Bagian 2

25 5 0
                                    

"Nabiel pulang!" salam Nabiel saat dia memasuki rumah.

Mamanya sedang memasak di dapur.

"Eh, Na, baru pulang?"

"Emm, Ma, minggu depan Nabiel mau ikut muncak boleh nggak?"

"Gimana ya? Kalo Mama sih boleh-boleh saja, tapi Papa? Mama nggak tau."

"Oh, oke," jawab Nabiel lesu, dia teringat setiap dia meminta ijin, Papanya selalu menolak. Papa selalu bilang, "nanti Na kecapekan, besok Papa ajak ke tempat lain yang lebih seru aja. Oke?" Tawaran Papa tak bisa dibantah karena dia pasti tidak mau mengajak keluarga liburan setelah itu.

***

"Pa," dengan ragu-ragu Nabiel mencoba meminta izin kepada papa makan malam ini.

"Iya, ada apa, Nabiel?" tanya papa sambil tersenyum.

"Anu, em, Nabiel boleh nggak kalo Nabiel ikut muncak sama teman-teman Nabiel?" tanya Nabiel dengan takut-takut.

"Gimana ya, itu bahaya. Kita liburan kemana aja, ya? Biar lebih aman lagi pula kamu juga bisa menikmatinya sama mama papa juga, kan? Iya kan, ma?" tanya papa menoleh ke mama sekaligus meminta persetujuan mama. Nabiel sudah tahu jika jawabannya akan seperti ini. Sia-sia saja dia meminta izin.

Kalau sudah seperti ini biasanya Nabiel akan mencari alasan nginap di rumah teman, dan biasanya papa menyetujui. Kenapa tidak dari tadi seperti itu? Yeah, mungkin karena Nabiel yang memang terbuka dan ingin jujur kepada orang tuanya.

"Pah, yaudah aku mau menginap di rumah Mega saja. Boleh, kan?" tanya Nabiel sedikit takut.

Papa Nabiel pun terkejut. "Loh, kenapa? Ada apa?"

"Nabiel lupa, pah. Kalo di sekolah ada tugas yang harus diselesaikan bulan-bulan terakhir. Jadi Nabiel mau nginep di rumah Mega gak apa-apa, kan, pah?"

"Kapan menginapnya?"

"Minggu depan, pah."

Papa Nabiel pun menatap Nabiel dengan tatapan penuh dengan introgasi. Sementara Nabiel yang merasa ditatap pun hanya bisa berusaha tenang agar tidak ketahuan bahwa ia telah berbohong. Setelah itu, papa Nabiel pun tersenyum. "Baiklah. Nanti siapkan barang-barangmu untuk menginap di rumah Mega."

Mendengar itu, membuat wajah Nabiel kembali berseri-seri. "Benarkah, pah? Uwaahhh makasih, pah." Nabiel pun dengan segera memeluk papanya dengan rasa gembira, meskipun dia sedikit menyesal atas tindakannya untuk berbohong kepada papanya sendiri.

"Maafkan aku, pah harus berbohong kepada papa. Tapi, ini benar-benar tidak ada cara lain lagi sekalin ini. Nabiel ingin sekali pergi ke puncak, jadi Nabiel terpaksa melakukan ini, pah. Maafkan Nabiel, ya, pah."

Mama Nabiel pun hanya bisa tersenyum memaklumi. Mama Nabiel tahu bahwa Nabiel sedang berbohong tentang menginap ke rumah Mega. Itu hanya alasan semata agar Nabiel tetap pergi ke puncak. Mama Nabiel tahu itu. Tapi ia berusaha menyembunyikannya dan memilih diam sambil tersenyum.

Papa Nabiel pun hanya tersenyum sambil membalas pelukan Nabiel. Nabiel pun melepas pelukannya dan dengan segera langsung menuju kamarnya dan membereskan perlengkapannya untuk pergi ke puncak dengan alasan ingin menginap di rumah Mega.

Ya, meskipun menginapnya seminggu lagi, tapi tak ada salahnya, kan untuk menyiapkan dahulu agar tidak ada yang tertinggal?

***

"Kau sudah siap-siap, Lyla?"

Mendengar pertanyaan yang menyangkut namanya, Lyla pun menoleh. Dia pun tersenyum memaklumi.

"Siap-siap untuk apa?"

Melly pun terkejut mendengar pertanyaan balik itu. Apakah Lyla tidak tahu? Sungguh? Padahal dia yang mengajak Melly ke puncak, tetapi dia sendiri tak tahu harus menyiapkan apa? Dasar! Melly pun menepuk dahinya sendiri. Merasa geram dengan pertanyaan Lyla.

"Kau tak tahu? Padahal kau sendiri yang mengajakku untuk pergi ke puncak, tetapi kau malah tak tahu harus menyiapkan apa?"

Lyla pun cengengesan sendiri. "Ya, kan itu masih lama, Melly. Seminggu lagi."

"Tetap saja! Harus siap-siap dahulu. Sediakan payung sebelum hujan, Lyla."

Lyla pun hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil memijat pelipisnya. Padahal masih seminggu lagi kegiatannya. Masih lama, bukan? Tetapi Melly sudah bersiap-siap sekarang? Yang benar saja! "Terserah padamu saja, lah." Lyla pun menyerah atas tindakan Melly dan memilih diam saja.

Sedangkan Melly hanya menatap Lyla bingung. Apa yang salah padanya? Apakah ia melakukan kesalahan terhadap Lyla? Tak salah, kan jika menyiapkan semuanya dari awal meskipun kegiatannya itu seminggu lagi? Melly hanya tak mau jika sudah berangkat, tetapi ia melupakan sesuatu. Melly tak mau hal seperti itu terjadi. Kalau ada yang terlupa, kan bisa repot.

***

"Yah, minggu depan di sekolah akan ada acara untuk ke puncak, Alby boleh ikut, kan, pah?" tanya Alby ragu-ragu kepada ayahnya.

Kenapa ragu? Karena selama ini Alby tak pernah pergi ke puncak. Itu karena tidak pernah diizinkan oleh ayahnya yang terlalu protektif kepadanya. Padahal Alby sudah yakin bahwa dia itu sudah besar, dan bisa menjaga diri sendiri. Tapi, ayahnya justru tak pernah mengizinkannya begitu.

Ayahnya selalu mengatakan bahwa, "jika kau ingin berpetualang, pergilah ke hutan dekat rumah kakek atau hutan di belakang rumah kita. Kau bisa berpetualang sepuasmu." Percayalah. Itu semua percuma.

Di rumah Alby dan kakeknya memang memiliki hutan yang biasanya digunakan untuk menanam berbagai macam tumbuhan yang Alby tak ketahui-malas mengetahuinya- tapi, kalian tahu, kan jika hutan buatan itu bagaimana? Tidak seru.

Lebih enak menjelajah hutan yang di dalamnya terdapat makhluk fantasi seperti pegasus? Unicorn? Troll? Goblin? Penyihir? Gorlassar? Ljosalfar? Peri? Apapun itu. Alby akan sangat senang jika di hutannya terdapat makhluk-makhluk seperti itu. Bahkan dia pasti tidak akan ingin pergi ke puncak, dan akan memilih berpetualang di hutannya. Tapi sayangnya, realita tak pernah sesuai dengan ekspetasi. Benar, bukan?

Ayahnya yang sedang asyik membaca koran itu pun akhirnya menoleh kepada Alby dengan dahi berkerut. "Kenapa tidak berpetualang ke hutan di rumah kakek atau di belakang rumah kita, saja?"

Tuh, kan! Benar, kan apa yang dikatakan Alby barusan! Alby pun hanya bisa memutar bola matanya dengan malas. "Yah, kali ini acaranya menaiki puncak, Yah. Di hutan ayah mana ada puncak atau jurang begitu."

Ayahnya pun hanya bisa menghembuskan nafas pasrah terhadap anak sulung ini. "Terserah padamu saja. Jika terjadi sesuatu, ayah tidak akan pernah mengizinkanmu kemana-mana lagi! Ingat!" ancam ayahnya.

Mendengar itu, Alby menjadi merinding sendiri. Tetapi, dia langsung tersenyum bahagia. Jarang-jarang mendapat izin ayahnya untuk pergi ke puncak. "Terima kasih, yah." Hanya dibalas deheman oleh ayahnya kemudian kembali membaca korannya.

Baiklah. Hari ini Alby sangat senang akhirnya bisa mendapatkan izin dari ayahnya. Dia pun segera menuju ke kamarnya dan menyiapkan perlengkapannya untuk ke puncak. Ya, meskipun masih satu minggu lagi, tapi tak salah, kan jika disiapkan dahulu? Agar tidak ada yang tertinggal?

ฅฅฅ

HutanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang