Udah hampir pingsan juga, masih saja melawan.

"Apa?" gertakku balik.

Tanpa di duga dia berlari ke arahku dan menusuk lenganku dengan sesuatu yang tajam hingga darah merembes keluar dari lenganku. Mataku langsung membelalak. Aku tidak menyangka dia membawa alat-alat tajam ke sekolah sebab hal itu sangat dilarang disini.

"Kau curang dan kau harus menerima akibatnya." desisku marah. Lalu aku merampas pisaunya dan tanganku pun tergores oleh pisau itu tapi aku tidak peduli. Setelah pisau itu berhasil kurampas, aku melemparnya ke arah lain.

"Rasakan ini!" desisku tajam.

Bughhh

Bughhh

Bughhh

1 tinjuan mendarat di perutnya dan 2 tendangan mendarat di tulang keringnya. Dia pun ambruk ketanah dan kesadaranku pun juga hilang. Terakhir yang kudengar adalah teriakan sahabatku, Laudia.


-Tbc-

24/10/18

SwiftTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang