Pieces - 9

69.4K 11.7K 690
                                    


I don't hate you
I'm just not necessarily
Excited about your existence

-Unknown-


Jakarta 2008

"Eh, temen kamu ada yang cakep juga, Dek. Udah punya pacar belum dia?" tanya Renza sambil berbaring di ranjang adiknya. Kesibukannya sebagai Koass membuat Renza jarang bisa bercerita dengan adiknya ini. Kadang dia kasihan karena Qanita sepertinya merasa kesepian, karena orangtua mereka juga sibuk.

Qanita yang sedang duduk di meja belajarnya menoleh pada Renza. "Siapa? Sirly?"

Renza mengangguk. "Cakep dia," puji Renza. Saat melihat Sirly tadi entah kenapa Renza langsung merasa tertarik, padahal biasanya seleranya adalah perempuan yang seumuran dengannya, bukan anak SMA yang masih 16 tahun. Namun Sirly berbeda, gadis itu seperti punya pesona sendiri, dengan kulit gelap eksotis dan wajahnya yang polos namun manis. Dan yang terpeting Sirly tidak seperti siswi SMA kecentilan yang biasa tertarik padanya.

"Abang suka sama Sirly? Jangan ah, Sirly nggak tertarik pacaran. Kalau pun mau pacaran dia maunya yang kayak actor Iron Man itu."

Renza mendengus. "Minta nomor hape-nya dong, Dek," bujuk Renza.

"Nggak ah, nanti Sirly marah."

"Yah, bilang aja Abang yang buka-buka hape kamu, bukan kamu yang kasih nomornya."

"Ih, Abang ngajarin bohong," seru Qanita.

Renza menepuk keningnya, adiknya ini memang sulit sekali diajak berkerja sama. "Yaelah Dek, Abang kan cuma minta nomor hape dia. Pelit banget sih."

"Nggak mau. Nanti Abang mainin Sirly aja. Abang kan, pacarnya banyak. Playboy."

"Eh, siapa bilang pacar Abang banyak? Ini Abang lagi kosong, lho," protes Renza yang tidak terima dengan tuduhan adiknya itu.

Qanita berdecak. "Jadi yang sering teleponanan sama Abang itu siapa kalau bukan pacar?"

"Itu temen. Mana ada pacar. Sebagian lagi pengagum. Itu di luar kuasa Abang, Dek. Kamu tahu lah, yang naksir Abang banyak."

Kali ini Qanita yang mendengus mendengar kenarsisan kakaknya ini. Dia akui kalau kakaknya memang memiliki tampang yang oke, badan atletis, otak cerdas dan supel, tentu saja itu mendukung Renza untuk menjadi idola para perempuan. Qanita juga tahu kalau selama ini Renza tidak pernah serius menjalin hubungan, itu alasan kenapa dia tidak mau Sirly jatuh ke perangkap kakaknya. Qanita takut Sirly disakiti kalau ternyata kakaknya ini hanya bermain-main. "Nggak mau!"

"Yah, Dek. Kamu mau beli apa, sini Abang beliin deh," kata Renza yang masih belum menyerah.

"Noooo!" Qanita masih tetap pada keputusannyaa, membiarkan Renza mengerang frustrasi.

****** 

Bukan Renza namanya kalau menyerah begitu saja, kalau dia tidak bisa mendapatkan nomor ponsel Sirly dari Qanita maka dia harus mencari cara lain. Seminggu berlalu sejak pertemuannya dengan Sirly, seminggu terakhir Renza disibukkan dengan kegiatannya di rumah sakit. Baru hari ini dia bisa libur, harusnya sih dia tidak perlu seperti ini, mengejar gadis SMA, sedangkan beberapa temannya malah memutuskan untuk putus dari pacarnya untuk berkonsentarsi menyelesaikan studi kedokteran mereka. Sebagai seorang Koass, pastinya kegiatannya banyak sekali, mulai dari membuat laporan, mengikuti dokter visite, belum lagi jaga malam, begadang pasti sudah menjadi hal yang biasa bagi mereka, bahkan sebelum menjadi Koass.

Namun Renza juga butuh hiburan untuk menghilangkan rasa stresnya, dan itulah yang membuat dia berada di sini, di sekolah adiknya. Renza nekat untuk bertemu dengan Sirly, menurut informasi yang di dapatnya, hampir setiap hari Qanita pulang bersama Sirly dan ini kesempatannya, dia sengaja meliburkan sopir yang biasa menjemput Qanita. Renza keluar dari mobilnya, dia mengenakan kaos berwarna cokelat dan celana jins, kakinya dilapisi sepatu Converse warna hitam, penampilan yang biasa namun membuat beberapa siswi yang baru keluar dari gedung sekolah menatapnya penuh minat.

The Pieces of Memories (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang