"Salah siapa ibumu meninggal?" Tukas Bapak keras. Membuat dua pasang mata yang terpisah jarak itu basah oleh lelehan air mata. Sepasang mata milikku, dan sepasang mata lain milik kakakku yang tengah berhadapan dengan Bapak di depan.
Yah, kakak pulang ke rumah dua hari setelah lebaran. Tapi langsung aku tinggal karena aku sudah berjanji untuk silaturahim ke keluarga ibuku di Magelang bersama adi laki-lakiku,
Dan setelah aku pulang, yang aku lihat adalah kakakku kini tengah bersitegang dengan Bapak di ruang depan. Apalagi masalahnya jika bukan tentang perilaku istri barunya. Hati kakak mana yang sanggup adiknya disakiti tiap hari? Itu yang kurasakan saat mendengar kata demi kata yang terdengar serak menahan tangis itu.
"Apakah bapak memilih wanita yang jelas menipu bapak daripada anak-anak kandung bapak? Lihatlah perilakunya terhadap Aina. Apa seperti itu seorang ibu memperlakukan anaknya? Sedang Bapak meminta kami memperlakukan dia seperti ibu kami sendiri?" Suara kakak mulai meninggi.
Aku bergegas keluar sebelum kak Ita lepas kontrol. "Sudah mbak, biar Bapak hidup dengan pilihannya. Kita tidak berhak ikut campur lagi." Ucapku gusar sambil menahan air mats yang tak ingim berhenti.
"Bapak tahu bapak ditipu, itu biarlah. Itu sudah menjadi *lakon hidup* Bapak"
Dan perdebatan itupun berakhir, menyisakan isakan tangis kakakku yang tengah dipeluk suaminya, dan isakanku yang berhasil ku tutup dengan selimut di dalam kamar.
Yah, aku memahami seorang laki-laki butuh tempat untuk menyalurkan hasrat biologisnya. Dan itu tak mungkin didapat dari seorang anak. Maka, aku mengalah. Hanya satu yang kini kusimpulkan bahwa pernikahan hanyalah sebuah sarana penyalur hasrat saja. Betapa tidak, pernikahan yang tidak ada kebahagiaan di dalamnya tetap menjadi pilihan untuk dipertahankan. Hubungan Bapak dan anak yang kian renggang, meski raga berdekatan tapi tetap saja tak bisa terengkuh. Dan semoga tidak ada anak-anak lain yang menjadi korban keegoisan seseorang yang menjadi cinta pertamanya, seseorang yang seharusnya paling tersiksa saat tangis anak perempuannya tertumpah justru makin hari makin membuat putrinya terjerembab pada kesedihan yang tiada akhir. Begitulah indahnya istri akan selalu menang dibanding kebahagiaan anaknya. Jika tidak ingin egois, menikahlah lagi carilah pengganti istri yang telah tiada dengan seseorang yang mau menerima kehadiran putra putrimu. Tak perlu terburu, jika hasratmu datang tak bisakah kau berlari saja mendekat pada kitab sucimu, berdzikir padaNya dan meminta padaNya agar disampaikan pada jodoh yang baik. Dan untukmu yang merasa tersisih dari Lelaki pertamamu (Ayah) bersabarlah, tak perlu kau tangisi nasibmu. Bergeraklah carilah amal-amal bermanfaat agar hidupmu berarti, dan mungkin salah satu cara baktimu adalah merelakan Ayahmu bahagia dengan keluarga barunya tanpa kamu.
End
YOU ARE READING
Buah Bibir
General FictionSudah menjadi kebiasaan masyarakat era modern untuk bergosip, bincang-bincang basa basi yang kadang membawa pada membicarakan orang lain. Dan itu menyakitkan untuk siapapun yang dibicarakan. Dan begitupun Nia yang kini tengah jengah, karena ia yang...