Pulang

4 0 0
                                    

Setiap keputusan yang diambil pasti memiliki harapan untuk kebahagiaan diri, tapi kadang... ah barangkali lebih sering justru menghadapi konsekuensi yang tidak mengenakan. 

"Kamu yakin mau pulang, Na?" kembali pertanyaan itu ditujukan pada Aina. Kali ini sahabatnya yang menanyakan keseriusan Aina atas keputusan besarnya. Ya, pulang kembali ke kampung halamannya setelah 8 tahun mengembara di Kota ini. 

"Insya Allah", jawab Aina sambil tersenyum.

"Serius???, kamu kenapa to harus pulang?" tanya gadis berkacamata itu pada temannya penasaran. Kepo adalah kebiasaan gadis bersemangat bernama Nisa itu. Sahabat Aina sejak pertama menginjakkan kaki di Kota Lumpia ini. 

"Ya, kan memang sudah rencanaku setelah kuliah pulang Nis, malah ini aku tambahi 3 tahun bekerja di sini lho." timpal Aina kembali dengan senyum khasnya.

"Beneran deh, ini ada seseorang yang penasaran dengan maksud kepulanganmu. Pasti ada alasan kuat untukmu meninggalkan kota ini selamanya." Kekeh Nisa belum puas dengan jawaban Aina. 

Sejenak Aina termenung, matanya menerawang saat kata "seseorang" yang disebut Nisa. Ia mencoba menerka siapakah dia. Apakah dia yang sama yang diharapkan Aina untuk mencegahnya pulang, dan mengajaknya tinggal di sisinya. Aah Aina tak ingin menerka nerka sesuatu yang tak pasti. Yang pasti keputusannya pulang sudah melewati proses pemikiran yang panjang, sudah ia mintakan petunjuk pada Penciptanya lewat istikhorohnya. Dan meski banyak yang menyayangkan tapi pilihannya telah bulat. 

"Na, jawab dong biar aku bisa sampaikan nanti." Nisa kembali bertanya dengan matanya yang menatap tajam penuh rasa penasaran. 

"Hmm, sebenarnya niatku untuk pulang sudah lama Nis. Tapi selalu tertahan dengan banyak hal. Tapi kini aku rasa Ayah membutuhkanku. Anaknya. Setelah kepergian almarhum Ibu, ada separuh jiwa ayah yang terambil. Bapak harus mengurus dirinya sendiri, keempat putra putrinya pergi merantau. Dan kini ketika Ayah menikah lagi, ayahku harus menerima perlakuan yang tidak pantas dari istri dan anak tirinya. Jadi, satu niatku untuk pulang adalah untuk berbakti pada Ayahku Nis. Yang aku pun tak tahu masih berapa waktuku tersisa untuk bisa berbakti padanya." terang Aina panjang, beberapa kali ia tercekat karena menahan lelehan air mata yang siap meluncur kapan saja. 

Nisa sadar akan kesedihan Aina, dia mendekat dan memeluk Aina erat. Ia tahu sahabatnya ini sangat perasa dan mudah menangis.

Setelah Aina mampu senyum kembali, mereka melanjutkan obrolan mereka di pertemuan terakhir mereka itu. 

Dan besok, adalah waktu yang tepat untuk Aina mengucapkan selamat tinggal pada kota yang selalu saja menawarkan kenyamanan untuknya. Pulang ke ayahnya. 

Buah BibirWhere stories live. Discover now