Bagian 3

20 4 0
                                    

Seminggu kemudian...

"Waw! Naik pesawat?" ucap Nabiel takjub melihat pesawat di lapangan kota.

"Iya, ini tuh komunitas alam besar. Jadi kalau cuma buat ngeluatin biaya bayar pesawat mah kecil," ucap Mega sambil mengamit tangan Nabiel.

Mereka berdua pun masuk kokpit pesawat yang tempat duduknya sudah hampir penuh oleh anggota komunitas.

Duk!

Seorang menubruk bahu Nabiel dengan cukup keras membuatnya menoleh dan melihat orang yang menabraknya tadi yang kabur tanpa meminta maaf. "Dasar! Nggak tahu sopan santun! Nggak diajari apa!?" caci Nabiel pada orang itu.

"Udahlah, Na. Buru-buru kali, kan tempat duduknya tinggal sedikit." Mega kemudian menarik tangan Nabiel menuju tempat duduk yang masih kosong.

"Na, kamu bawa headphone nggak?" tanya Mega sambil mengobrak-abrik tasnya, mencari sesuatu.

"Ya. Mau pinjem?" tanya Nabiel.

"Boleh? Sini." Mega menodongkan tangannya.

"Nggak boleh, kalau headphone aku kamu pakai, aku pakai apa?" ucap Nabiel sambil memasangkan headphone-nya dan mulai memilih musik.

"Ck! Dasar pelit!" Mega pun memilih mengambil penutup matanya dan tidur.

***

"Duh, awas lah kamu. Aku mau duduk di sini, Go!" perintah Alby kepada temannya.

"Serius nih?" tanya Gego. "Nggak mau duduk samping Melly?" goda Gego.

"Ck! Aku nggak mau, Go! Kamu aja deh," ucap Alby mulai jengah digoda oleh Gego.

"Ish, kamu tuh ya, By. Ada si Cantik Melly ditolak, dasar! Apa jangan-jangan kamu sukanya sama laki-laki?" tanya Gego sambil memundurkan tubuhnya agar menjauh dari Alby.

"Apa!? Nggak lah! Aku cuma belum dapet yang sreg aja kok. Amit-amit ya!" Alby melotot ke arah Gego yang menurutnya otaknya itu sudah geser.

"Oke kalau gitu, kamu duduk sini, By. Aku duduk sama si Cantik." Gego pun beranjak dari tempat duduknya sambil mengambil barang-barangnya dan menjauh dari Alby yang sudah duduk dan sedang memasang headphone.

Pesawat pun take off.

***

Tak lama kemudian, pesawat mulai terasa berguncang dengan hebatnya. Lampu-lampu berwarna merah seakan-akan menandakan bahwa ada bahaya pun mulai menyala bersamaan dengan bunyinya yang seperti bunyi mobil polisi.

Hal itu membuat para penumpang yang berada di dalam pesawat tersebut merasa panik. Di dalam hati mereka mulai membaca sesuatu bersamaan dengan mulut mereka yang berkomat-kamit seakan-akan sedang membaca sebuah mantra.

Semakin lama, goncangan itu semakin kencang. Lampu-lampu merah itu mulai menyala dengan begitu terangnya. Hal itu membuat para penumpang semakin panik. Mereka mulai menjerit ketakutan sambil memegang pegangan kursi dengan erat.

Tetapi tidak dengan Nabiel, Alby, dan Melly. Mereka berusaha menenangkan diri mereka dengan berkomat-kamit seperti membaca sebuah mantra. Tetapi aslinya mereka membaca sebuah do'a agar mereka terselamatkan dari bencana ini.

"Tes, tes. Perhatian untuk seluruh anggota Komunitas Alam Kota. Diharapkan yang dalam kondisi terjaga untuk membangunkan temannya yang sedang tertidur. Ada pengumuman dari pilot bahwa ada yang sedikit gangguan di mesin pesawat.

Diharap semua untuk tetap tenang. Jangan panik. Selalu berdoa dan tetap diam," ucap seorang pramugari di ujung depan lorong kokpit.

"Ada apa, Na?" tanya Mega yang terbangun karena jeritan para penumpang sambil mengucek kedua matanya.

Nabiel yang tadinya sedang berkomat-kamit dengan rasa khawatir yang luar biasa, langsung terkejut ketika teman sebangkunya itu terbangun.

