Apakah aku anakmu?

1 0 0
                                    


*Aina pov

Sembari mencuci piring kotor di dapur, Aku menemani Ayah yang sedang sibuk mempersiapkan makanan untuk ayam ternaknya. 

"Na, itu temenmu SD, siapa itu namanya, anak lek Saiman, sekarang katanya sudah sukses. Kerja di Batam, sekarang sudah bisa bahagiain orang tuanya lho." 

Aina bergeming dengan aktivitasnya. "Oh itu Elis yah namanya, temen Aina saat SD. Alhmadulillaah ya yah." Timpalku dengan riang. 

"Kamu kalau juga ikut kerja di Batam, atau Sumatra, gitu mungkin juga bisa sukses Na." Ucap Ayah masih sembari sibuk memanaskan pakan ternak. 

Deg, rasanya hati ini teriris sembilu mendengar pernyataan Ayah. 

Tahukah ayah, demi siapa anakmu ini pulang, tahukah Ayah di Kota banyak yang harus rela Aina tinggalkan karena lebih memilih Ayah. Tapi ternyata semua itu tak ada artinya untuk Ayah. Kenapa tidak sejak awal Ayah keberatan dengan niatanku. 

Sambil menata hati aku mencoba mencari jawaban yang tepat, " lha kenapa Yah, apakah Aina merepotkan di rumah ini?" 

Aku tahu suaraku bergetar saat kata itu terucap, hampir saja air mataku mengalir.  Tapi sebelum semakin deras, aku berlalu sambil membawa cucian piring yang sudah bersih. Entah aku tak ingin tahu jawaban Ayah saat itu. 

Tiga hari yang lalu, akhirnya aku sudah pulang ke rumah Ayah. Diantar oleh kakakku dan suaminya. Banyak hal mampu kulalui, yah kembali menjadi seorang anak buruh tani tidaklah mudah. 

Hari pertama aku urus seluruh rumah dan bantu-bantu di sawah. Tapi satu yang tak bisa ku kerjakan, dan itu memasak. Karena Ayah melarangku, takut melukai hati istri barunya katanya. Oke, aku mengalah. Bagaimanapun, niatanku pulang adalah untuk berbakti. Jadi tidak masalah aku harus kehilangan hobbyku dan pasrah menerima apapun yg dimasak ibu baruku. FYI, dulu setiap menyempatkan diri menjenguk Ayah, aku selalu harus menahan sakit perut yang teramat sangat, karena tidak tahan rasa pedas masakan ibu tiriku. Dan, anehnya meski istri ayahku itu tahu tetap saja tak ingin mengurangi sedikit saja rasa pedasnya.

Dan pertanyaan Ayah tadi ternyata jauh lebih sakit dan pedas dari setiap perlakuan istri barunya. 

Sejak pulang, aku tak tahu sudah berapa air mata tertumpah. Dan aku mulai tidak betah. Aku tidak yakin mampu bertahan. 

Jadi untuk inikah aku pulang?

Apakah aku ini anakmu Ayah, tak bolehkah aku berbakti padamu?

Aku mendamba kehangatan keluarga, tapi yang kurasa adalah kegersangan suasana dari tiap harinya. 

Buah BibirWhere stories live. Discover now