"Ada kerusakan mesin," ucap Nabiel yang nada suaranya, tersirat rasa khawatir yang begitu melanda.


"Apa!?" jerit Mega.

"Sst! Diam! Kita harus tenang, berdoa gitu. Ini malah jerit-jerit," ucap Nabiel sambil memutar bola matanya dengan malas.

"Oh, oke." Mega menutup mulutnya yang terbuka dan mulutnya langsung berkomat-kamit tidak jelas. Sama seperti hal yang dilakukan Nabiel tadi.

Semua penumpang pun melakukan hal yang sama. Berkomat-kamit dengan keringat dingin yang terus bercucuran disekitar dahi dan pelipisnya. Lalu tangan yang saling mengenggam tangan teman sebangkunya.

Tak lama kemudian keadaan pesawat benar-benar semakin parah. Pesawat mulai berputar-putar tidak terkendali. Hal itu menyebabkan para penumpang di dalam menjadi merasa mual dan semakin khawatir.

Setelah berputar-putar, pesawat mulai meluncur ke bawah. Terjatuh dengan asap yang berada di buntut pesawat. Kemudian suara alarm mulai terdengar. Tetapi kali ini bukan seorang pramugari yang menyuarainya. Melainkan seperti suara teknis yang memang akan menyala ketika pesawat akan terjatuh.

"Pesawat akan terjatuh. Harap para penumpang segera meninggalkan pesawat sebelum pesawat ini meledak ketika terjatuh."

Seperti itulah kira-kira bunyi alarmnya. Ini sangat gila. Alby terus mengumpat kepada alarm bodoh itu. Alarm bodoh itu mengatakan bahwa para penumpang harus meninggalkan pesawat ini, bagaimana ingin meninggalkan pesawat ini sementara sabuk pengaman saja masih memeluk erat tubuhnya.

Lalu, para penumpang juga tidak memiliki parasut. Alby juga yakin bahwa pesawat ini tidak memiliki fasilitas tersedianya parasut. Jadi, bagaimana ingin meninggalkan pesawat ini. Dasar bodoh! Alby terus saja mengumpat tentang kejadian ini.

Sementara Melly, dia memiliki pemikiran yang sama terhadap Alby tentang alarm aneh itu. Tapi ia tak peduli. Melly terus memegang erat tubuhnya. Ia takut mati. Padahal, baru saja ia ingin menjalani kehidupan yang penuh dengan petualangan, justru malah berakhir seperti ini.

Setidaknya, sebelum ia mati, ia ingin merasakan rasanya berpetualang dengan teman-teman yang lain. Kalau Melly sudah tahu bahwa jalan-jalan ke puncak ini akan berakhir seperti ini, seharusnya ia tadi tak perlu mengikuti acara seperti ini.

Atau ia harus menyuruh para pilot ini agar benar-benar bersedia untuk lepas landas dan turun dalam keadaan baik-baik saja. Jadi, tidak akan terjadi hal yang seperti ini.

Pesawat pun mulai tak terkendali. Berputar-putar dan terbang ke kanan, ke kiri, atas, dan bawah tanpa terkendali. Hal itu membuat para penumpang semakin merasa mual.

Hingga akhirnya pesawat itu terjatuh ke arah hutan disertai dengan bunyi ledakan yang begitu hebat. Para penumpang dari pesawat sebelum pesawat itu terjatuh, mulai berteriak sekencang mungkin.

Seolah-olah teriakan itu dapat menyelamatkan mereka dari kecelakaan ini. Tapi, ternyata teriakan itu tak merubah apapun. Sampai akhirnya pesawat itu terjatuh kemudian meledak dengan bunyi yang sangat kencang.

Disertai dengan api yang berkobaran di sekitar pesawat. Saking besarnya ledakan itu, sampai tidak ada yang selamat dalam kecelakaan itu kecuali 3 anak remaja 1 laki-laki dan 2 orang perempuan.

Sebelum ledakan, ketiga remaja yang lolos itu langsung berlari melindungi diri ke arah hutan. Tidak memperdulikan barang-barangnya yang masih berada di dalam pesawat itu hingga akhirnya ikut terbakar.

Ketika pesawat itu sudah meledak, ketiga remaja itu hanya bisa menatap ledakan yang begitu dasyhat itu. Menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca karena sahabat satu-satunya telah tiada. Meninggalkan mereka bertiga selama-lamanya.









***


HutanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang